Membumikan Gagasan Kebebasan

Liberalisme: Catatan Keberhasilan
Kegagalan komunisme pada akhir abad ke 20 memaksa masyarakat dunia untuk menemukan gagasan lain yang bisa mengakomodir ideal-ideal mereka. Semenjak ambruknya komunisme, praktis liberalisme menjadi ideologi yang dominan di muka bumi. Berbagai kemajuan telah ditorehkan oleh umat manusia semenjak liberalisme memenangkan kontestasi ideologi di dunia. Pencapaian umat manusia baik itu di bidang teknologi, sosial, ekonomi, maupun politik benar-benar mengagumkan.

Di bidang teknologi, banyak hal yang dulu hanya bisa diproduksi secara manual dan tidak efisien kini dapat diciptakan menggunakan mesin yang jauh lebih efisien. Kritik Marx bahwa buruh sebagai faktor produksi telah mengalami alienasi pun semakin tak relevan lagi. Buruh kini bisa membeli produk yang mereka inginkan. Seorang buruh pabrik di perusahaan televisi misalnya, hampir pasti memiliki televisi di rumahnya. Di bidang sosial, angka harapan hidup masyarakat dunia secara umum semakin menanjak. Hal ini tidak terlepas dari semakin berkembangnya riset-riset di bidang kedokteran dan farmakologi. Virus yang mematikan dan menghantui dunia seperti flu burung, secara tangkas dapat langsung ditangani. Pendidikan juga tak lagi menjadi komoditas yang dimonopoli oleh golongan elit; sekolah telah ada di mana-mana. Masyarakat yang miskin namun berprestasi telah dapat dijaring dengan beasiswa dan kemudian menjadi agen mobilisasi sosial bagi lingkungannya.

Di bidang politik, demokrasi liberal telah menciptakan sebuah wadah bagi setiap orang untuk menyuarakan kepentingannya. Hal ini tentu saja mengungguli konsep pemerintahan lain yang mana hak untuk bersuara hanya dimiliki oleh sementara orang saja. Demokrasi liberal juga telah mengikis tradisi masyarakat kuno yang gemar melakukan kudeta berdarah. Seorang politikus tak perlu (maaf) membunuh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk jadi seorang presiden. Cukup dengan ikut serta dalam pemilu dan berkampanye secara fair, siapa pun, dengan ketentuan yang berlaku, dapat menjadi presiden. Inilah sistem pemerintahan yang berlandaskan pada rasio dan moral, a system which replaces bullet with ballot.

Sejarah umat manusia nampaknya tak pernah menemukan kemajuan yang bisa menandingi apa yang telah dilakukan oleh liberalisme. Hebatnya lagi, liberalisme hanya membutuhkan waktu setengah abad untuk menciptakan itu semua.

Membumikan Gagasan Liberal
Keberhasilan liberalisme dalam mengubah wajah dunia menjadi lebih baik seperti sekarang ini tentu saja layak mendapatkan apresiasi. Namun, bukannya mendapatkan apresiasi, liberalisme justru disudutkan dengan berbagai macam tudingan yang tidak perlu. Kritik-kritik terhadap liberalisme, mulai dari dasar filosofis hingga ranah praksis, terus menerus digulirkan dari berbagai pihak. Sayangnya, kritik-kritik tersebut seringkali tidak dilandasi pengertian yang mendalam akan gagasan-gagasan liberal.

Di Indonesia, hal semacam inilah yang terjadi. Meskipun berbagai kemajuan telah dihasilkan oleh Indonesia , baik pemerintah maupun masyarakat, cercaan masih tetap saja menghantui para pengusung liberalisme di bumi pertiwi. Lucunya, cercaan yang begitu ngotot tersebut tidak didasari dengan argumen-argumen yang menunjukkan adanya pemahaman yang baik akan liberalisme. Kasus mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Wakil Presiden Boediono yang dituduh ”neolib” merupakan permisalan yang baik. Pada sebuah kesempatan, sebuah televisi swasta pernah mewawancarai beberapa orang yang ketika ditanya apakah setuju dengan neoliberalisme, hampir semuanya menjawab tidak. Namun, lucunya, ketika ditanya apa yang mereka ketahui tentang liberalisme, jawaban yang dilontarkan pun sangat minimal dan banyak yang tidak tepat.

Di kampus-kampus, gagasan liberalisme pun sepertinya masih belum dapat merenggut simpati para mahasiswa. Kalaupun bisa, jumlahnya masih sedikit sekali dan kalau jauh dibandingkan gagasan-gagasan yang lain. Penulis sendiri menemukan ada pemberian informasi yang tidak proporsional dari para dosen ketika mengulas masalah liberalisme. Liberalisme selalu saja diidentikkan dengan eksploitasi, dekadensi moral, dan keserakahan. Organisasi kemahasiswaan pun masih didominasi oleh para aktivis yang anti liberalisme. Hal ini menyebabkan sirkulasi wacana yang ada di kampus semakin tak proporsional. Gagasan anti liberalisme selalu mempunyai porsi yang lebih banyak. Liberalisme diberi lebih sedikit, itupun dengan wacana yang cenderung menyudutkan.

Fenomena seperti ini tentu saja sangat tidak menguntungkan, bukan bagi pengusung liberalisme sendiri, tapi juga masyarakat pada umumnya. Sebagaimana telah disampaikan di muka, liberalisme adalah motor bagi kemajuan umat manusia di era postmodern ini. Menolak gagasan liberalisme berarti menolak kemajuan dan mengajak kembali kepada masa lalu yang suram dan penuh dengan penindasan. Sebagai manusia yang waras, penulis tentu saja tak ingin kembali ke masa kelam tersebut. Hari esok harus selalu lebih baik daripada yang telah lalu. Dengan begitu, tak ada pilihan lain, liberalisme harus segera dibumikan di bumi pertiwi ini.

Rozinul Aqli
*) Mahasiswa, peserta Akademi Merdeka Indonesia 2" 10/06/10

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.