Menemukan Agama dalam Sejarah Semesta

(Makalah pengantar diskusi buku Robert Bellah,
Religion in Human Evolution – From the Paleolithic to the Axial Age)

Zainal Abidin Bagir[1]

 

Ada beberapa cara untuk melihat Bellah dan karya terakhirnya ini. Kita bisa melihat karya ini sebagai usaha seorang sosiolog agama yang ingin melacak sejarah agama ke masa lalu yang cukup jauh. Alternatifnya, buku ini sering diiklankan sebagai upaya menjelaskan fenomena agama secara ilmiah dengan menggunakan kerangka teori evolusi.

Saya sendiri, akhirnya memilih melihat Bellah, dalam karyanya setebal 700 halaman lebih ini, sebagai ingin memahami dan menjustifikasi keberagamaan dengan cara mengakarkannya dalam salah satu pengetahuan empiris terbaik yang kita miliki—dalam hal ini teori evolusi.

Memposisikan buku ini sebagai buku “ilmiah” mungkin akan justru menyibukkan kita dengan detail-detail perdebatan yang terlalu ‘spesialis’ dan kering. Buku ini memang merupakan hasil sintesis banyak karya sarjana spesialis, khususnya sejarawan atau antropolog agama—tapi ia justru diniatkan untuk membawa karya esoterik para spesialis itu menjadi narasi bermakna bagi non-spesialis tentang sejarah agama.

Ini adalah buku yang cukup personal bagi Bellah. Ketika ditanya untuk apa ia menulis buku setebal ini. Jawabnya, “keinginan yang dalam untuk mengetahui segalanya: apakah alam semesta itu, dan dimana tempat kita di dalamnya.“ Jawaban ini mungkin terlalu umum dan bisa terdengar naif, karena datang dari seorang profesor ternama yang pasti tahu kemustahilan memenuhi keinginannya itu. Tapi jawaban ini jujur, dan diupayakannya dengan sekuat tenaga untuk menjawab pertanyaannya itu. Buku ini ditulis dalam masa 13 tahun setelah ia terlepas dari beban-bebannya sebagai dosen di Berkeley. Begitu pun, di ujung 13 tahun itu, ketika menulis bab Kesimpulan, ia sebetulnya sudah ingin merombak beberapa bagian buku itu.

Bellah melihat apa yang dilakukannya dalam beberapa hal mirip dengan Weber, tapi ia juga teguh ada dalam tradisi Durkheim. Namun ketika ingin mencari bandingan buku ini, ada dua penulis yang terlintas di benak saya: Ibn Tufayl dan Karen Armstrong. Ini mungkin bukan perbandingan yang baik. Tapi dalam diskusi kita malam ini, saya berharap ini bisa diterima.

Mengapa kedua penulis itu? Saya akan kembali ke Armstrong, penulis beberapa buku populer tentang sejarah agama, di akhir makalah ini. Sedangkan Ibn Tufayl adalah seorang yang terkemuka dalam tradisi filsafat Islam Andalusia, hidup pada tahun 1105–1185. Buku novel filosofisnya, Hayy ibn Yaqzan, sudah cukup lama diterjemahkan ke Bahasa Indonesia (dan seingat saya pernah dimuat secara bersambung dalam harian Republika?).

Dalam novelnya, Ibn Tufayl mejadikan kisah hidup Hayy sebagai medium untuk mengisahkan filsafat Islam yang berkembang di masa itu, yang mewarisi dari tradisi Yunani, dalam bentuk novel, untuk menunjukkan bagaimana—terlepas dari argumen teknis filosofis yang sulit diterima kaum awam—filsafat memberikan jawaban untuk “keinginan yang mendalam untuk mengetahui segalanya.” Di Abad ke-12, dan sesungguhnya sampai lima abad sesudahnya, filsafat alam ini mencakup fisika, biologi, astronomi dalam tradisi Aristotelian, yang kemudian dikembangankan ilmuwan/filosof Muslim, dan berkembang terus. Dengan kata lain, semua jenis ilmu kelas satu di Abad Pertengahan; bukan hanya spekulasi filosofis namun juga pengetahuan empiris terbaik di masanya.

Alkisah, Hayy ada terdampar di sebuah pulau kosong, tanpa ada satupun manusia lain. Boleh jadi, ia ada di sana melalui proses spontaneous generation, suatu konsep fisis yang menarik kaum filosof sejak masa Aristoteles untuk menjelaskan bagaimana makhluk berkehidupan menjadi ada. Keinginannya untuk mencari tahu penyebab kematian rusa yang menjadi orang tuanya menjadi jalan pertama untuk pengetahuannya; dan pengetahuan empiris ini digambarkan dalam bahasa filsafat alam Abad Pertengahan. Setelah itu, setiap momen dalam kehidupan Hayy menjadi wahana bagi Ibn Tufayl untuk menjelaskan bagaimana manusia berkembang, secara biologis, mental maupun spiritual. Ia belajar mengenai fisika, biologi, dan psikologi dari pergaulannya dengan hewan dan semua bagian alam di sekitarnya. Sampai akhirnya, ia pun menemukan suatu wujud abstrak yang tak bisa dilihat namun mampu menjelaskan banyak hal, Tuhan.

Sebagian sejarawan filsafat menganggap kisah Hayy sebagai suatu argumen mengenai satu tema penting filsafat: mampukah manusia mencapai Kebenaran tanpa bimbingan wahyu atau Nabi? Apakah akal cukup? Namun saya menyebut novel ini karena dalam beberapa hal, Bellah mirip dengan Ibn Tufayl.

Ibn Tufayl mengeksplorasi pengetahuan terbaik manusia di masanya untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana manusia sampai pada Tuhannya. Itu pula yang dilakukan Bellah. Sesuai dengan spirit zamannya, pengetahuan terbaik masa ini yang dipilih Bellah adalah pengetahuan empiris sebagai hasil perkembangan dari pengetahuan yang digunakan Ibnu Tufayl. Dalam hal ini, yang dipilihnya adalah evolusi, dalam artian luasnya—mulai dari terbentuknya alam semesta hingga evolusi biologis manusia, sampai pada evolusi kulturalnya. Di samping itu, ia menggunakan psikologi kognitif untuk membantu memahami bagaimana, dalam lingkup individual, keberagamaan itu muncul.

Bagaimana berpikir mengenai (sejarah) agama
Buku ini bisa dipahami sebagai terdiri dari dua bagian yang, menurut saya, sebetulnya dapat dipisah. Pertama adalah argumen teoretis, berbasis terutama pada teori evolusi, namun juga ilmu-ilmu sosial modern, untuk menjelaskan munculnya agama (atau “rasa keberagamaan”). Bab 1 mencoba mempersuasi kita untuk menerima adanya “realitas religius”, yang saling bertumpang tindih dengan realitas sehari-hari, dan beragam representasi realitas itu (secara unitive, enactive, simbolik, dan konseptual). Bab 2 berkonsentrasi pada evolusi—mulai dari evolusi alam semesta, evolusi biologis, dan evolusi kapasitas-kapasitas baru, termasuk untuk bermain, berbahasa dan ritual. Di sinilah Bellah menemukan asal-usul agama. Tiga bab berikutnya memberikan ilustrasi agama-agama tribal dan arkhaik (yang sebagiannya masih hidup hingga kini), sambil mengenalkan beberapa konsep baru. Barulah pada bab-bab berikutnya (6 sampai 9) ia masuk dalam peradaban Zaman Aksial.

Bellah memang ingin menjadikan ini semua sebagai satu garis panjang dengan mengikuti garis perkembangan evolusioner, bukan saja dari agama-agama awal itu, tapi dari organisme satu-sel pertama yang menandai kehidupan di muka bumi, bahkan jauh sebelunmya mulai dari pembentukan alam semesta ini, sejauh yang bisa diteorikan oleh sains. Namun, dalam pandangan saya, seperti akan dibahas nanti, justru di sinilah Bellah mungkin kurang berhasil.

Pandangan umum mengenai agama, khususnya di Indonesia, dimana definisi negara mengenai “agama” cukup dominan, meletakkannya sebagai sesuatu yang sifatnya sakral, diwahyukan—artinya, melalui proses yang tidak natural—oleh suatu Sosok supra natural. Agama menjadi jauh, atau bahkan tak terjangkau oleh instrumen ilmiah, baik ilmu-ilmu alam maupun sosial. Seringkali bahkan ketakterjangkauan ini ditekankan sebagai realitas agama yang unik (bahkan superior). Sebagai seorang ilmuwan sosial, Bellah lebih tertarik melihat agama sebagai realitas historis, tanpa perlu mengandaikan adanya suatu tingkatan ontologis yang berbeda sama sekali (dan biasanya dianggap lebih tinggi) dari realitas sehari-hari.

*unduh Makalah pengantar diskusi buku Robert Bellah, Religion in Human Evolution – From the Paleolithic to the Axial Age

 

 

[1] Dosen di Program Studi Agama dan Lintas Budaya / Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS), Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada. Makalah ini disampaian dalam acara diskusi di Freedom Institute, Jakarta, 2 Agustus 2012.

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.