200 Partai, Siapa Takut?

PEMILU 2004 semakin mendekat dan sepanjang tahun 2003 ini bisa ditebak bahwa berbagai harapan dan kecemasan politik akan merebak silih berganti. Dalam soal kecemasan, salah satu yang paling menonjol belakangan ini adalah mengenai jumlah partai yang akan bertarung dalam pemilu. Sekarang jumlah partai yang mendaftarkan diri secara resmi sudah melewati angka 200.

Ini membuat sebagian. kalangan khawatir bahwa proses pemilu akan riuh-rendah dengan begitu banyaknya isu, aspirasi, dan tokoh, yang pada akhirnya hanya akan membingungkan rakyat. Selain itu, ada juga yang cemas bahwa tingkat konflik akan semakin tinggi seiring dengan semakin banyaknya jumlah partai yang berebut kursi kekuasaan. Beralasankah kecemasan demikian? Buat saya tidak. Satu hal yang sampai sekarang masih kurang dipahami adalah, dengan disahkannya empat amendemen konstitusi tahun lalu, pemilu pada dasarnya dibagi menjadi dua: yang satu. untuk memilih anggota parlemen (lokal dan nasional), dan yang satunya lagi untuk memilih presiden.

Dalam pemilu untuk menentukan presiden, akan terjadi penyederhanaan secara radikal dari jumlah kandidat yang mewakili partai atau kelompok partai. Pada pemilu tahap pertama, jika kita lihat komposisi dan kombinasi pemimpin yang ada sekarang, jumlah pasangan presiden-wakil presiden yang memiliki peluang realistis dalam menarik dukungan besar dari publik paling jauh hanya berjumlah tiga atau empat pasangan.

Memang mungkin akan ada sepuluh, atau lebih, pasangan kandidat lainnya, tapi kehadiran mereka lebih merupakan bumbu penyedap yang memberi warna tersendiri bagi Pemilu 2004. Pada pemilu tahap kedua, sebuah kemungkinan yang hampir pasti terjadi, jumlah pasangan kandidat yang bersaing akan ciut menjadi dua. Kalau harus menebak orangnya, saya kira yang akan muncul pada tahap kedua ini adalah Megawati (dan wakilnya) serta Amien Rais atau Hamzah Haz (dan wakilnya). Saya mungkin bisa keliru dalam tebakan itu, tapi tidak dalam satu hal ini: dalam pemilihan presiden, kompetisi antarpartai tidak akan terjadi. Yang kita saksikan pada 2004 nanti adalah pertarungan tokoh-tokoh yang diwarnai secara pekat oleh kompetisi antara blok politik Islam dan kaum nasionalis-sekuler.

Dalam hal ini, politik, seperti kata James Madison, salah satu. tokoh pendiri Republik Amerika Serikat, akan kembali pada hakikatnya yang paling dasar, yaitu proses kompetisi antara gagasan-gagasan fundamental yang hidup dalam suatu masyarakat. Jadi, yang akan kita saksikan nanti pada akhirnya adalah persaingan dua kandidat presiden berikut pasangan mereka masing-masing, serta dua blok gagasan fundamental yang dalam literatur politik kita sering disebut sebagai aliran politik.

Tajamya persaingan yang terjadi di sini dapat diminimalisasi dengan berbagai cara, misalnya dengan pemilihan pasangan yang mewakili blok politik yang berbeda. Tapi hal ini adalah soal lain yang akan saya tulis pada kesempatan tersendiri. Dalam soal pemilu untuk memilih anggota parlemen, penyederhanaan yang sama, walau dalam bentuk berbeda, juga akan terjadi. Jumlah partai yang terdaftar di Departemen Kehakiman akan berbeda dengan jumlah partai yang lolos seleksi KPU (Komisi Pemilihan Umum).

Dalam perkiraan saya, dengan aturan-aturan yang ada, dari 200 partai yang terdaftar, KPU akan meloloskan tidak lebih dari 50 partai sebagai peserta pemilu. Jadi, jumlah yang ada kira-kira tidak akan jauh berbeda dengan jumlah partai peserta Pemilu 1999. Bahkan saya tidak akan terlalu kaget jika pada pemilu tahun depan angka yang lolos seleksi jauh lebih kecil dari itu.

Dari puluhan partai lama dan baru yang akan bersaing merebut kursi perwakilan, jumlah yang akan mendominasi panggung politik juga tidak akan berbeda dengan apa yang sudah kita lihat sebelumnya. Sejauh ini saya tidak terlalu percaya bahwa tahun depan akan ada kejutan dari langit, ketika satu partai politik yang sekarang kecil, atau sebuah partai baru, tiba-tiba muncul bagaikan gelombang besar. Lima partai yang sekarang mendominasi parlemen akan memperoleh distribusi suara yang tidak jauh berbeda. Variasi yang masuk akal, jika tak terjadi peristiwa dahsyat di negeri kita yang saat ini belum bisa diramalkan, adalah plus-minus lima persen. Buat saya, salah satu pertanyaan besar yang ada dalam soal ini adalah apakah Partai Golkar juga tercakup dalam kalkulasi konservatif demikian.

Berapa jumlah suara yang bisa diperolehnya? Pada pemilu lalu, partai ini memperoleh 24 juta suara. Jika tahun depan suara ini berkurang drastis melampaui garis batas yang normal, katakanlah menjadi 14 juta suara, terbuka kesempatan bagi sebuah partai baru untuk muncul menjadi pemain baru di parlemen kita, dengan catatan bahwa limpahan suara ini tidak jatuh pada partai-partai yang kini sudah dominan.

Pertanyaan lainnya berhubungan dengan kemungkinan pembentukan koalisi di antara partai-partai besar yang ada. Jika koalisi ini terjadi, fragmentasi politik yang negatif terhadap proses pembuatan kebijakan publik akan bisa dihindari. Dalam banyak hal, Machiavelli benar. Politik selalu bersandar pada kekuatan, dan pemerintahan yang efektif hanya mungkin jika bertumpu pada kekuatan (baca: kursi di parlemen) yang memadai untuk itu.

Dalam hal itulah, bukan terhadap munculnya 200 partai baru, saya sebenamya agak cemas. Selama ini koalisi yang ada sangat bersifat ad hoc dan cair. Yang dibutuhkan dalam menyongsong Pemilu 2004 adalah koalisi yang semipermanen dan terencana jauh sebelum pemungutan suara berlangsung. Saat ini memang sudah terdengar suara-suara untuk merumuskan koalisi semacam itu. Namun, sejauh ini saya baru mendengar angin surga, belum kerja politik yang konkret dari kaum politikus di partai-partai besar.

*) Penulis adalah direktur Freedom Institute, Jakarta

Kolom, TEMPO, 12 Januari 2003

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.

Related Articles