Hentikan Kebiadaban

Gambar oleh Reimund Bertrams dari Pixabay

DAFTAR KEBIADABAN bertambah lagi. Kali ini di Sampit dan Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Hanya dalam beberapa hari, ratusan orang tewas, dan puluhan ribu lainnya menjadi pengungsi, tercabut dari tempat mereka mencari hidup dan membesarkan anak-anak mereka. Kerugian harta benda tidak sedikit. Inilah kekerasan dalam bentuknya yang paling telanjang.

Sedihnya, sementara semua itu berlangsung selama beberapa hari, eksistensi Republik Indonesia seolah menguap di angin. Para pemimpin pemerintahan di pusat dan di daerah tak berdaya dan sepertinya tak mengerti harus berbuat apa. Negara berubah fungsi, bukan lagi sebagai sebuah lembaga penegak hukum dan penjamin keamanan warganya, tetapi hanya sebagai panitia pengatur pengungsi.

Kita sudah menyaksikan kebrutalan dan kebiadaban yang hampir sama di banyak daerah dalam dua tahun terakhir. Dan setiap kali semua itu terjadi, kita hanya bisa melihat dan mendengar para pemimpin pemerintahan berbicara tanpa substansi, saling menuduh dan melempar tangung jawab tanpa mampu menghentikan darah yang terus tumpah. Sulit untuk mengusir kesan, para pemimpin kita yang terhormat itu lupa bahwa fungsi mereka yang paling fundamental—raison d’etre-nya setiap negara modern—adalah memberi perlindungan hukum dan keamanan pada masyarakat.

Sebagai warga republik, sudah saatnya kita menyerukan setegas-tegasnya bahwa semua itu harus dihentikan. Daftar korban sudah terlalu panjang. Sampit dan Palangkaraya harus menjadi peristiwa terakhir.

Mulai hari ini, pemerintah dan aparatnya harus bisa mengubah cara pandang dan cara penyelesaian konfik­konfik yang brutal. Selama masa reformasi, negara berubah menjadi macan ompong. Setiap kali terjadi pembakaran dan pembantaian oleh kelompok yang satu terhadap kelompok lainnya, tokoh-tokoh pemegang jabatan publik, baik sipil maupun militer, hanya sanggup menyerukan dialog dan mengimbau agar kelompok-kelompok tersebut berhenti bertikai, saling memaafkan dan berdamai.

Kalau toh aparat pemaksa diterjunkan ke kawasan pertikaian, hal ini biasanya dilakukan dengan luarbiasa lamban dan penuh keraguan. Para pembantai berlari dan mengejar korbannya seperti serigala yang haus darah, sementara petugas hukum dan keamanan bergerak seperti siput yang peragu.

Semua itu sudah waktunya harus ditinggalkan. Peran negara dan aparatnya yang kuat dan tegas tidak berarti pengkhianatan terhadap semangat reformasi. Justru sebaliknya. Tanpa peran semacam itu demokrasi akan berubah bentuk menjadi anarki, di mana kebebasan kelompok yang satu menjadi ancaman dan pembantaian bagi kelompok lainnya.

Demokrasi adalah sebuah metode pengambilan keputusan publik. Di bawah Orde Baru peran negara memang sangat kuat, tetapi ia diputuskan secara tertutup hanya oleh segelintir aktor di puncak kekuasaan tertinggi. Sekarang kita harus mengembalikan peran negara yang kuat semacam itu, tetapi dengan proses pengambilan keputusan yang demokratis. Artinya, para wakil rakyat di DPR dan lembaga eksekutif harus menjadi aktor-aktor utama yang mengambil keputusan politik untuk memberi wewenang yang jelas bagi aparat-aparat negara, yaitu TNI dan Polri, dalam mengemban perannya.

Di Amerika Serikat, misalnya, cara semacam itu sudah lazim dilakukan. Dua tahun lalu, waktu pertemuan tahunan WTO (World Trade Organization) diselenggarakan di Seattle, Negara Bagian Washington, ribuan kaum aktivis anti-globalisasi dan kaum anarkis melakukan demonstrasi damai. Tetapi, sebagian dari mereka tidak dapat menahan diri dan mulai memecahkan kaca pertokoan dan perkantoran di pusat kota. Pada saat itu juga, walikota dan DPRD Seattle memutuskan pemberlakuan darurat sipil dan melarang setiap individu berada di pusat kota tanpa seizin aparat keamanan. Kota Seattle langsung berada di bawah komando polisi, yang tidak segan-segan menahan dan menembak kalau memang perlu. Semua ini dilakukan sebelum satu tetes darah pun terkucur.

Sementara walikota dan polisi Seattle bergerak, gubernur dan tentara cadangan, The National Guard, sudah bersiap-siap dengan perannya masing-masing. Jika pada hari itu juga situasinya makin tak terkendali, para wakil rakyat dan pemimpin lembaga eksekutif di negara bagian di Pantai Barat Amerika ini akan langsung menerapkan situasi darurat militer. Semua itu mereka siapkan untuk melindungi warga dan melumpuhkan kaum yang ingin bertindak biadab dan brutal. Dengan cara demokratis, mereka sudah memilih dengan tegas: lebih baik melumpuhkan, menahan, dan kalau perlu menembak kaum perusuh ketimbang mengorbankan warga yang tak berdosa.

Hanya cara itulah sekarang yang masuk akal untuk kita tempuh. Tentu saja, dalam jangka panjang stabilitas dan keamanan yang hakiki hanya akan tercipta jika rasa kebersamaan masyarakat sudah melampaui garis-garis kesukuan dan keagamaan yang sempit, atau jika masyarakat primordial telah berubah menjadi masyarakat madani. Namun dalam jangka pendek, kita tidak memiliki alternatif lain. Kebiadaban harus dilawan, dan saat ini kita hanya memiliki satu alat untuk itu, yaitu aparat negara.

Yang jelas, kita tidak mungkin menutup mata terdapat semua penderitaan dan kebiadaban yang sudah terjadi selama dua tahun terakhir. Kejadian di Sampit, Palangkaraya, Sambas, Poso, Ambon, Wamena, dan di banyak daerah lainnya, telah sangat menusuk rasa kemanusiaan serta mencabik-cabik konsepsi ke-Indonesia-an yang kita junjung tinggi. Sudah saatnya sekarang kita menghentikan semua itu.

2 Maret 2001

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.