Freedom: Sebuah Kerangka Umum

Sangat penting bagi kita membahas freedom dalam konteks In­donesia mutakhir. Arti dasar kata freedom adalah bebas.

Dalam kebudayaan kita, bebas ini kadang dikonotasikan kurang tepat; diasosiasikan dengan cara hidup yang terlalu bebas, seks be­bas, dan segala hal yang buruk. Ringkasnya: diidentikkan dengan liar. Jadi, kebebasan disamakan dengan keliaran.

Padahal free itu bermakna positif. Kebebasan mengandaikanmakhluk yang secara alamiah memiliki kemampuan untuk ber­pi­kir, untuk merasa, dan untuk memilih bagi dirinya sendiri. Ka­rena itu, kebebasan jika diterjemahkan sebagai sebuah sis­tem pengaturan masyarakat, berarti sistem yang percaya bahwa individu-individu yang ada dalam suatu masyarakat sesung­guh­nya bisa menggunakan kemampuan dan harkat mereka secara ala­miah, serta mampu memilih bagi diri mereka sen­diri.

Kadang memang ada kekhawatiran bahwa kalau orang di­biarkan bebas memilih, misalnya dalam konteks sebagai war­ganegara, maka orang akan memilih ke arah yang buruk. Tin­dakan memilih terkadang memang bisa keliru. Tetapi itu bagian dari proses pembelajaran untuk menjadi dewasa, untuk menjadi otonom. Seorang pemikir Jerman, Immanuel Kant, pernah menulis risalah tentang kebebasan dan emansipasi manusia. Kita, kata filsuf abad ke-19 itu, harus percaya bahwa manusia mam­­pu memilih, mampu tumbuh. Dalam proses itulah berlang­sung pembelajaran.

Kalau sang manusia, sang individu, ingin dibuatkan pilihan terus-menerus oleh otoritas di luar dirinya, maka individu ter­ sebut dan ini bisa kita perluas menjadi masyarakat tidak akan kunjung matang. Jadi situasinya adalah: kita buat sebuah sistem yang menjamin kebebasan agar individu-individu bebas me­milih, dan dalam proses memilih terus-menerus dalam hi­dup­nya itulah ia menjadi lebih matang, lebih otonom lebih de­wasa.

Itu tidak perlu disalahpahami sebagai hal yang yang akan menjurus ke individualisme, sebagai sesuatu yang dilawankan dengan “budaya Timur”, termasuk kita di Indonesia, yang biasanya mengecamnya karena individualisme dianggap akan akan menciptakan manusia dan masyarakat yang individualistis, yang tidak solider terhadap penderitaan sesama, dan sebagainya. Kita harus akui fakta keras bahwa setiap manusia punya ke­cenderungan untuk melihat dunia dengan kacamata yang dia miliki; untuk melihat kepentingan yang ada di sekitarnya lewat kepentingannya sendiri. Dan itu kenyataan alamiah. Manusia di mana pun selalu begitu. Tidak ada masyarakat yang mengerti di luar kacamata yang digunakannya. Karena itu individualisme bukanlah sebuah paham. Ia adalah sebuah kenyataan.

Saya sendiri tidak pernah mengkhawatirkannya. Yang saya cemaskan justru hal sebaliknya. Orang mengatasnamakan ma­syarakat, mengatasnamakan agama, untuk memaksakan ke­ hendaknya pada orang lain. Saya baru baca koran bahwa di Pa­dang, misalnya, siswi-siswi—yang beragama Islam maupun non-Islam dipaksa untuk memakai jilbab. Ini bentuk pemak­saan kehendak yang paling kasar. Kalau hal itu diwajibkan di kalangan internal kaum muslimat, kita masih bisa berdebat. Tapi kalau ketentuan itu juga dipaksakan terhadap warga non Islam, ini betul-betul bentuk kolektivisme yang paling kasar. Itu merupakan otoritarianisme yang tidak menghargai individu, tidak menghargai kebebasan pilihan.

Mari kita lihat bagaimana kenyataan tentang individualisme itu berlangsung di Amerika Serikat, yang selama ini dianggap memunculkan sikap individualistik, yang tidak memerhatikan kepentingan dan derita manusia lainnya. Saya hidup di Amerika selama delapan tahun, dan saya segera melihat betapa tidak be­narnya anggapan itu. Kehidupan berkeluarga, kehidupan berkelompok, selalu ada dalam masyarakat Amerika. Jadi, an­tara individu dan lingkungannya tidak mungkin dipisahkan.Yang menghubungkan mereka adalah paham atau pandangan tentang bagaimana sang individu dan lingkungannya berhu­bungan.

Di satu pihak, ada kecenderungan pada masyarakat yang lebih tradisional, yaitu ingin memaksakan apa yang disebut sebagai kepentingan kelompok atau kepentingan kolektif ke­pada individu. Kalau kita lihat dalam masyarakat yang non-de­mokratis, kepentingan kelompok hampir selalu berarti ke­pen­tingan segelintir orang yang bisa memaksakan kekuasa­annya,baik dalam bidang kebudayaan, ekonomi, politik, hu­kum, dan sebagainya. Inilah yang sebenarnya menjadi masalah. Kalau kita mengatakan ada sebuah kepentingan bersama yang harus diutamakan atau diperjuangkan, bagaimana kita sampai pada perumusan kepentingan bersama itu, dan bagaimana kita mengharuskan individu untuk takluk?

Di Amerika atau masyarakat Barat umumnya, ada konsti­tusi yang memberikan garis batas yang jelas, di mana negara sebagai perwakilan kelompok bersama tidak boleh melampuai batas-batas tertentu. Hak-hak kebebasan berpendapat adalah hak individual yang tidak boleh diambil oleh negara dalam kondisi apapun, kecuali kondisi ekstrem.

Di negeri-negeri itu, apa yang disebut kemaslahatan umum dirumuskan melalui serangkaian prosedur tertentu. Jadi, tidak ada seorang pun yang bisa menyatakan bahwa “sayalah yang mewakili kepentingan umum”. Itu harus diolah dalam suatu prosedur yang disebut prosedur demokratis, di mana ada par­lemen, eksekutif, ada mahkamah agung yang memeriksa apa­kah prosedurnya sudah dilewati. Jadi, ada hukum, ada konsti­tusi yang memberi batasan apa yang disebut kepentingan ber­sama. Makanya dalam Konstitusi Amerika Serikat, misalnya, yang pertama kali dijelaskan adalah bahwa ada hak-hak indi­vidu yang tidak bisa diambil oleh siapapun, termasuk oleh pemerintah dan negara. Inilah yang disebut inalienable rights. Hak-hak yang tak dapat dilucuti itu mencakup hak untuk hi­dup, hak untuk mencari penghidupan, hak untuk bahagia; ke­mudian ada tambahan melalui amandemen: hak individu untuk berpendapat, untuk  beragama, memilih agama masing-masing. Itulah hak yang paling dasar.

Secara implisit, konstitusi kita yang paling baru, setelah amandemen, pun sudah menjamin semua hak itu, meski ada beberapa masalah. Tetapi masalah kita yang lebih besar seka­rang adalah konteks sosial dan kulturalnya, sedangkan aturan-aturan legalnya kita sudah punya.

***

Kritik yang lazim kita dengar bahwa semua konsep itu individualisme, liberalisme, freedom—adalah berasal dari Barat, berakar dan berkembang di lahan Barat, dan dengan sendirinya tidak cocok bagi lahan Timur (Indonesia) yang penuh solidaritas, kekeluargaan, dan sebagainya, perlu diberi perspektif yang te­pat. Kenyataannya, di Barat pun, sebelum lahirnya modernitas, situasinya sama dengan yang kita alami; kultur masayarakat mereka cenderung kolektivistik, bersifat gotong-royong, dan sebagainya. Tapi di Amerika dan di Eropa terjadi perkembangan, dan evolusi. Berkembangnya modernitas membawa pula per­kembangan paham yang menganggap individu sebagai otonom, yang mampu memilih bagi dirinya.

Ini pun bahkan terjadi dalam rumahtangga kita. Semakin anak-anak saya tumbuh, semakin tampak karakter bahwa anak-anak ini membutuhkan ruang bagi dirinya sendiri yang paling gampang adalah: mereka mulai minta kamar sendiri. De­ngan kata lain, jika kemampuan ekonomi keluarga mendu­kung, secara alamiah anak-anak yang berangkat remaja mulai menuntut privasi. Ini berlangsung secara alamiah, tanpa diatur oleh siapapun. Begitu seorang anak melihat kemampuan-ke­mampuan alamiahnya mulai berkembang, dia sedikit-banyak meminta ruang bagi dirinya sendiri. Unit analisis dengan berba­sis pada keluarga seperti yang saya ilustrasikan itu juga penting, sebab individualisme tidak berarti mempersetankan keluarga dan kelompok-kelompok yang lebih besar dari keluarga.

Individualisme adalah pengakuan bahwa individu adalah subyek yang mampu merasa dan mampu memilih bagi dirinya sendiri. Dia harus dibiarkan dalam proses belajar. Kalau kita tidak mengakui ini, kita terjebak adalam suatu situasi seperti yang lazim terjadi dalam masyarakat tradisional—sekadar me­nyebut contoh yang paling gampang dan jelas. Dalam masya­rakat semacam itu individu selalu diberitahu bahwa suatu ke­pentingan tertentu adalah kepentingan adat atau kepentingan suku. Tapi siapa yang mendefinisikan kepentingan adat atau kepentingan suku itu?

Kalau ada seorang anggota masyarakat Bugis klasik sudah mau meninggalkan sarung, apa alasan kita untuk berkata bahwa dia tidak boleh lagi memakai jins karena hal itu ber­ tentangan dengan tradisi masyarakat Bugis; bahwa adat harus dijaga? Kalau anak tidak lagi ingin kawin secara adat, tapi mau kawin secara modern supaya hak-haknya terjaga, baik dengan surat, dengan kontrak dan sebagainya, apa alasan terbaik untuk mengatakan kepadanya bahwa dia tidak bisa bertindak begitu, sebab adat kita tidak demikian? Ini sebenarnya dilema antar­ pilihan. Kita bisa melihatnya secara gamblang pada kisah Siti Nurbaya dalam sastra kita. Siapa yang memilih buat sang indi­vidu: dirinya sendiri (Siti Nurbaya) atau otoritas di luar di­rinya—ayah, ibu, paman?

Di belakang skema itu ada sistem adat besar, ada prasangka, kecurigaan terhadap orang lain; barangkali juga ada paham yang keliru; ada paham yang pada suatu waktu bisa benar tapi dalam perubahan zaman tidak lagi benar. Pertanyaan pokoknya: boleh atau tidak Siti Nurbaya memilih buat dirinya sendiri, da­lam hal ini memilih suami. Akhirnya soal pilihan ini meluas, bukan hanya untuk memilih suami, tapi juga untuk memilih se­­kolah, untuk memilih cara hidup untuk memilih macam-macam hal. Harus ada batas-batas bagi kita untuk berkata pa­da diri sendiri bahwa sesuatu itu merupakan hak individu un­tuk memilih; bahwa dia harus melakukan itu buat dirinya sen­­­diri, agar dia tumbuh menjadi manusia yang semakin de­wasa.

Maka kritik yang menampik semua itu dengan alasan bahwa ia berasal dari Barat, tidaklah sah. Zaman sekarang ini tidak lagi mengizinkan kita untuk memilah-milah Barat dan Timur. Kalau kita masih memakai argumen ini, berarti kita mundur ke perdebatan sebelum 1960-an dan 1970-an sampai jauh ke belakang. Bahwa kita masih bisa mempersoalkan konsep kebe­basan secara filosofis, ya tentu saja. Setiap konsepsi pasti punya kelemahan. Tapi saya tidak melihat alternatif yang bisa kita terapkan sebagai dasar sistem sosial atau sistem politik, selain paham kebebasan. Jika kita gunakan sebagai sistem gagasan, kebebasan ini akan menjadi dasar bagi sebuah paham dan sebuah sistem yang kita sebut sistem liberal atau liberalisme.

***

Sebagai orang Indonesia, orang “Timur”, saya sendiri tidak merasakan kompleks tertentu terhadap Barat. Mungkin saya mendapat keberuntungan-keberuntungan tertentu. Sejak per­tama kali tinggal di Amerika, saya tidak merasakan sesuatu yang disebut cultural shock. Saya juga mengamati perkembangan anak saya. Sejak awal, dia kelihatannya sangat Amerika, karena lahir di sana. Dia bersekolah di sana sejak kelas nol kecil. Ke­tika dia di kelas 3 SD, kami pulang, dan dia harus pindah kesekolah Indonesia. Saya khawatir dia mengalami cultural shock yang sebaliknya—sebagai “anak Amerika” yang tiba-tiba harus hidup di Indonesia. Ternyata secara umum situasinya normal belaka.

Pada satu-dua bulan pertama memang ada sedikit masalah, terutama dalam soal yang remeh-temeh seperti makanan dan gigitan nyamuk. Tapi dari sudut paham kehidupan, saya tidak melihat adanya shock tertentu dalam batin anak saya. Saya justru melihat transisi yang smooth—tampak dari cara dia ber­sekolah, bercengkerama, berbincang-bincang, bermain dengan kawan-kawannya. Dia bisa dengan gampang menjadi orang Indonesia. Dan kalau bertemu dengan kawan-kawannya yang pernah tinggal di Amerika, dia bisa berbincang dengan enteng dengan bahasa Inggris.

Jadi saya melihat manusia punya kemampuan untuk ber­adaptasi. Nilai atau kebudayaan bukanlah sesuatu yang absolut, bukan sesuatu yang kalau “sudah dari sononya begitu” tidak bisa lagi berubah. Itulah Bugis, itulah Indonesia. Saya melihat kultur, kebudayaan, nilai, paham itu fleksibel dan yang menen­tukan adalah manusia. Anak saya bisa. Maka kita yang dewasa, yang sudah banyak baca buku dan punya pengalaman lebih banyak, mestinya lebih mampu dan arif. Mungkin kita bisa berkata bahwa anak-anak memang bisa dengan gampang se­perti itu karena mereka, meminjam Geertz, belum dijalin oleh tali-temali nilai-nilai yang koheren. Tapi argumennya bisa juga
kita balik: bahwa anak-anak bisa seperti itu karena mereka memang tidak bisa berhenti mencari dan mau belajar. Per­ta­nyaannya: apakah kita yang tua-tua mau terus belajar atau mau berhenti belajar? Apakah kita mau mandek pada suatu sistem nilai tertentu, sementara dunia berubah; kita mau meng­ikuti perubahan dunia atau kita mau dunia yang mengikuti kita?

Fakta bahwa terjadi perubahan nilai tidak mungkin bisa ditolak. Tidak ada satu pun masyarakat, kecuali mau disebut masyarakat terasing, yang terisolasi, yang tidak mengalami perubahan nilai, perubahan orientasi, perubahan cara hidup. Tinggal bagaimana kita melihat  perubahan itu. Kita mau me­lihatnya sebagai sesuatu yang membuat kita sedih dan merasa terdesak. Atau kita mau menyambutnya  dengan tangan terbuka dan mengakui bahwa itulah hidup dan kita ingin melihat yang terbaik dari sana? Itu adalah hukum alam:  perubahan dalam setiap hal. Hidup pun secara fisik berubah. Ini adalah hal yang elementer. Kalau tidak ada perubahan tidak ada kemajuan.

Mari kita lihat secara gampang. Saya kadang-kadang sen­ timental. Mengingat masa kecil di sebuah desa, di sebuah kota kecil yang indah, hidup dengan saudara-saudara dan ke­luarga yang sekarang harus tinggal di Jakarta. Apakah saya ingin melihat masa kecil saya yang indah, lalu sedih terus-menerus, meratapi masa yang sudah berlalu, ataukah saya akan melihat ke depan? Dalam soal kebebasan pun saya terka­dang melihatnya sebagai masalah melihat kehidupan. Apakah by nature, secara alamiah, kita mau pesimistis melihat ke be­lakang, melihat apa yang berbahaya dan yang jelek dari ke­hidupan, ataukah kita mau melihat yang bagus dan bermanfaat? Ini soal cara pandang kita melihat manusia.

Kalau kita melihat manusia tumbuh bebas dan memilih, mam­pukah kita bersikap optimistis bahwa mereka pada ak­hir­ nya akan memilih dengan benar dan baik? Atau kita akan selalu takut, berdebar-debar, khawatir jangan-jangan akan be­gini dan begitu? Jadi saya melihat ada dua cara melihat ke­hi­dupan yang berhubungan dengan pandangan kita tentang ma­nusia, tentang kebebasan, tentang perubahan. Kalau kita by nature optimistis, tangan terbuka, melihat ke depan, rasanya kita akan lebih gampang menerima paham yang disebut kebebasan — menerima freedom sebagai kehendak untuk bebas itu.

Memang ada sesuatu yang hilang. Saya, misalnya, semula hidup dalam suatu keluarga dan masayarakat tertentu, yang me­megang nilai-nilai tertentu, katakanlah nilai Bugis atau nilai Indonesia. Setelah menengok ke Barat, bukan hanya sekolah, tapi juga karena bacaan dan sebagainya, tentu ada porsi-porsi nilai dalam diri saya yang tergantikan oleh sistem nilai baru, dan nilai-nilai yang lama itu mungkin hilang entah ke mana. Tapi saya anggap itu sebagai bagian dari proses saya untuk menjadi lebih dewasa, lebih arif, lebih luas melihat dunia. Saya tidak melihat itu sebagai masuknya unsur Amerika atau Barat; saya melihat tumbuhnya diri saya sendiri dalam melihat dunia.

Jadi, saya senang bahwa saya berkembang. Bukan karena sayamen­jadi Amerika atau menjadi Barat, tapi karena saya ber­kem­bang sabagai manusia; menjadi mampu melihat begitu banyak hal, belajar begitu banyak, belajar mengadopsi paham yang baru.

Saya tidak perlu membenci paham yang lama atau cara lama. Saya memahaminya. Ibu saya masih sangat Bugis, saya memahaminya. Tetapi saya senang dan dia pun pasti senang melihat saya tumbuh berkembang melampaui generasi orangtua saya. Dan saya berharap anak saya pun seperti itu. Saya, bagai­ manapun, hidup dalam konteks tertentu, dan tidak ingin anak kita selalu lebih baik dari diri kita, dan mereka akan semakin tumbuh, semakin lengkap menjadi manusia. Dan pada akhirnya, ini lucunya, dalam perjalanan menjadi manusia, ada yang ber­kata bahwa itu masalah paham yang paling dasar; ada yang berkata bahwa seseorang itu progresif, linear, atau ter­kadang berputar kembali menjadi sirkular menuju titik ter­tentu saya tidak tahu. Tapi yang pasti: ada perubahan, ada perkembangan, ada sebuah proses di mana manusia mampu belajar untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Kalaupun disebut ada porsi-porsi nilai yang hilang, ada juga penggantinya. Dan mungkin penggantinya lebih baik. Ha­rus begitu. Kalau tidak begitu, kita melangkah ke belakang. Se­bagai bangsa, Indonesia pun dihadapkan pada pilihan-pi­lihan. Sebuah masyarakat senantiasa dihadapkan pada pilihan-pilihan tentang mau melangkah ke manakah mereka. Saya kira dengan proses demokratisasi yang terjadi tujuh tahun terakhir, kita harus bangga bahwa pilihan kita secara umum benar. Te­tapi selalu ada orang, kelompok, atau tahap yang bisa meng­ham­bat proses kemajuan ini. Dan itulah yang harus kita sadari.

Indonesia memang dinamis dan berkembang, terdiri atas begitu banyak suku, banyak kepentingan, banyak keragaman, banyak kebudayaan. Tetapi kita harus tahu bahwa dalam garis besarnya kita sudah melangkah dengan baik sebagai sebuah ma­syarakat. Membangun sistem yang baru di mana sebagai landasannya paham kebebasan semakin mendapat tempat. Itu yang harus kita sadari bersama. Dan kita harus melawan potensi-potensi yang bisa menghambatnya. Saya tadi kasih con­toh betapa di daerah-daerah, misalnya Sumatra Barat, masih ada dimensi itu. Kita tidak boleh membiarkan hal semacam itu dalam berbagai manifestasinya menjadi dominan di kemudian hari. Itu adalah tugas bersama.
                                                                                                           ***

Dalam soal kebebasan (freedom) ini, kadang-kadang orang berpikir bahwa eksperimen yang dilakukan oleh negara Amerika Serikat, misalnya, terasa terlalu berani. Mereka memberi ke­12 bebasan begitu besar kepada pers, kepada macam-macam insti­tusi, sehingga ada kesan bahwa kebebasan itu akhirnya batasnya tipis sekali dengan keliaran atau anarki. Lagi-lagi, kita perlu lebih cermat melihat hal ini. Kita lihat Amerika memang amat sangat bebas untuk ukuran kita, tapi justru masyarakatnya amat sangat teratur. Lihat saja lalu-lintasnya. Kita mau bilang kita terlalu senang dengan kebebasan, tapi lihatlah jalan raya kita. Begitu liarnya orang, para pengendara. Jadi, kita  kadang-kadang juga agak munafik dengan diri kita sendiri, atau kita menerapkan kebebasan pada tempat yang salah.

Artinya, pada saat kita harus bebas, kita justru bersikap sebaliknya. Tapi pada saat kita harus mengikuti aturan dengan ketat, kita justru mau liar. Perilaku di jalan raya dapat dilihat sebagai salah satu contohnya. Tapi dalam masalah hukum pun begitu. Kalau Anda ke Amerika, atau kota-kota yang Anda sebut Barat itu, Anda lihat betapa tertibnya berlalu-lintas disana; itu merupakan cermin betapa tertibnya perilaku mereka dalam hukum. Mereka terima itu, dan bersikap sebagaimana yang dituntut oleh hukum bersama. Kita tahu bahwa hukum adalah kehendak bersama yang diwujudkan dalam ketentuan tertulis. Nah, kita di sini barangkali mau mengatakan bahwa secara budaya kita tidak terlalu senang dengan kebebasan, kita mau kehendak bersama. Tetapi dipandang dari sudut ke­modernan dalam tata hukum masyarakat, kadang-kadang kita jauh lebih liar ketimbang masyarakat yang bebas.

Lalu, apakah semua masalah dengan sendirinya akan beres jika kita mengusung kebebasan? Tentu tidak. Hal ini sa­ngat ber­­gantung pada dinamikanya dari hari ke hari, ketika paham ke­bebasan itu diterapkan. Menurut John Stuart Mill, salah satu pe­mikir tentang paham kebebasan di Inggris pada abad ke-19, ke­bebasan adalah prakondisi bagi lahirnya kreati­vitas dan genius-genius dalam masyarakat. Yang dia maksud bukanlah bah­wa semua orang dalam masyarakat itu akan pin­tar berkat ada­­nya kebebasan. Maksudnya: dengan adanya kebebasan, ada­nya sikap menghargai orang untuk bersikap dan berpikir, ke­mung­kinan masyarakat itu untuk berkembang, berdialog, untuk men­cari hal yang lebih baik, terbuka lebih lebar. Ruangnya di­buka lebih besar. Itulah yang menjadi kunci mengapa masya­ra­kat tersebut tumbuh. Dan ini memang secara empiris ter­buk­ti.

Dalam masyarakat-masyarakat di mana kebebasan menjadi ins­titusi, artinya telah terlembagakan menjadi perilaku, menjadi kitab hukum, sistem politik, dan sebagainya, memang kelihatan me­reka maju dengan cepat, atau menjadi negara-negara yang ma­ju. Pasti ada hubungan mengapa “Barat” adalah juga negara-ne­gara yang paling kaya, paling kuat, sekaligus paling bebas. Pasti ada hubungan antara kebebasan, kesejahteraan, dan ke­ma­ju­an sebuah bangsa. Itulah yang dikatakan oleh John Stuart Mill. Dan, sebagaimana Mill, saya juga meyakininya.

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.