Demokrasi, Alan Greenspan, dan Sembilan Sulaiman

Gambar oleh Peggy und Marco Lachmann-Anke dari Pixabay

DEMOKRASI HANYA BISA BERJALAN. Baik bila yang memegang kekuasaan bukan cuma rakyat dan wakilnya. Suara rakyat memang suara Tuhan, namun dalam beberapa hal penting suara ini harus sayup, bahkan tak boleh terdengar. Inilah kenyataan dalam demokrasi modern, sebagaimana terjadi di Amerika Serikat, yang jarang kita pahami.

Salah satu contoh terbaik dari hal itu adalah peranan Alan Greenspan. Dirut Bank Federal AS ini sering dianggap sebagai manusia paling berkuasa di Washington DC. Presiden dan wakil-wakil rakyat di kongres bisa memainkan tarif pajak, mengirim tentara ke Kosovo, membatasi tindakan aborsi dan sebagainya. Namun, hanya Alan Greenspan yang berhak mengambil keputusan dalam menentukan kebijakan moneter.

Dengan menaikkan atau menurunkan tingkat suku bunga, dia bisa mengharu-birukan ekonomi AS, dalam hitungan detik. Uang adalah darahnya kapitalisme modern, dan tingkat suku bunga berfungsi sebagai katup yang menentukan seberapa banyak darah itu mengalir untuk memutar roda perekonomian.Kalau Greenspan gila sedikit, bursa saham di Wall Street akan gunjang-ganjing dan jutaan orang bisa kehilangan pekerjaan.

Jika ia bertindak bijaksana, para investor akan lega dan pertumbuhan ekonomi bisa berlangsung pesat, sebagaimana terjadi dalam delapan tahun terakhir di bawah pemerintah Bill Clinton. Tidak heran, tokoh pertama yang dikunjungi George W. Bush di Washington DC setelah ia dinyatakan sebagai pemenang Pemilu 2000 adalah Alan Greenspan, bukan Bill Clinton atau tokoh-tokoh politik lainnya.

Berbeda dengan posisi seorang presiden atau para politisi di Kongres, kekuasaan Greenspan tidak berdasarkan pada pilihan rakyat. Ia memang diangkat oleh presiden dan disetujui Senat, lembaga perwakilan negara bagian. Tetapi setelah itu, ia bebas melakukan apapun. Dalam hal ini, ia bertindak sebagai seorang Platonic guardian, Sang Penjaga Kemaslahatan Bersama yang terpisah dan dipisahkan dari dinamika politik. Tanpa dipengaruhi suara dan desakan rakyat, ia mengelola elemen terpenting dari perekonomian Amerika hanya bertolak pada apa yang dianggapnya baik dan perlu. Selain peran Alan Greenspan, contoh lainnya adalah peran sembilan hakim agung di tingkat pusat (pemerintah federal). Kesembilan tokoh inilah yang mengambil keputusan fnal dalam segala hal yang menyangkut hukum dan keadilan. Di atas mereka tidak ada lagi otoritas yang lebih tinggi. Karena itu,mereka kerap disebut kalangan pers AS sebagai The Nine Solomons, Sembilan Sulaiman.

Otoritas hukum adalah fondasi tiap negara modern, sama dengan peranan uang dalam ekonomi modern. Setiap tindakan individu yang berdampak pada individu lainnya diatur dan dibatasi oleh hukum. Jadi bisa dibayangkan betapa mendasarnya kekuasaan Sembilan Sulaiman itu. Bahkan dalam pemilihan presiden pun, jika kebuntuan politik terjadi seperti kita saksikan beberapa saat lalu dalam Pemilu 2000, merekalah yang memberi keputusan terakhir untuk menentukan siapa yang berhak muncul sebagai pemenang.

Sama dengan Greenspan, hakim-hakim agung ini diangkat oleh presiden dengan persetujuan Senat. Tetapi, lebih dari Greenspan, mereka berkuasa praktis untuk seumur hidup. Setelah diangkat, mereka tidak dapat diganti dan tidak lagi dapat dikontrol siapapun. Agar tak terjangkau desakan rakyat dan tarik-menarik kepentingan politik, mereka ditempatkan di langit kekuasaan. Tidak lebih dan tidak kurang, merekalah aktoraktor yang oleh Plato, pemikir Yunani klasik itu, disebut sebagai filsuf­-negarawan.

Keterbatasan Demokrasi

Mengapa peranan semacam itu harus ada? Mengapa sistem demokrasi modern membiarkan dua hal terpenting dalam kehidupan masyarakat, yaitu uang dan hukum, diatur oleh tokohtokoh yang tak terpilih dalam pemilu dan karena itu tidak bertanggungjawab langsung terhadap rakyat? Bukankah rakyat yang paling berkuasa dalam setiap sistem demokrasi?

Jawabannya sederhana. Berbeda dengan yang dikatakan Jean­Jacques Rousseau, flsuf romantik Prancis pra­Revolusi, rakyat tidak memiliki kepentingan tunggal yang bersifat umum. Dengan menyebut “rakyat”, kita sebenarnya menyederhanakan sebuah mozaik kepentingan yang rumit. Baik kaum pengusaha maupun pekerja, misalnya, merupakan bagian sah dari rakyat.Kedua kelompok ini adalah warganegara yang membayar pajak dan menjadi subyek yang dilindungi hukum yang sama. Namun, kepentingan keduanya bisa berbeda, atau dalam beberapa hal tertentu mungkin berlawanan. Di antara kaum pengusaha pun, sebagaimana juga terjadi di antara kaum pekerja, ada beragam kepentingan yang tidak selalu seiring.

Bayangkan kekacauan yang akan terjadi jika arus peredaran uang harus senantiasa mengikuti dinamika kepentingan yang kompleks itu. Para politisi yang membawa kepentingan kaum pengusaha akan mendesak otoritas moneter untuk menurunkan suku bunga, tanpa peduli pada risiko-risiko jangka panjang bagi keseluruhan sistem perekonomian. Para politisi yang dekat dengan kaum buruh akan melakukan desakan lain lagi. Singkatnya, tingkat suku bunga akan mencerminkan perimbangan kekuatan dan tarik-menarik kepentingan politik, bukan perimbangan faktor-faktor fundamental dalam ekonomi. Setiap ekonom tahu, hal ini dalam jangka panjang akan membawa sistem perekonomian ke tepi jurang yang terjal.

Dalam dunia hukum, akibatnya juga tidak berbeda. Hukum hanya menjadi kepanjangan tangan proses politik. Para hakim akan berubah menjadi kaum aktivis yang mewakili kepentingankepentingan praktis dalam masyarakat. Hukum menjadi budak rakyat, dan kelompok rakyat yang paling kuat akan menjadi Tuhan yang memegang komando atas segalanya. Pada ujungnya yang akan terjadi dengan semua itu adalah hilangnya batas antara kekuasaan dan keadilan, antara kekuatan dan kebenaran.

Dengan kata lain, rakyat bukan entitas yang seragam, sempurna dan serba mulia. Ketidaksempurnaan inilah yang mengharuskan sistem demokrasi mengerti batas-batasnya dan membiarkan tokoh-tokoh seperti Alan Greenspan dan Sembilan Sulaiman memainkan peranan vitalnya.

Demokrasi Amerika tahan uji dan berjalan relatif efektif antara lain karena kesadaran akan keterbatasan demokrasi seperti itu berakar cukup dalam, baik di kalangan elite maupun rakyat umumnya.

Pelajaran

Bagi kita, itulah pelajaran berharga. Sebagai negeri yang baru mulai menciptakan dasar-dasar sistem demokrasi, kita harus menyadari bahwa sistem yang ideal ini memiliki sejumlah keterbatasan. Karena itu, kita memerlukan lembaga-lembaga tertentu, seperti Bank Indonesia dan Mahkamah Agung, untuk berperan tanpa dicampuri kekuatan rakyat maupun kekuasaan elite politik.

Sejauh ini, sayangnya, kesadaran demikian masih sering tersingkirkan oleh dinamika percaturan kekuasaan politik. Apa yang terjadi pada Bank Indonesia dan proses pemilihan Ketua Mahkamah Agung belakangan ini menggambarkan hal itu. Sama dengan pada era-era sebelumnya, kedua lembaga penting ini masih terlalu banyak berperan sebagai kepanjangan tangan pihak-pihak di luar dirinya.

Proses penyusunan pembagian kerja serta pembatasan kekuasaan memang tidak mudah, apalagi jika menyangkut halhal fundamental, seperti hukum dan uang. Tetapi kita harus belajar melakukannya mulai sekarang. Kalau tidak, kapan lagi?

15 Januari 2001

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.