George Soros

Photo by fikry anshor on Unsplash

SETELAH KOMUNISME, kini persoalan terbesar bagi umat manusia adalah kapitalisme. Doktrin laissez-faire (liberalisme) kini merajalela: manusia makin menjadi individualis-egois, mengejar kepentingan diri sendiri tanpa mampu bersimpati pada, dan bekerjasama dengan, manusia lainnya. Peradaban pun berada dalam situasi lampu merah.

Di Amerika, ancaman dan ramalan semacam ini mungkin hanya dipandang sebelah mata jika disampaikan tokoh seperti Ralph Nader, aktivis gerakan konsumen, atau Pendeta Jesse Jackson. Tapi bagaimina jika disampaikan George Soros?

Tokoh kelahiran Hungaria ini pada awalnya hanya seorang imigran yang terusir dari negerinya karena ekspansi Naziisme Hitler. Di New York, ia kemudian bertaruh nasib di bursa uang, dan sukses. Bahkan ia menjadi semacam legenda: dalam sehari ia kabarnya pernah mengeruk untung hingga Rp2 triliun lebih. Setelah menjadi superkaya—karena dorongan ide besar yang pernah dipelajarinya, antara lain, dari filsuf Karl Popper—ia kemudian menggunakan sebagian hartanya untuk membantu gerakan demokratisasi di Eropa Timur.

Soros, singkatnya, adalah ikon kapitalisme itu sendiri, sebuah simbol tentang kemungkinan baik yang dapat ditumbuhkan oleh persamaan kesempatan dan kebebasan ekonomi. Karena itu pula pandangan menakutkan tentang liberalisme yang di sam­paikannya mungkin akan mengundang perhatian cukup serius, bahkan lebih dari semestinya. Tapi sejauh mana sebenarnya kebenaran pandangan ke­labu seperti itu? Argumen Soros, sebagaimana yang ditulisnya di Atlantic Monthly baru-baru ini, kalau disingkat, berbunyi seperti ini. ldeologi totalitarian, yaitu fasisme dan komunisme, dulunya ada­lah musuh terbesar masyarakat terbuka. Ka­pitalis­me, yang ki­­ni dominan, bertumpu pada doktrin liberal yang pada dasarnya me­miliki persamaan dengan ideologi totalitarian. Mirip dengan pa­ra pendukung fasisme dan komunisme, kaum liberal meng­anggap merekalah pembawa kebenaran terakhir, dan klaim seperti ini didasarkan pada otoritas keilmuan, khu­susnya ilmu eko­nomi.

Klaim terhadap kebenaran terakhir semacam ini akan menyumbat saluran perkembangan masyarakat terbuka. Lebih jauh lagi, ilmu ekonomi yang mendasarinya adalah ilmu yang secara inheren lemah karena bersandar pada asumsi yang sangat simplistis tentang perilaku manusia. Misalnya, manusia adalah makhluk rasional: harga adalah ukuran tertinggi dari nilai suatu barang, jasa, bahkan manusia. Bagi Soros, jika sebuah doktrin yang didasarkan pada ilmu simplistis ini menjadi dominan, ia akan mendorong munculnya peradaban yang keropos, yaitu sebuah peradaban yang ditandai oleh individualisme berlebihan, pendewaan terhadap kompetisi dan efisiensi, serta pada akhirnya instabilitas dan kehancuran.

Buat saya, argumen semacam ini mengaburkan beberapa hal penting tentang liberalisme dan perkembangan kapitalisme. Da­lam satu hal, kecemasan bahwa praktik laissez-faire telah me­rajalela hanyalah bersumber pada ilusi dari orang-orang seperti Soros. Selain Hong Kong, negeri yang paling liberal dalam soal eko­nomi saat ini adalah Amerika. Dan di negeri ini sepertiga da­ri total pendapatan nasional jatuh ke tangan peme­rintah. Ar­ti­nya, 30% dari seluruh pendapatan rakyat dialo­kasikan oleh tangan-tangan politik dan birokrasi, bukan oleh invisible hands-nya Adam Smith. Para pemimpin Amerika, da­ri Reagan hingga Clinton, memang telah berusaha mengubah kenyataan ini. Tapi hing­ga kini perubahan mendasar belum juga terjadi. Jika di ne­ge­ri paling liberal saja faktanya seperti ini, bagaimana pula di ne­geri lain?

Dalam hal lain, yang bagi saya lebih fundamental adalah kekeliruan Soros dalam memandang paham liberal. Liberalisme adalah lawan dari ideologi totalitarian. Sejak awal klaim paham ini didasarkan pada skeptisisme dan argumen tentang ke­bebasan, bukan pada otoritas ilmu dan pendewaan efisiensi.

Bagi kaum liberal, problem politik terbesar adalah tirani kekuasaan, sebuah kondisi di mana penguasa (pemerintah) memaksakan kehendaknya terhadap rakyat. Karena itu, menurut mereka, kekuasaan pemerintah harus terbatas. Pembatasan ini, selain dalam politik, harus dilakukan sejauh mungkin dalam bidang ekonomi: penguasa politik yang manguasai terlalu banyak sumber ekonomi akan mudah berubah sosok menjadi tiran. Dengan demikian, buat kaum liberal, pembatasan peran ekonomi pemerintah (artinya: perluasan mekanisme pasar) harus dilakukan agar kebebasan rakyat dapat terjamin.

Sebagai orang yang skeptis, kaum liberal tak gampang percaya pada slogan kaum penguasa yang menganggap dirinya se­bagai pembela kaum lemah. Kekuasaan punya kepentingan sen­diri, yang tak selalu seiring dengan kepentingan rakyat. Lebih jauh lagi, tak seorang pun, termasuk kaum teknokrat yang be­kerja bagi pemerintah, yang memiliki pengetahuan lengkap ter­hadap kompleksitas dunia ekonomi. Karena itu, seperti kata Friedrich Hayek, alternatif terbaik yang dapat dilakukan adalah membiarkan tiap individu untuk melakukan hal yang di­ang­gapnya baik. Ar­tinya, mekanisme pasar bebas, walau bukan pilihan ideal, adalah pilihan the lesser evil dalam keterbatasan pengetahuan manusia.

Apakah paham ini mendorong individualisme? Memang buat kaum liberal, manusia ideal adalah manusia individualis, dalam pengertian manusia independen, yang mau dan mampu bertanggungjawab bagi diri serta tindakannya. Kalau ia berbuat baik, hal ini terjadi bukan karena ia dipaksa oleh otoritas di luar dirinya, melainkan karena didorong nuraninya sendiri. Sing­katnya, ia, dalam bentuknya yang ideal, adalah manusia se­perti George Soros, yang membantu gerakan demokratisasi dari kesadaran dirinya sendiri.

22 Maret 1997

 

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.