Bush Goyah, Pelajaran Buat Mega

Gambar dari https://geotimes.id

DARI LANGIT turun ke bumi, life is back to normal. Itulah yang bisa dikatakan mengenai Presiden Bush menyongsong Pemilu 2004. Hal yang sama terjadi pada Presiden Megawati. Untuk terpilih kembali, keduanya harus bekerja keras dan mengubah strategi.

Setelah teror 11 September 2001, popularitas Bush ada di langit, memecahkan salah satu rekor yang selama ini dinikmati Presiden AS. Dia menggebrak dan memimpin negerinya melawan kaum teroris di sudut-sudut dunia. Dia mempersatukan publik melawan musuh bersama. Sampai musim semi tahun ini, posisi itu tidak berubah. Bahkan, “sukses besar” dalam invasi Irak menambah popularitasnya. Ia ada jauh di atas, tak terjangkau oleh para kandidat dari Partai Demokrat yang tengah bersiap-siap menyongsong pemilu tahun depan.

Namun pada pertengahan musim panas, tiba-tiba badai datang, bagai angin puyuh yang kerap menyapu Texas. Casus belli-nya bermacam-macam, dari bom yang meledak di Markas PBB, Baghdad, hingga angka pengangguran yang tak juga kunjung membaik. Hari demi hari popularitas Bush melorot. Sekarang diperkirakan hanya tinggal setengah pemilih yang siap mendukung kembalinya Bush sebagai orang nomor satu di AS.

Bonus politik Peristiwa 9/11 sudah berakhir. Posisi Bush hampir kembali lagi ke titik awal, saat dia menang tipis melawan Al Gore pada Pemilu 2000. Ia kini harus berjuang sebagai politisi di zaman normal, tanpa bantuan momentum sejarah.

Hal itu membangkitkan harapan para kandidat Partai Demokrat. Kini mereka merasa pintu telah terbuka. Tidak heran, di kalangan mereka mulai muncul semboyan yang agak mencubit, like father, like son: one term only.

Di kubu Bush sendiri, perubahan itu disambut aneka reaksi, dari penolakan hingga rasa waswas. Untung, ia memiliki seorang penasihat politik piawai, Karl Rove. Dari belakang layar, tokoh yang dijuluki si boy genius itu kini mulai mengubah strategi di Gedung Putih.

Sebelumnya, Bush lebih banyak mengayun langkah yang sesuai harapan kaum konservatif di garis keras. Di pengujung musim panas ini, Karl Rove banting setir dengan memperluas basis Bush dan merebut suara pemilih independen. Ia harus memainkan strategi yang mirip dengan apa yang dikembangkan Dick Morris dalam menyelamatkan posisi Bill Clinton pada Pemilu 1996.

Mungkin langkah Bush-Rove itu akan berhasil, mungkin pula tidak. Yang jelas, presiden ke-43 AS ini kian menyadari, dua tahun setelah aksi teror di New York dan Washington DC, pendulum politik dan suasana hati masyarakat kini mulai bergeser. Ia harus berubah bersamanya, sambil tetap mempertahankan ide-ide dasar yang menjadi landasan perjuangan Partai Republik.

Bagaimana dengan Presiden Megawati? Dari semua itu, adakah pelajaran yang dapat dipetiknya? Berbeda dengan Bush, popularitas Megawati tidak pernah mencapai langit. Namun sama dengan presiden AS, Megawati harus menerima kenyataan, dukungan terhadapnya kini menyusut. Dalam berbagai survei akhir-akhir ini, ia masih menduduki tempat teratas, tetapi dengan proporsi yang kian mengecil.

Tokoh-tokoh lain mulai bermunculan. Seperti para kandidat dari Partai Demokrat, mereka mulai melihat jalan yang kian terbuka. Posisi Megawati dianggap kian lama kian goyah, karena itu bukan tidak mungkin ia dikalahkan.

Sebenarnya, posisi Megawati bisa lebih baik. Operasi penumpasan gerakan separatis di Aceh dan reaksi keras terhadap kaum teroris pasca-Bom Bali adalah dua kebijakan yang didukung luas hingga kini. Sebagai presiden, dengan cara-cara yang sah, ia dapat memanfaatkan kedua kebijakan populer itu untuk menaikkan dukungan terhadap dirinya.

Sayang, Megawati tidak melakukan itu. Yang memanfaatkan justru tokoh seperti Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dengan posisi sebagai Menko Polkam, dialah yang sering tampil menjelaskan, membela, dan menjawab langsung aneka pertanyaan mengenai kebijakan di Aceh dan langkah melawan kaum teroris di berbagai media, terutama televisi.

SBY tampil sebagai the tough guy, manakala masyarakat merindukan tokoh dan kebijakan yang tegas. Tidak heran, dalam beberapa jajak pendapat nama SBY kini agak mencuat, seiring dengan kian menguatnya harapan semacam itu. Dia mengisi sebuah ruang kosong yang ditinggalkan pemiliknya.

Bila mau, peran itu dapat dimainkan Megawati sendiri, dengan sentuhan yang lebih membangkitkan simpati. Bahkan ia dapat menggunakan posisi SBY guna memperkuat dukungan terhadapnya. Demikian pula dengan semua menteri dalam Kabinet Gotong Royong.

Namun, itulah masalahnya. Sejauh ini ia belum memiliki strategi yang secara sadar dikembangkan guna meningkatkan popularitas dirinya. Mungkin putri Bung Karno ini beranggapan, tanpa diatur sekalipun, “kebenaran” akan muncul sendiri dan dukungan rakyat mengalir lagi.

Bila Megawati mau terpilih tahun depan, anggapan demikian harus ditinjau kembali. Ia harus banting setir, seperti Bush. Dalam politik di alam demokrasi, tidak ada hal yang datang begitu saja. Peluang harus direbut, dukungan dicari, dan strategi disiapkan dengan saksama.

Dalam hal strategi, apa yang dapat dikembangkan Megawati? Bidikan Bush-Rove mengarah ke pemilih independen, sambil sejauh mungkin mempertahankan pendukung tradisional kaum konservatif. Bisakah Megawati dan tim suksesnya melakukan hal serupa, dalam konteks berbeda?

Dalam banyak hal, tugas Karl Rove dan tim sukses Bush di West Wing, Gedung Putih, lebih gampang. Tingkat akurasi survei di AS jauh lebih tinggi, dan karena itu profl pemilih serta preferensi mereka bisa dideteksi dari waktu ke waktu di semua daerah. Strategi yang dikembangkan setiap kandidat, termasuk Bush, adalah hasil deteksi ini.

Di negeri kita, metode dan teknik survei masih pada tingkat awal. Tidak mudah membangun akses pada pemilih yang tersebar di pelosok kabupaten. Jaringan telepon terlalu kecil untuk digunakan sebagai sarana survei yang menyeluruh.

Namun demikian, apa yang dilakukan sejauh ini oleh berbagai lembaga survei bukan tanpa manfaat. Beberapa fakta yang diungkapkan perlu diperhatikan. Dalam satu hal, khusus bagi Megawati, terlihat kecenderungan, justru kelompok berpenghasilan rendah di daerah perkotaan yang paling banyak berpaling dari kandang banteng. Dari segi wilayah, posisi Megawati paling merosot di DKI, Jateng, dan Jatim, tiga provinsi yang bisa dianggap wilayah tradisional PDI-P.

Strategi apapun yang dirumuskan Megawati dan timnya, kemerosotan dukungan di kelompok dan wilayah demikian harus dapat dihentikan. Syukurlah jika strategi ini bisa dikembangkan lebih jauh guna membujuk kelompok pemilih yang hingga kini masih berstatus undecided.

Jumlah kelompok terakhir ini amat besar, hampir separuh total pemilih. Sebagian dari mereka, agaknya tidak akan memilih Megawati. Namun sebagian lagi masih menunggu dan menimbang, apakah ketua umum partai berlambang banteng ini masih pantas diberi kepercayaan memimpin bangsa lima tahun lagi.

Megawati, seperti Bush, harus membuktikan kemampuan dirinya. Ia mungkin berhasil, mungkin tidak. Tetapi kita semua akan memetik manfaat jika ia mencobanya sepenuh hati, dan sebagai akibatnya kompetisi politik para calon pemimpin menjadi lebih tajam dan membangkitkan inspirasi.

Demokrasi, kalau saya boleh menyitir ucapan John Maynard Keynes tentang bekerjanya roda ekonomi, hanya bisa berkembang jika para politisi memiliki nafsu binatang untuk berkuasa. Justru karena ingin memerintah, kaum politisi harus bekerja keras membangun dukungan.

Saya yakin, Megawati ingin merebut kemenangan dalam Pemilu 2004 bukan karena alasan kekuasaan semata. Ada sesuatu yang lebih besar yang ingin diraihnya. Kini kita tunggu, untuk mencapai hal itu, maukah ia bertindak sebagaimana layaknya politikus di mana pun, berusaha tanpa lelah untuk merayu dan merebut hati rakyat.

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.