Dekrit Gus Dur

Foto: [Kemendikbud]
Sumber: https://www.nu.or.id/

PARA AKTOR di panggung sejarah akan dinilai bukan terutama oleh apa yang dikatakan, melainkan oleh apa yang dilakukan, terutama ketika berhadapan dengan krisis yang mengancam dirinya sendiri.

Dekrit Gus Dur, apapun namanya, adalah senjata pamungkas politik yang hanya mungkin dilaksanakan dengan dukungan TNI dan Polri. Kita patut bersyukur, kedua alat negara ini ternyata tetap utuh dan menolak penerapan dekrit itu. Tapi, seandainya kedua institusi pemaksa itu pecah dan terbagi dalam faksi-faksi pro dan kontra suatu hal yang memang “dicari” oleh Abdurrahman Wahid pertaruhan keras di kalangan massa akan menjadi sebuah kemungkinan yang sangat riil. Jika ini terjadi, darah akan tumpah dan proses pelembagaan demokrasi kita akan mundur beberapa langkah.

Saya sebenarnya tidak terlalu heran bahwa Gus Dur mau mempertaruhkan apa yang tidak seharusnya menjadi bahan pertaruhan dalam arena politik yang demokratis. Selama beberapa bulan, ia sering mengancam, jika Sidang Istimewa MPR diselenggarakan untuk mencabut mandatnya, gerakan separatis di sekian daerah akan marak dan Republik bisa pecah. Dengan cara ini, ia memberikan insentif bagi para politisi di daerah untuk menjadikan agenda separatisme sebagai bagian dari proses politik yang normal.

Artinya, keutuhan negara bagi tokoh seperti Gus Dur boleh saja dimasukkan dalam proses negosiasi kekuasaan partai atau kepentingan orang per orang. Dengan cara berpikir seperti ini, Gus Dur sudah tidak lagi mampu menarik garis demarkasi antara kepentingan politik, di satu pihak, dan negara sebagai institusi besar tempat berbagai kepentingan ini berinteraksi secara terpola di pihak lain.

Jika batas semacam itu saja bisa dilanggarnya tanpa sedikit pun rasa bersalah, ia pasti mampu dan siap melakukan apapun, termasuk mendeklarasikan dekrit yang secara potensial dapat mengancam nyawa banyak orang dan menyulitkan proses pelembagaan demokrasi. Selain itu, dekrit Gus Dur memperlihatkan sebuah persoalan besar, yang terjadi lebih pada tingkat konseptual. Yang terancam oleh SI MPR adalah posisi Gus Dur sebagai presiden, bukan negara. Dalam hal tertentu, sidang ini malah bisa dipandang sebagai proses politik yang memperkuat institusi negara, karena para aktor yang terlibat di dalamnya diharuskan berkompetisi untuk mencari argumen dalam menutup beberapa celah konstitusional yang memang ada dalam pengaturan hubungan lembaga eksekutif dan legislatif. MPR, sebagai lembaga politik tertinggi, juga sedang belajar menjadi lembaga demokrasi, dengan proses yang tentu saja tidak selalu mendatangkan kekaguman dan rasa hormat. Dengan memaklumkan dekrit, Gus Dur ingin memotong proses ini dan memper­sonifkasikan dirinya sebagai negara itu sendiri. “Aku adalah negara, negara adalah aku”: jika yang satu terancam, yang lainnya demikian pula.

Sejarah sudah memberikan banyak pelajaran bahwa sistem kediktatoran selalu dimulai dengan cara berpikir semacam itu, dengan alasan-alasan yang tentu saja berbeda dari satu negeri ke negeri lainnya serta dari satu tokoh ke tokoh lainnya.

Saya tidak berkata bahwa jika dekrit Gus Dur terlaksana, yang pasti terjadi hari ini adalah sebuah sistem kediktatoran yang fanatik dengan dirinya sendiri. Sistem seperti ini hanya bisa ada jika faktor-faktor lain dalam masyarakat ikut mendukung.

Tapi, yang jelas, konstruksi konseptual di balik dekrit itu bisa menjadi pemicu bagi bangkitnya faktor-faktor demikian dalam waktu yang relatif singkat. Hampir semua diktator yang pernah ada dalam sejarah modern selalu datang secara tak terduga dalam proses perputaran sejarah yang relatif cepat, yang biasanya dimulai dengan proses pembubaran atau pengebirian parlemen. Karena semua itulah, kalau diminta untuk menggambarkan turunnya Gus Dur dari kursi kepresidenan, hanya ada dua kata yang muncul di benak saya: disgraceful exit.

Di masa lalu, dia memiliki peran yang cukup penting dalam memperluas dasar-dasar masyarakat terbuka yang demokratis. Dia melawan Orde Baru saya sebenarnya tidak begitu yakin bahwa kata “melawan” dalam hal ini cukup tepat penggunaannya dengan gaya dan kelebihannya sendiri yang bagi banyak kalangan sangat memukau.

Sayangnya, pada hari terakhir kekuasaan politiknya, Gus Dur memilih jalan yang berbeda, sebuah jalan antidemokratik yang akan terus dikenang sebagai salah satu contoh buruk dalam perjalanan sejarah republik kita. Ia mengawali kariernya di dunia politik dengan cemerlang. Ia mengakhirinya dengan kepedihan, buat kita semua. Semoga tokoh-tokoh politik kita di masa mendatang tidak lagi pernah mencoba jalan itu.

30 Juli 2001

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.