Busuk

Gambar oleh varjag dari Pixabay

Telinga kita kembali akrab dengan busuk
MAIN tebak-tebakan dengan teman di sekolah dasar, saya pernah mengajukan soal: sebutkan 10 jenis buah yang berakhiran “k.” Setelah berpikir secukupnya, dia menjawab, “Jeruk, salak, cempedak, sirsak ...” Lalu bola matanya mulai berputar-putar ke arah langit, dengan mulut komat-kamit dan mengingat-ingat keras untuk menggenapi jumlah 10.

Begitu dia menyerah, saya menyambar dengan penuh kemenangan: “Mangga busuk, duren busuk, jambu busuk, pisang busuk, pepaya busuk, belimbing busuk, semangka busuk ...”

Berpuluh tahun kemudian, telinga saya kembali akrab dengan busuk: kali ini menyangkut politisi Indonesia yang dianggap tak layak dan karenanya tak boleh dipilih dalam pemilihan umum sebentar lagi. Nama kelompok penganjurnya pun lugas: Gerakan Nasional Jangan Pilih Politisi Busuk.

Rupanya belum juga didapat akronim yang enak di telinga untuk nama yang kepanjangan ini. Ada yang usul, supaya cepat memasyarakat, namanya dipendekkan menjadi Gernas Japilpolsuk. Banyak anggota yang tak setuju. Alasannya: akronim ini terdengar seperti nama atlet angkat besi atau pejabat Thailand –atau pokoknya nama warga pedalaman Anyaraprathet. “Jangan-jangan orang pikir gerakan ini sedang mengurusi negara lain,” kata yang kontra.

Konon panitia sedang minta masukan dari birokrasi pemerintah, yang termashur piawai bikin akronim, betapapun kadang ganjilnya terdengar di telinga. Pak Birok diduga bakal mengajukan usul akronim-akronim yang sengaja dibikin seaneh mungkin untuk menyakiti hati pencinta bahasa, supaya gerakan ini makin tak disukai publik. (“Kalau mau bikin program, karang nama sendiri dong, masak minta bantuan sama musuh kalian ...,” begitu mereka akan berkata).

Busuk. Mengapa mereka memilih kata yang tanpa tanda seru pun sudah mengejutkan ini?

Pertama, kelompok itu rupanya tak mampu mengelak dari takdir agraris: gejala masyarakat industrial pun hanya bisa diidentifikasi dengan peristilahan cocok-tanam (sebagai bentuk tatanan “asli” Indonesia). Bukankah sampai sekarang kita masih menguantifikasi benda-benda ultramodern pun dengan buah (“lima buah mobil;” bentuk informalnya pun masih dipetik dari pohon pertanian –“komputer di kantornya ada 15 biji;” bentuk benda yang agak panjang kita sebut “batang”).

Kedua, busuk dianggap kata yang paling representatif untuk mewakili apa yang mereka maksud: politisi itu, seperti buah yang busuk, memang tak mungkin diperlakukan lain kecuali dibuang sejauh-jauhnya (bukan harus disimpan di tempat yang sejuk dan sekadar dihindari dari jangkauan anak-anak).

Siapa pula yang mereka pandang busuk?

Sejak gerakan ini diluncurkan menjelang tutup tahun kemarin, sudah gencar gosip yang menyebut bahwa daftar nama akan diumumkan. Para politikus sendiri, terlepas dari busuk atau segarnya mereka, menyarankan supaya kriterianya dipaparkan dengan gamblang, supaya tak terjadi anarki politik.

Di balik ungkapan-ungkapan standar mereka yang terdengar datar terselip ancaman: jika nama mereka sampai muncul dalam daftar, mereka pasti akan ramai-ramai menggugat –tentu dengan menyewa jumlah pengacara yang fantastis pula. Gerakan itu pasti bakal kerepotan menghadapi gempuran legal. Pembuktian hukum memang tak ada hubungan apapun dengan gosip atau citra publik. Busuk sendiri jelas bukan istilah hukum ...

Jadi, apa jurus terampuh untuk menangani gerombolan politikus yang menjengkelkan itu? Mereka sudah dipilih dengan susah payah dan biaya besar (bagilah seluruh ongkos pemilihan umum dengan jumlah anggota Parlemen yang bakal dipilih).

Setelah terpilih, mereka mempermainkan amanat publik: mangkir dari rapat semau-maunya (rata-rata mereka menghadiri rapat cuma sepertiga dari keharusan, itu pun belum tentu mengajukan usul atau ide-ide yang bermutu), mengatur pertemuan ini dan itu antara pengusaha dan petinggi negara lalu mendapat komisi besar dari sana (dan ini tak ada hubungannya dengan fungsi legislatif mereka), turut menekan pejabat eksekutif agar memberi konsesi tertentu pada pengusaha, atau mendudukkan seseorang di jabatan tinggi di Badan Usaha Milik Negara.

Ruang ini tak akan cukup untuk mendaftar bermacam-macam lagi ulah mereka yang semuanya berujung pada duit besar; membuat mereka cukup kaya untuk menyuap para petinggi partai agar menjamin namanya bertengger di nomor urut tinggi supaya pasti terpilih lagi. Money memang makin merasuk ke sekujur politics –membuat busuk bukan hanya politisinya.

Gerakan Nasional Jangan Pilih Politisi Busuk masih terus menunda penuntasan tugasnya. Apakah mereka akan terus dengan sesumbar semula, yaitu menyusun daftar busuk? Atau sekadar menganjurkan masyarakat agar tak memilih sejumlah politikus dengan sejumlah alasan? Atau cukup membuat daftar politikus “bermasalah”? Semuanya masih ditimbang efektivitasnya sekaligus keamanan hukumnya.

Sejumlah lagu sudah dikarang oleh para komposer pendukung gerakan itu –jenaka, tajam, cocok sebagai pelampias kejengkelan, dan tak mengubah apa-apa.

Sambil diiringi lagu-lagu Harry Roesli dan Franky Sahilatua, buah-buah di Senayan akan tetap membusuk.

Harus ada lagu-lagu lain untuk mengantar mereka ke Bantar Gebang. *

Hamid Basyaib
http://www.pantau.or.id/detailartikel.php?id=287



Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.