Darurat Sipil di Cincinnati

“KERUSUHAN SUDAH TAK TERKENDALIKAN LAGI. Kaum perusuh telah membahayakan keselamatan serta harta benda penduduk kota kita. Dengan sangat menyesal saya memutuskan, mulai malam ini seluruh kawasan kota berada dalam situasi darurat sipil.”

Itulah yang dikatakan Charles Luken, Walikota Cincinnati, Kamis dua pekan lalu, 12 April, di hadapan wakil masyarakat yang memenuhi gedung DPRD setempat. Dengan pengumuman ini, Cincinnati, salah satu kota besar AS di Negara Bagian Ohio yang cukup banyak menyimpan sejarah perjuangan anti-perbudakan, berada langsung di bawah komando polisi dan walikota. Kebebasan dibatasi dan warga kota dilarang ke luar rumah dari pukul 8 malam hingga pukul 6 keesokan paginya.

Keputusan drastis itu adalah reaksi terhadap rangkaian peristiwa yang berlangsung beberapa hari berturut-turut sejak tewasnya Timothy Thomas, seorang pemuda berkulit hitam, di tangan seorang polisi berkulit putih. Bagi warga keturunan Afrika di Cincinnati, tindakan polisi yang sewenang-wenang ini adalah cermin dari ketidakadilan rasial. Buat mereka, prasangka polisi sudah sedemikian buruknya sehingga setiap orang berkulit hitam yang dianggap mencurigakan akan ditahan atau ditembak tanpa penyelidikan yang lebih saksama.

Tidak aneh, dengan amarah yang meluap, berbagai kelompok warga keturunan Afrika melakukan protes terhadap kematian Timothy Thomas. Pada hari pertama, ungkapan protes mereka di pusat kota berlangsung cukup tertib. Namun, di hari kedua berubah: mereka mulai melempar, membakar, dan menjarah. The Cincinnati Enquirer, salah satu koran lokal yang cukup ternama, menggambarkan bahwa saat itu sebagian kawasan kota yang mereka cintai sudah mirip Lebanon, sebuah daerah tak bertuan yang mengerikan.

Situasi tak berubah pada hari ketiga. Malah, sebagian warga kaum hitam sudah semakin kehilangan kendali. Mereka mulai menyakiti warga lainnya yang tak berdosa. Salah seorang di antara mereka bahkan menembak seorang polisi, yang untungnya waktu itu sedang memakai rompi anti-peluru.

Setelah penembakan polisi itulah Charles Luken lalu memutuskan pemberlakuan undang-undang darurat sipil. Dia dan para anggota DPRD Cincinnati, yang sebagian adalah politisi keturunan Afrika, tidak melihat pilihan lain. Mereka ingin mencegah terjadinya eskalasi kerusuhan dengan sikap tegas; kalau perlu, dengan senjata. Malah, Charles Luken juga menegaskan bahwa bila kerusuhan semakin meningkat dalam beberapa hari, ia tidak akan segan untuk meminta turunnya tentara cadangan, The National Guard, yang lebih terlatih untuk bersikap keras.

Yang menarik, keputusan Walikota Cincinnati seperti itu tidak diprotes secara luas oleh publik Amerika. Bahkan setelah keputusan itu diambil, pers nasional AS tidak menganggap Charles Luken melakukan tindakan kontroversial yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kebebasan dan hak-hak asasi. The New York Times, koran paling berpengaruh di AS, tidak menulis tajuk tentang hal ini. Berita mengenai kebijakan tegas di Cincinnati hanya dimuat di halaman A10.

Koran-koran lokal di Negara Bagian Ohio memang mengulas peristiwa itu dengan panjang-lebar. Berbagai sudut persoalan yang ada di Cincinnati dibahas dengan mendalam, seperti persoalan ketimpangan rasial, kemiskinan, dan prasangka polisi. Namun, tidak ada satu pun berita yang mempertanyakan atau mengkritik keputusan pemberlakuan situasi darurat sipil itu. Di koran-koran ini akan sia-sia kalau kita mencari kutipan dari kaum aktivis hak asasi manusia yang biasanya dikenal galak—di negeri orang ataupun di negeri mereka sendiri.

Mengapa publik Amerika diam saja terhadap pemberlakuan situasi darurat sipil itu? Apakah karena dalam hal ini sasarannya adalah kaum berkulit hitam? Saya kira tidak. Dalam satu hal, itu harus dimengerti secara historis. Dalam sejarah negeri ini, belum pernah terjadi peristiwa aparat keamanan memakai otoritas mereka yang khusus, seperti yang dimungkinkan oleh situasi darurat itu, untuk merebut kekuasaan dari kaum politisi. Rakyat Amerika tidak pernah mengalami hidup di bawah “rezim keamanan” dan, karena itu, mereka terbebas dari trauma sejarah yang banyak ditemukan di negeri sedang berkembang, termasuk di negeri kita.

Dalam hal lain lagi, hal itu mungkin lebih berhubungan dengan pandangan umum mengenai hubungan order dan kebebasan. James Madison, salah seorang perumus konstitusi AS pada akhir abad ke-18, pernah berkata bahwa tanpa ketertiban dan aturan hukum yang tegas, tidak akan ada kebebasan dan hak-hak asasi. Kedua hal terakhir ini harus diperjuangkan dan dijunjung tinggi oleh setiap individu, tapi semuanya harus berlangsung dalam kerangka hukum yang jelas dan tanpa merugikan atau membahayakan individu lainnya. Pandangan inilah yang menjadi semacam kesepakatan bersama, sebuah kontrak sosial yang mengatur hubungan rakyat dan pemerintah yang mereka­ pilih­ sendiri.­ Hal­ ini­ menjadi­ dasar­ filosofis­ yang­ dipe­ gang teguh dan tak pernah dipertanyakan lagi.

Apa yang dilakukan oleh Walikota Charles Luken di Cincinnati, karena itu, bisa dilihat sebagai sebuah penegasan kembali pandangan semacam itu, dalam bentuknya yang sangat eksplisit. Jadi, kita tidak perlu heran jika keputusan dia berlalu begitu saja tanpa penolakan keras dari publik Amerika.

29 April 2001

Kolom, TEMPO, 29 April 2001

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.

Related Articles