Gore, bush, dan kita

Gambar oleh gfk DSGN dari Pixabay
RAKYAT AMERIKA SERIKAT akan memilih presiden baru, pada 7 November. Sampai saat ini persaingan masih amat ketat. Secara kuantitatif kecenderungan yang terlihat menunjukkan sebuah gejala yang lazim disebut statistical dead heat, posisi dominan seorang kandidat masih ada dalam jangkauan kesalahan sampel penelitian.

Meski demikian, apa yang terjadi dalam sepekan terakhir menunjukkan, George W. Bush, Gubernur Negara Bagian Texas dan putra mantan Presiden George Bush, sudah mulai sedikit di atas angin. Wakil Presiden Albert Gore memang masih bisa menikung tajam dan mencuat pesat di saat-saat terakhir. Tetapi, kalau itu tidak terjadi, era kaum demokrat akan segera berakhir dan negeri Paman Sam sekali lagi akan memasuki era kaum republikan.

Apa dampak perubahan itu buat kita? Akankah warna dan prioritas kebijakan luar negeri AS berubah dengan cukup berarti? Apakah Presiden Bush akan lebih baik ketimbang Presiden Gore, dipandang dari sudut kepentingan kita?

Jawaban saya cenderung positif, meski bisa keliru besar, sebab dalam politik banyak hal dapat berubah tanpa sebab-sebab yang jelas. Namun, bila Anda saksama mengikuti kampanye Bush dan Gore selama sebulan terakhir serta mendengar rencana-rencana kebijakan luar negeri mereka, maka mungkin Anda tidak akan banyak berbeda pendapat dengan saya.

Albert Gore lebih mewakili arus moralisme dalam politik luar negeri. Buat politisi seperti dia, posisi Amerika Serikat sebagai satu-satunya negeri adikuasa menciptakan peluang emas untuk mencapai tujuan-tujuan moral di tiap pelosok dunia melalui kekuatan riil yang dimilikinya di bidang ekonomi dan militer. Kompleksitas tindakan dan pilihan kebijakan dalam politik internasional direduksi menjadi manichaean choice, yaitu pilihan-pilihan antara baik dan buruk, jahat dan mulia, secara hitam-putih. Dalam hal ini dunia lebih dipandang sebagai arena realisasi nilai­nilai moral, apapun defnisinya, dan politik luar negeri hanyalah salah satu alat untuk mencapainya.

Tentu saja tidak ada politisi di Washington DC yang akan sanggup menerapkan doktrin moralisme secara konsekuen tanpa mempertimbangkan kepentingan-kepentingan praktis negerinya secara realistis. Namun, pada Gore, setidaknya dari apa yang bisa diamati dalam proses kampanye pemilu sejauh ini, nuansa moralisme terlihat kental. Dia cenderung memandang dunia lebih sebagai seorang misionaris. Ditambah sosok kepribadiannya yang cenderung agresif, politisi dari Negara Bagian.

Tennessee ini akan semakin menguatkan kecenderungan AS untuk bertindak sebagai polisi global dalam soal-soal yang berkaitan dengan berbagai isu kontemporer, seperti hak-hak asasi dan lingkungan hidup.

Bagi kita, kebijakan Gore akan menciptakan dampak yang dilematis dan kontraproduktif. Bantuan dan hubungan ekonomi, misalnya, akan makin sering diukur dengan berbagai kriteria non-ekonomi yang cenderung menyudutkan para pengambil keputusan ekonomi, baik di Jakarta maupun di Washington DC.

Waktu Tragedi Atambua terjadi beberapa waktu lalu, Presiden Bank Dunia James Wolfensohn sempat mengeluarkan ancaman agar Indonesia segera bertindak tegas menyelesaikannya. Selama lebih dari 30 tahun, baru pertama kali seorang pejabat tertinggi Bank Dunia menyampaikan ancaman semacam itu secara eksplisit, mengenai sesuatu hal yang sebenarnya tidak berhubungan samasekali dengan pelaksanaan programprogram pembangunan dan reformasi ekonomi. Di bawah Gore, hal seperti ini kemungkinan besar akan makin sering terjadi.

Di bidang politik, dampaknya mungkin bukan hanya kontraproduktif, tetapi juga bisa tragis. Kini pemerintah dan aparat keamanan membutuhkan kepercayaan diri dan ruang bernafas yang memadai untuk menerapkan hukum serta menyelesaikan persoalan-persoalan separatisme. Pemerintah, polisi, dan tentara sampai sekarang tidak berani bertindak tegas menegakkan otoritas mereka sebagai penegak hukum dan alat pertahanan negara antara lain karena mereka terus dihantui reaksi dunia, yang dalam hal ini paling diwarnai suara Amerika Serikat.

Gore akan membuat suara seperti itu makin nyaring, dan ruang yang ada bagi pemerintah kita untuk mengambil tindakan-tindakan tegas serta mengandung risiko akan makin sempit.Akibatnya mudah ditebak: pemerintah makin ragu mengambil keputusan, kerusuhan sosial serta gelora pemberontakan terus terjadi, dan daftar korban makin panjang. Inilah ironi politik luar negeri yang terlalu moralistik. Ia dijalankan dengan motivasi mulia, tetapi hasil akhirnya justru bisa menambah penderitaan manusia dalam jumlah besar.

Berbeda dengan Gore, George W. Bush adalah wakil yang hampir sempurna dari arus realisme dalam politik. Bagi dia dan penasihat-penasihat terdekatnya, seperti Condoleeza Rice, Paul Wolfowitz, dan Jenderal Colin Powell, kebijakan luar negeri hanya mengabdi pada satu tujuan, yaitu kepentingan AS yang riil.

Mereka menyadari keterbatasan kemampuan AS dalam memaksakan kehendaknya di seluruh belahan dunia. Bagi mereka, justru karena posisi AS sebagai satu-satunya negeri adikuasa, maka kaum politisi harus ekstra hati-hati dalam melakukan proyeksi kekuatan ke manca negara.

Bush tentu tidak mungkin menghindar sepenuhnya dari tuntutan agar kebijakan luar negeri pemerintahanya juga mencerminkan sentimen moral rakyat AS yang sangat memuja demokrasi dan hak-hak asasi. Tetapi, orang seperti Bush, Rice, Wolfowitz, dan Powell mengerti, demokrasi hanya bisa tumbuh dalam masyarakat yang telah siap untuk itu. Proses demokratisasi di Asia atau di Afrika tidak bisa terjadi hanya lewat dekrit yang dikeluarkan Gedung Putih.

Bila ternyata Bush cs. ingin dan bisa membantu proses demokratisasi dalam sebuah masyarakat, dalam situasi yang normal mereka cenderung akan melakukannya lebih dengan me­nekankan metode­metode non­politis, seperti intensifkasi hubungan dan bantuan ekonomi, bantuan pendidikan, kesehatan, dan semacamnya.

Dilihat dari kacamata kepentingan kita, justru hal itulah sekarang yang sebenarnya sangat dibutuhkan.

Jika Gore menjadi Presiden, posisi menteri luar negeri di kabinetnya kemungkinan akan diisi Richard Holbrooke, Dubes AS di PBB yang sangat agresif itu. Lewat Holbrooke kita mungkin akan makin banyak mendapat ceramah dan tuntutan-tuntutan moralistik tanpa pertimbangan yang saksama akan kompleksitas faktor-faktor domestik.

Kalau Bush yang terpilih, salah satu kandidat kuat untuk menduduki posisi penting itu adalah Paul Wolfowitz, tokoh simpatik yang pernah menjadi dubes populer di Jakarta. Berbeda dengan Holbrooke, dia sangat mengerti berbagai kompleksitas yang ada dalam masyarakat Indonesia. Di tangan seorang Wolfowitz (atau Colin Powell), pelaksanaan politik luar negeri AS akan menjadi lebih elegan dan realistis. Dan bagi kita, semua itu tentu lebih baik.

 

2 November 2000

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.