Bernard H.M. Vlekke, “NUSANTARA: Sejarah Indonesia”

Gambar oleh 132369 dari Pixabay

Bahan diskusi Freedom Institute, Jumat 16 Mei 2008.

I

Seingat saya buku Vlekke ini adalah salah satu buku sejarah narratif yang bersifat umum — di samping buku D.G. Hall,  A History of Southeast Asia, buku yang sempat direvisi beberapa kali oleh pengarangnya, guru saya juga — yang pertama saya baca, setelah saya tamat dari SMA. Kalau tak salah pertama kali saya baca buku ini  ketika saya telah mulai mempersiapkan skripsi sarjana tentang nasionalisme Eropa sesudah Revolusi Prancis. Waktu itu saya juga telah diangkat sebagai asisten dosen sejarah Eropa Modern. Setelah selesai membaca buku ini  saya  beri tahu pada pak Sartono, ketua jurusan dan dosen Sejarah Indonesia Modern, yang ketika itu masih tinggal di Jakarta dan dan masih bergelar Drs. Ia biasanya datang ke Yogyakarta sekali sebulan tetapi untuk beberapa hari dan saya katakan ”Bagus bukunya, pak”, kata saya. Tetapi  reaksi  pak Sartono agak mengecewakan saya, ”Ah, masak”.  Ia rupanya sudah membacanya juga. Kemudian saya berpikir-pikir  dan sadar juga bahwa alasan saya mengatakan buku ini bagus, di samping buku itu berkisah tentang sejarah  mulai dari zaman prasejarah sampai revolusi, karena dua hal. Pertama, alur pemikiran dan perilaku politik Belanda dari zaman ke zaman tampak jelas dan kedua, buku ini  juga menyingggung situasi pantai Barat Sumatra, yang dikatakannya (sampai sekarang masih saya ingat) , “the land of romance”.  Saya sadar juga bahwa pak Sartono waktu itu telah terlibat dalam perdebatan tentang  sejarah nasional.

Ketika saya telah jadi asisten peneliti di LEKNAS-MIPI (kemudian LIPI) almarhum, saya sempat juga membeli buku Vlekke, edisi terakhir (1962), yang kebetulan sempat nongol juga di toko buku di masa Demokrasi Terpimpin itu. Sampai sekarang buku ini belum sempat saya baca ulang, kecuali untuk mengecek hal-hal tertentu saja. Barulah setelah saya dikirimi terjemahannya dari Freedom Institute saya sempatkan  membaca buku ini. Seketika terlintas juga keheranan dalam hati saya ”mengapa baru sekarang ada terjemahannya?”

II

Sejak masuk perguruan tinggi, corak buku  sejarah Indonesia yang saya baca dan pelajari — di samping teori dan sebagainya —umumnya bersifat tematis, yaitu  tentang aspek atau periode sejarah atau, tentu saja aspek sejarah tertentu dalam zaman tertentu pula, dan juga yang bercorak teoretis/interpretatif. Kalau telah berbicara buku sejarah  bagi saya tahun 1957-1959 sangat penting karena ketika inilah saya berkenalan dengan beberapa buku yang boleh dikatakan membentuk cara atau metode saya untuk memahami sejarah Indonesia. Setelah membaca buku-buku tersebut saya menyadari bahwa sejarah Indonesia bukanlah sekadar  kisah di masa lalu tetapi juga suatu wacana teoretis dalam merekonstruksi dan memahami dinamika kehidupan masyarakat. Saya semakin menyadari juga bahwa bahwa bukan sejarah Eropa saja yang bisa dilihat dari pendekatan yang bertolak dari kesadaran teori. Buku-buku tersebut ialah kumpulan tulisan B.Schrieke, Indonesian Sociological Studies (2 jilid), kumpulan tulisan J.C. van Leur, Indonesian Trade and Society, W.F. Wertheim, Indonesian Society in Transition dan George McT. Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia.  Di samping itu juga buku Robet van Niel, The emergence of Modern Indonesian Elite. Buku terjemahan Schrieke dan van Leur diterbitkan setelah keduanya meninggal dunia. Bahkan beberapa tulisan Schrieke masih bersifat naskah. Kebetulan sekali buku–buku didapatkan di toko buku dalam waktu yang hampir bersamaan. Bayangkan saja betapa kumalnya sekarang buku-buku tersebut di rak buku saya.

Lebih penting lagi dalam perkembangan ilmu sejarah  buku-buku ini, terutama   buku van Leur, di samping memperlihatkan  bagaimana kalau sejarah didekati dengan teori ilmu sosial, juga mengingatkan bahwa ada kelemahan yang fundamental dalam penulisan sejarah Indonesia.  Kata van Leur sejarah Indonesia sangat bersifat fragmentaris karena direkonstruksi dengan disiplin yang berbeda-beda. Maka sejarah kuno menjadi wilayah garapan para arkeolog, zaman Islam adalah lahan para ahli philologi, sedangkan zaman setelah kedatangan orang Barat adalah ranah yang dikuasai para arkivaris. Tentu kalau dilanjutkan ia bisa juga mengatakan bahwa zaman imperialisme dan kolonialisme modern dan nasionalisme adalah kajian para ahli ilmu politik dan ekonomi. Van Leur juga mengatakan dalam salah satu artikelnya bahwa sejarah Indonesia biasanya dilihat dari “the deck of the ship, the ramparts of the fortress, the high gallery of the trading house” —artinya dari kejauhan saja dan dari sudut kepentingan dagang. Aktor terpenting di atas pentas sejarah itu adalah para pendatang.

III

Tahun 1950–an ditandai dua hal yang penting dalam sejarah (dari) historiografi Indonesia. Pertama, perdebatan tentang  betrowbaarheid  atau reliability  sumber dan historiografi tradisional. C.C. Berg dengan sangat serius mempertanyakan hal ini. Kesemuanya katanya  adalah kesaksian cultural — jadi  bukan sumber sejarah, yang memberitahukan peristiwa di masa lalu.

Perdebatan kedua dan lebih penting, “bagaimanakah mendapatkan sejarah Indonesia yang otentik” bukan sejarah yang merupakan perpanjangan dari  Vaderlandsch geschiedenis. Mengenai hal ini ada dua hal yang yang tampil ke depan. Pertama landasan moral dalam melihat dan memahami sejarah. Bagaimanakah landasan moral kolonial diubah menjadi yang bernafaskan nasional? Maka bisalah dipahami kalau buku-buku pelajaran yang terbit sejak awal 1950-an ( sampai sekarang) melihat kolonialisme dengan kaca mata yang buram. Jadi Jan Pieter Zoon Coen bukan pahlawan tetapi kolonialis tengik. Diponegroro bukan pemberontak tetapi ”pahlawan” dan seterusnya. Kedua, masalah perspektif. Sejarah siapakah yang ingin direkonstruksi? Jadi kritik van Leur terhadap sejarah kolonial penting juga. Bertolak dari kedua masalah inilah   muncul pendekatan yang disebut Indonesia-sentris  sebagai lawan dari Neerlando-sentris. Puncak dari pencarian gaya  penulisan sejarah yang baru ini terjadi pada Seminar Sejarah Nasional Desember 1957 di Yogyakarta.

Di tengah-tengah perdebatan tentang masalah Indonesia-sentris ini Prof. Resink, penyair (dalam bahasa Belanda) dan ahli sejarah hukum internasional dari UI, dalam tulisan-tulisannya (dalam bahasa Belanda, tetapi kemudian diterjemahkan ke bahasa Inggris) mengingatkan dua hal yang penting. Pertama, ide besar tidak ada artinya kalau tidak didampingi oleh research yang mendalam. Kedua, mungkin lebih penting, ia mengingatkan jangan sampai pembebasan dari alam pikiran  Neerlando-sentrisme menyebabkan sejarawan tergelincir pada regio-sentrisme — sejarah Indonesia yang terfokus pada daerah dan melihatnya dari kacamata kedaerahan.

Tahun 1957 dalam sejarah politik Indonesia adalah masa peralihan yang bermula dari saat Presiden Sukarno mengangkat dirinya sebagai formatur kabinet dan berakhir dengan Dekrit Presiden 5 Jui, 1959, dan Demokrasi Terpimpin berdiri. Sejak itu  wacana semakin dikuasai oleh negara. Pemahaman tentang masa lalu dikuasai oleh pemikiran nasionalisme yang radikal dan revolusioner sebagaimana diajarkan Pemimpin Besar Revolusi. Tetapi pada waktu itu pula studi sejarah yang bersifar mendasar, dengan membongkar arsip-arsip yang berdebu dimulai. Barulah di tahun 1970, ketika Seminar Sejarah Nasional II diadakan masalah sejarah dibicarakan tetapi bukan lagi soal perspektif dan landasan moral. Yang menjadi masalah ialah pendekatan — peranan teori  ilmu sosial dalam sejarah — dan hubungan  sejarah lokal dan nasional. (Soal kemungkinan dominasi dan campur tangan politik dalam penulisan sejarah  di masa Orde Baru adalah  gunjingan yang  praktis membagi sejarawan atas dua kelompok yang pura-pura tidak punya masalah)

IV

Bagamaina dengan buku Vlekke?   Bukankah aneh juga terasa mengapa baru sekarang buku ini diterjemahkan? Di samping hal-hal yang bersifat komersial, penulisan buku Sejarah Nasional Indonesia yang enam jilid mungkin sebuah jawaban. Tetapi mengapa buku Merle Ricklef diterjemahkan, padahal buku ini jauh lebih muda? 

Baiklah saya baca kembali buku ini. Terlepas dari beberapa kritik enteng saya terhadap terjemahan namun setelah sekian puluh tahun berlalu saya masih bisa berkata bahwa saya menikmati buku ini. Saya diingatkan kembali pada proses dan landasan pemikiran dari  kolonialisme Belanda dan sistem ekspolitasi yang dijalankannya. Buku ini mempunyai plot  atau kisah sejarah yang jelas – tidak berliku-liku dan lebih penting lagi, secara logis, kisahnya makes sense. Buku ini juga kadang-kadang diselang seling oleh anecdotal history tentang hal-hal yang langsung berhubungan dengan realitas kehidupan dan juga tak jarang oleh apa  yang disebut petit histoire, sejarah kecil, yang bersifat human interest. Kadang-kadang Vlekke mengutib ucapan-ucapan yang mengingatkan kita bahwa after all the actors of history are human beings  yang bisa memberi penilaian moralistik terhadap perilaku aktor lain dan merasakan juga penderitaan orang lain. Lihat umpamanya komentar seorang pegawai VOC  tentang kekejaman yang dilakukan VOC/ Pieter Zoon Coen terhadap orang Banda. Kisah persaingan antara kekuatan-kekuatan Barat, terutama antara Belanda dan Inggris di abad 19, mengasyikan juga. Sinisme Vlekke terhadap Raffles  menyegarkan. Gaya tulisan Raffles, katanya, dengan mudah memberi kesan bahwa yang konyol adalah orang yang menggantikannya. Tetapi Vlekke  mengakui pandangan Raffles yang jauh ke depan.  Bukankah mantan sang penguasa Inggris di Hindia Belanda ini yang  mendirikan Singapore pada tanggal 29 Januari 1819, setelah ia menyingkir – sesuai perintah – dari Jawa dan gagal di Sumatra?

Setelah membaca ulang ini baru saya tahu (atau mungkin pernah tahu tetapi lupa) bahwa benteng Belanda didirikan  setelah mengalahkan Pangeran Jayakarta pada tanggal 12 Maret 1619 dan langsung dinamakan Batavia, tetapi nama ini baru disetujui dewan direktur VOC  pada tanggal 4 Mei 1621. (Sayang, waktu itu rupanya belum ada e-mail).  Tidak kurang menariknya ialah lukisan tentang kehidupan sosial-kultural dan intelektual dari Homo Bataviensis, orang Belanda yang bermukim di Batavia. Sudah sejak awal abad 19 mereka mengembangkan kehidupan intelektual. Sekarang banyak juga orang bicara tentang hutan yang dikonversi menjadi kelapa sawit, tetapi kapankah dan bagaimanakah tanaman ini mulai dikembangkan di Indonesia? Bagaimana pula dengan kopi, teh, ubi kayu, tembakau, kina dan sebagainya? Sambil lalu tetapi dengan menarik Vlekke mengisahkan juga  asal usul komoditas yang akan menjadi andalan ekspor Hindia Belanda dan kemudian juga Indonesia.

Kesimpulannya sebagai bacaan sejarah umum tulisan Vlekke cukup menarik dan bisa juga memenuhi keingin-tahuan tentang dinamika kolonialisme dan redupnya kekuatan ini di bumi Nusantara. Tetapi mengapa selama ini dingin saja sambutan para sejarawan Indonesia?

V

Vlekke adalah gurubesar International Relations dari Universitas Leiden. Indonesia bukanlah wilayah keahliannya. Bukunya bukanlah hasil  penelitian primer pribadi tetapi  berdasarkan sumber sekunder, artinya ia tergantung pada studi-studi yang telah ada. Tetapi ketika ia harus menulis tentang hubungan internasional tampak ia memakai sumber primer. Kebetulan saya punya juga bukunya yang berjudul Evolution of the Dutch Nation, yang pertama kali terbit empat tahun (1945) setelah Nusantara edisi pertama (1942). Saya menemukan dua-tiga kutiban yang sama. Kalau ketika menulis Nusantara (edisi pertama) ia sadar benar bahwa ia ingin memperkenalkan wilayah jajahan Belanda kepada khalayak Amerika maka ketika menulis buku kedua ini ia ingin menjelaskan arti Belanda dalam peradaban Barat, yang baru babak belur dilanda Perang Dunia. Dengan menyadari latar belakang keilmuan Vlekke ini bisalah dipahami mengapa ia kadang-kadang menerangkan situasi Indonesia (khususnya Jawa) dengan memakaikan  Eropa atau Amerika sebagai bahan perbandingan. Audience atau khalayaknya bukanlah orang Indonensia tetapi dunia Barat.

Vlekke bukan sekadar sejarawan narrative yang sibuk dengan kisah yang bersifat one damned thing after another. Ia berkisah tentang aspek-aspek dan dimensi-dimensi tertentu dari masa lalu sesuai dengan pertanyaan subjektif yang diajukannya pada masa lalu itu. Ketika jawab  telah didapatkan iapun memberikan  pemahamannya tentang alur dan arus sejarah. Dengan sadar ia melihat masa lalu sebagai lautan tanpa tepi – bergerak, bergelombang, berombak, dan berbuih-buih. Dan, sebagaimana laut yang tanpa tepi itu, masa lalu juga tidak berkisah apa-apa. Kisah barulah ada setelah jawab atas  ”pertanyaan” yang diajukan telah didapatkan. Maka kitapun mempunyai ”sejarah” — laut tanpa tepi itu telah memberikan sebagian dirinya untuk direkonstruksi menjadi kisah sejarah.

Meskipun tidak dikatakan secara jelas tetapi tampaknya Vlekke – di saat-saat Perang Pasifik akan meletus dan Hindia Belanda telah mulai berada di bawah ancaman agresi Jepang — ingin mengetahui dan memberi jawab tentang  asal usul negeri yang menjadi wilayah kekuasaan negerinya, Belanda, dan tentang masa depannya? Pada edisi buku ini yang kemudian ketika Indonesia telah merdeka (1962) Vlekke yang memang mempunyai kecenderungan liberal ini mempertajam pertanyaan ini dan sesuai dengan suasana zaman meninggalkan landasan moral kolonial. Tetapi  perspektifnya tetap kolonial, meskipun  landasan moralnya telah berubah. Dengan kata lain, terlepas dari klaim-nya bahwa ia banyak berkisah tentang Indonesia, perhatiannya lebih terfokus pada pencarian jawab yang sama — ”bagaimana proses penciptaan  pax Neerlandica  tercapai dan akhirnya bubar?”.

Buku ini terdiri atas 16 bab. Hanya bab 1, 2, 3, 15, dan 16 yang boleh  dikatakan menjadikan ”orang Indonesia” (memang dia menyebut Indonesia atau Jawa saja, untuk memudahkan saja tampaknya) sebagai aktor utama. Bab 4 boleh dikatakan seimbang, meskipun unsur Portugis-nya lebih dominan juga. Sedangkan dalam  10 bab yang lain leading role dipegang oleh aktor Belanda. ”Dunia Indonesia” hanya dilihat — kalau ungkapan van Leur yang terkenal diulang lagi — ”dari dek kapal” saja. Umpamanya Perang Padri hanya dikisahkan dalam setengah halaman dan Perang Diponegoro kurang dari 3 halaman. Perang Aceh lebih panjang – 11 halaman – karena kasus ini melibatkan masalah ”international relations” (keahlian khusus Vlekke). Buku ini juga berkisah tentang Trunojoyo dan Surapati dan bahkan juga tentang Mangkubumi yang akhirnya menjadi Sultan Yogya yang pertama (Hamengkubuwono)  tetapi  kesemuanya hanya dikisahkan tentang ”apa, siapa, dan di mana” saja.  Jawab tentang pertanyaan ”bagaimana” dan ”mengapa” tidak begitu diperdulikan.  Laporan Rijklof van Goens, utusan Gubernur Jenderal VOC (kemudian diangkat menjadi petinggi VOC juga) ke kraton Mataram di masa Amangkurat I mungkin sekali akurat tetapi lagi-lagi kita hanya dibiarkan untuk mengambil kesimpulan bahwa (seperti pernah dikatakan almarhum Romo Mangun kepada saya) ”ada raja Jawa yang lebih kejam dari Nero”. Kesan ini mungkin akan mengalami perubahan kalau tradisi dan struktur kekuasaan Jawa dibahas juga.

Empat puluh lima tahun lebih telah berlalu sejak buku ini diterbitkan (1962) dan dalam masa itu kemajuan ilmu dan pengetahuan sejarah Indonesia sudah jauh meningkat. Maka kini terasa aneh juga umpamanya Vlekke sibuk mengutib Pararaton yang ditulis dua-tiga abad setelah zaman yang dikisahkannya berlalu dan lebih bersifat legendaris. Terasa aneh karena Vlekke hanya  menyebut saja Negarakertagama  yang ditulis di masa Majapahit.

Dalam segala aspek yang dibicarakan — tidak terkecuali aspek kolonialisme — telah banyak penemuan atau rekonstruksi baru, baik hasil ilmuwan asing dan maupun  ilmuwan Indonesia. Mungkin tidak semaju yang diharapkan tetapi sejak tahun 1970 atau 1968  (kalau disertasi pak Sartono diperhitungkan – karya yang  selama dua-tiga kesunyian sendiri) para ahli sejarah Indonesia telah banyak juga membuka tabir sejarah tanah air.

Kalau diletakkan kembali ke perdebatan sejarah di tahun 1950-an dan selanjutnya  maka kelemahan lain dari buku Vlekke ini ialah terabaikannya peringatan Resink tentang  regio-sentrisme.  Ada sebuah ungkapan Belanda yang terkenal, ”Maluku, masa lalu;  Jawa, masa kini; Sumatra, masa depan”. Maka setelah Vlekke berkisah tentang Maluku, khususnya Banda, Ternate, Tidore, dan Ambon, sebagian sangat terbesar daerah yang dibicarakan ialah Jawa, meskipun aktor utamanya orang Belanda. Tetapi Sumatra? Bukankah masa depan hanya bisa ditebak saja. Jadi tentang Sumatra hanya ala kadar saja. Tentang daerah-daerah atau pulau-pulau  lain? Kalau  istilah film boleh  dipakai pulau-pulau itu ibarat pemain figuran saja alias ”numpang lewat”.

VI

Terjemahan buku ini cukup baik, tetapi ada beberapa hal yang mengganggu. Spice Islands adalah nama biasa dalam naskah sejarah yang berbahasa Inggris, tetapi dalam bahasa Indonesia disebut ”Pulau Rempah-rempah” merepotkan juga. Tidak biasa   pula  dalam literatur sejarah yang berbahasa Indonesia ada istilah ”sistem kultur”. Biasanya disebut istilah Belanda  cultuurstelsel atau ”sistem tanam paksa”. Mengapa ditulis Rhio kalau maksudnya Riau?  Di abad 18 dan awal 19 Riau masih bergabung dengan Johor dan kerajaan ini cukup penting. ”Modernisasi” (kalau istilah ini boleh dipakai)  bahasa Melayu dimulai di istana raja Muda Riau di Pulau Penyengat, Riau. ”Masyarakat Batavia untuk Seni dan Pengetahuan” aneh juga terasa, karena memang tak ada dalam sejarah. Yang ada ialah yang memakai bahasa Belanda, Bataviaasch Genootschaap van Kunsten en Wetenschappen. Karena ini nama, maka semestinya nama asli disebut,  baru setelah itu diterjemahkan. Soalnya nama ini sewaktu-waktu akan disebut lagi.

VII

Jadi apa kesimpulan saya. Meskipun  buku Vlekke ini telah ketinggalan zaman,  namun buku ini masih berharga, terutama bagi mereka yang telah mengetahui juga garis besar sejarah Indonesia. Buku ini bisa berperan sebagai alat pengingat dan pembanding. Sedangkan bagi para pemula buku Vlekke ini buku yang baik juga berguna, tetapi tidak perlu direkomendasikan.

 

Taufik Abdullah

 

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.