Arief Budiman

BARU-BARU INI Arief Budiman mendapat penghargaan Hellman/Hammets Award 1996, yang diberikan Human Rights Watch, lembaga internasional yang bergerak di bidang HAM (hak asasi manusia). Sebagai seorang sahabat, saya ikut merasa bangga atas penghargaan ini.

Saya tahu bahwa, bagi Arief, selama kondisi HAM kita masih seperti sekarang, penghargaan seperti itu tak berarti apa-apa. Dengan atau tanpa penghargaan, Arief akan terus berusaha mewujudkan idenya dan mengkritik segala bentuk tindakan publik yang mengusik hati nuraninya. Arief adalah tipe manusia Kantian, seorang yang akan terus memperjuangkan kebenaran walaupun langit runtuh.

Siapa Arief Budiman? Bagi banyak orang, dia adalah pengkritik Orde Baru, penulis yang cerdas, dan penganjur sosialisme humanis. Semua itu betul. Namun, bagi saya, ada sebuah dimensi persoalan yang menarik pada diri Arief yang belum banyak dimengerti. Persoalan ini bersumber pada ketegangan dan tarik-menarik antara dunia keilmuan dan dunia aktivisme, antara dunia pencarian pengetahuan dan dunia perjuangan politik. Arief Budiman, sebagai sebuah fenomenon, memberi gambaran yang cukup jelas tentang hubungan yang dilematis antara apa yang disebut oleh Max Weber sebagai the vocation of science dan the vocation of politics.

Titik tolak dunia keilmuan adalah skeptisisme, bukan kepastian. Seorang ilmuwan adalah seorang yang peragu, skeptis. Berbeda dengan seorang kiai, pendeta, dan penyebar “kebenaran” lainnya, tugas seorang ilmuwan bukanlah menyebarkan kebenaran, melainkan mencarinya, mempertanyakannya, mengujinya.

Tentu para ilmuwan sering menganut atau percaya pada “kebenaran” tertentu, katakanlah sebuah teori tentang pembangunan sosialis. Namun kebenaran semacam ini selalu bersifat sementara, cair, dan siap diuji terus-menerus. Jika ternyata akumulasi fakta-fakta yang ada cenderung menolak kebenaran tersebut, maka sang ilmuwan akan dengan senang hati mengubahnya, bahkan meninggalkannya samasekali, untuk kemudian mencari kebenaran baru.

Berbeda dari kerja seorang ilmuwan, kerja seorang pejuang atau aktivis bermula dari kepastian dan berakhir dengan kepastian. Buat seorang aktivis, skeptisisme adalah cermin dari ketakutan untuk bersikap. Perjuangan politik pada hakikatnya adalah upaya untuk memperluas basis dukungan publik terhadap cita-cita tertentu. Karena itu, yang harus diperlihatkan oleh seorang pejuang sejati bukanlah keraguan, melainkan justru jalan yang pasti, yang “benar”, yang lebih “baik”. Siapa gerangan yang bersedia menjadi pengikut seorang peragu? Seorang ilmuwan akan berbahagia jika sesuatu yang semula disangkanya benar ternyata kemudian bisa dibuktikan keliru. Dalam hal ini sang ilmuwan akan memulai proses pencariannya lagi, sebuah proses yang memang menjadi puncakdambaannya. Sebaliknya, buat seorang pejuang, jika ternyata hal yang selama ini dianggapnya sebagai kebenaran ternyata ditolak realitas, keliru, chimera, maka yang terjadi adalah malapetaka besar. Seluruh raison d’etre-nya sebagai pejuang runtuh. Sang pejuang kemudian menjadi a fighter without a cause.

Arief Budiman berada dan bergumul di antara dua dunia yang berbeda itu. Siapapun yang pernah bergaul akrab dengan Arief pasti mengerti bahwa dalam diri tokoh yang satu ini terdapat semangat untuk bertanya terus-menerus, sikap yang terbuka bahkan terhadap kritik setajam apapun serta kecintaan yang besar terhadap pengetahuan. Singkatnya, dalam diri Arief terdapat impuls-impuls dasar seorang ilmuwan. Barangkali karena hal inilah maka sejak awal, dunia yang dipilih Arief sebagai basis segala kegiatannya adalah dunia universitas.

Di pihak lain, Arief juga seorang aktivis sejati—penghargaan yang diterimanya dari Human Rights Watch itu hanyalah salah satu buktinya. Sebagai pembicara dan penulis, yang tampak jelas pada dia adalah karakter seorang pejuang. Dalam banyak tulisannya kita jarang berjumpa dengan keragu-raguan. Yang selalu kita baca dalam tulisan-tulisan tersebut adalah kepastian yang sederhana dan kesederhanaan dalam kepastian. Lebih-lebih jika menulis tentang tema-tema di seputar sosialisme dan kapitalisme, yang terutama Arief lakukan adalah menyebarkan dan mempopulerkan “kebenaran”, bukan mencarinya.

Sejauh manakah Arief dapat mempertemukan kedua dunia yang berbeda itu? Bisakah dia mempertahankan integritas seorang ilmuwan, sambil pada saat yang sama terus-menerus menjadi aktivis di jalan sosialisme? Apakah ternyata dia sudah mengabaikan dunia keilmuan dan hanya menjadi penganjur serta pembela ajaran-ajaran sosialis, dan karena itu cenderung menjadi ideolog yang tertutup?

Barangkali hanya Arief seorang yang dapat sepenuhnya menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Yang jelas, tokoh yang sangat populer di kalangan mahasiswa itu kini berhadapan dengan sebuah persoalan mendasar yang menggugat hakikatnya sebagai pejuang sosialis: sosialisme telah gagal, dan bahkan ditolak pendukung utamanya sendiri, kaum buruh.

Apakah Arief memilih menjadi a hero with a lost cause? Sebagai sahabat, saya ingin melihat Arief menolak pilihan ini, dan lebih mengedepankan kemampuannya sebagai ilmuwan yang terus-menerus belajar dari perkembangan fakta-fakta baru. Tapi tentu semua berpulang pada diri Arief sendiri. Dan buat saya, di sinilah sesungguhnya terletak perjuangan Arief Budiman yang terbesar.

17 Agustus 1996

 

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.