Indonesia 1995: Pertarungan Kekuasaan dan Kebijakan (Bersama R. William Liddle)

Photo by Fikri Rasyid on Unsplash

Ekonomi

Ekonomi Indonesia pada 1995 memperlihatkan beragam tanda. Pada sisi yang positif, pertumbuhan ekonomi yang cepat terus ber­lanjut, dengan pertumbuhan GDP 7,4%, melampaui perki­raan awal pemerintah, yakni 7,1%. Pada 1994, ketika angka GDP itu 6,9%, ada peringatan bahwa perekonomian terlalu ce­pat tumbuh, namun pada akhir tahun tersebut indikator-in­dikator harga memperlihatkan bahwa angka inflasi bisa diben­dung di bawah level dua digit. Dalam hal investasi asing pada 1995, dari Januari hingga Juli saja jumlah investasi yang dise­pakati mencapai $27,2 miliar, dibandingkan $23,7 miliar se­lama 1994.i Hal ini sangat mengesankan jika kita melihat bah­wa krisis peso Meksiko menyebabkan para investor asing lebih berhati-hati dalam menghadapi perekonomian-perekonomian negara berkembang.

Tanda lain yang bagus adalah bahwa proses reformasi ekonomi, yang dimulai pada 1983, terus berlanjut. Paket reformasi terakhir, yang diumumkan pada Juni 1994, bertujuan untuk me­rombak aturan-aturan investasi “anti-asing” yang telah usang. Beberapa waktu kemudian, beberapa ekonom negeri ini yang pro-pasar mulai memperingatkan tentang meluasnya “kele­tihan deregulasi” di kalangan pada pembuat kebijakan, namun pada Mei 1995, langkah-langkah baru yang substansial dija­lankan dengan memotong cukai 6.030 item (64% dari jumlah total di mana cukai dikumpulkan) dan merancang rencana untuk mencapai tingkat yang lebih rendah pada tahun 2000. Pada November, PT Telkom (perusahaan telekomunikasi negara) sebagian diprivatisasi, mengikuti langkah yang sama yang sebelumnya diambil oleh PT Timah (tambang timah) dan PT Indosat (satelit komunikasi). Tujuannya adalah untuk mengubah struktur insentif perusahaan-perusahaan besar negara dan mem­berikan uang tunai pemerintah untuk mengurangi hutang- hu­tangnya yang semakin besar.

Pada sisi yang negatif, terdapat beberapa indikator yang memperlihatkan ancaman yang semakin besar terhadap catatan keberhasilan ekonomi negara ini. Angka defisit sekarang ini melonjak dari $3,4 miliar pada 1994 menjadi $6,5 miliar pada akhir 1995. Lonjakan yang hampir berlipat dua ini sebagian disebabkan oleh impor barang-barang modal yang melambung (karena peningkatan pesat investasi asing), dari $39,5 miliar pada 1994 menjadi $45,2 miliar. Sebab yang lain adalah bahwa ekspor negeri ini, khususnya ekspor non-minyak, tidak seberhasil sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Pada Januari-Agus­tus 1993, ekspor meningkat 23,84%, sementara selama periode yang sama pada 1995, pertumbuhan hanya 14,06%.

Faktor pertumbuhan ekspor yang melambat inilah yang ha­rus paling diperhatikan negeri ini. Hingga awal 1980-an, pertumbuhan ekonomi Indonesia didorong terutama oleh eks­Ipor minyak, namun dengan merosotnya harga minyak dan penye­suaian kembali matauang dunia, pemerintah pada 1983 mulai melakukan deregulasi. Dalam 10 tahun berikutnya, pereko­nomian tumbuh terus-menerus dengan angka yang mengesankan, di mana ekspor non-minyak berada di depan. Hal ini tidak hanya menyediakan cadangan dana untuk membayar impor barang-barang modal yang diperlukan untuk membangun industri-industri modern, namun apa yang lebih penting: hal itu mengubah struktur ekonomi negara itu dari perekonomian yang bergantung pada minyak menjadi perekonomian yang lebih beragam dan berorientasi ke luar, sebagaimana pereko­nomian macan-macan Asia. Jadi, jika angka pertumbuhan 1995 yang melambat terus terjadi, hal itu jelas membahayakan ke­berha­silan negeri itu yang cukup mengesankan. Profesor Sumitro Djojohadikusumo, ekonom Indonesia paling terkemuka, baru-baru ini memperingatkan bahwa jika tindakan perbaikan tidak diambil, Indonesia bisa seperti Meksiko.

Selain pertumbuhan ekspor yang melambat, tanda negatif lain adalah terus berlanjutnya apa yang seringkali disebut oleh para ekonom Indonesia sebagai ekonomi biaya tinggi. Benar bahwa paket deregulasi ekonomi tersebut cukup berjangkauan luas, namun jika dikaji lebih cermat, tampak jelas bahwa paket ini sejauh ini sebagian besar hanya menyentuh bagian “termudah” dari perekonomian, yakni sektor moneter. Sektor-sektor “riil” yang secara langsung terkait dengan persaingan, produksi, dan biaya tetap berada dalam cengkeraman regulasi, kar­tel, monopoli, restriksi, dan favoritisme pemerintah. Pada Juni, Bank Dunia menerbitkan sebuah laporan yang dengan ke­ras memperingatkan berbagai dampak buruk dari berbagai penyimpangan ini pada daya saing ekonomi negeri ini. Namun, selama 1995 tidak ada tanda yang meyakinkan bahwa pemerintah bersiap untuk melucuti lembaga-lembaga dan praktik-praktik di jantung perekonomian berbiaya tinggi tersebut.

Terus bertahannya ekonomi riil yang sangat menyimpang ini, di satu sisi, dan di sisi lain: 10 tahun rangkaian paket deregulasi—serta dijalankannya manajemen makro-ekonomi yang baik di era Soeharto tersebut—tampak mencerminkan ambi valensi Soeharto sendiri dalam hal perlunya meliberalkan pereko­nomian lebih jauh dan pertarungan untuk memperebutkan ke­kuasaan atas pembuatan kebijakan ekonomi di dalam pemerintahannya. Soeharto tampak menyadari bahwa liberalisasi merupakan kecenderungan global, dan bahwa tidak ada jalan masa depan lain bagi negeri itu kecuali mengikuti kecenderungan ini. Hal ini tercermin dalam pertemuan APEC di Bogor pada November 1994, di mana Soeharto mengejutkan banyak orang dengan sepenuhnya mendukung pembentukan suatu wilayah perdagangan bebas Pasifik pada 2015 dan menyatakan bahwa Indonesia segera akan mengarah ke tujuan ini. Tak diragukan, setelah pertemuan Bogor tersebut, Soeharto dengan segera men­­jadi pelopor perdagangan bebas dunia. Pada saat yang sama, bukan menjadi rahasia bahwa banyak dari penyimpangan-penyimpangan tersebut—dalam bentuk monopoli, kartel, dan lisensi atau izin khusus—sebenarnya disebabkan oleh perusahaan-perusahaan besar yang dimiliki oleh anak-anaknya dan sanak keluarganya atau oleh konglomerat-konglomerat bisnis yang pemiliknya telah lama memiliki hubungan dekat de­ngannya. Pada awal tahun itu, Soeharto membuat suatu ke­putusan yang secara ekonomi bagus dengan menolak permin­taan perlindungan bea 40% dari konsorsium Chandra Asri, suatu proyek olefin $1,2 miliar yang sebagian dimiliki oleh salah seorang anaknya dan Prajogo Pangestu, seorang pengusaha Cina-Indonesia yang me­miliki hubungan dekat dengannya. Na­mun, keseluruhan struk­tur proteksi tersebut tetap utuh.

Sebagian karena alasan ini, pertarungan untuk mem­perebutkan pembuatan kebijakan ekonomi di dalam peme­rin­tahannya terus berlanjut—sebuah pertarungan yang sejak 1993 menunjukkan suatu indikasi bahwa keseimbangan kekuasaan semakin mengarah kepada kubu nasionalis dan pro-dirigis. Selama 10 tahun setelah deregulasi pertama pada 1983, para teknokrat pro-pasar berada dalam posisi dominan dalam proses pembuatan kebijakan aktual. Kekalahan simbolis mereka terjadi ketika Soeharto, saat membentuk kabinet keenamnya pada 1993, menjadikan Ginandjar Kartasasmita--seorang insinyur yang sangat kritis terhadap para teknokrat tersebut—kepala Dewan Perencanaan Nasional, sebuah jabatan yang selama lebih dari satu dekade berada dalam kendali Widjojo Nitisastro, ketua para teknokrat tersebut. Selain itu, Soeharto juga menyerahi dua kolega dekat B. J. Habibie, Menteri Riset dan Teknologi dan seorang nasionalis ekonomi terkemuka, dengan jabatan men­teri Perdagangan dan Transportasi. Habibie juga merupakan ketua Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) yang kontroversial itu.

Namun, pada akhir 1995, terdapat indikasi, meskipun sangat tentatif, bahwa pendulum tersebut berbalik arah. Pada De­sember, Soeharto menggabungkan Kementerian Industri dan Perdagangan, dan mengangkat mantan Menteri Industri Tungky Ariwibowo, seorang pendukung deregulasi, untuk menge­tuai kementerian super tersebut. Hal ini berarti bahwa S. B. Joedono, seorang kolega dekat Habibie, pada dasarnya di­pecat dari jabatannya sebagai Menteri Perdagangan. Hal ini sangat mengejutkan, karena ini adalah kali pertama dalam 30 tahun kekuasaan Soeharto seorang menteri dipecat di tengah-tengah masa jabatannya. Apakah Soeharto, di pengujung tahun itu, menyimpulkan bahwa pembuatan keputusan ekonomi yang penting tidak boleh berada dalam tangan mereka yang tidak mendukung liberalisasi?

Terlalu dini untuk berkata bahwa dominasi para teknokrat pro-pasar akan dipulihkan pada 1996. Kelemahan utama mereka adalah ketidakmampuan mereka untuk menggunakan forum-forum publik dan media massa untuk meyakinkan orang tentang kebaikan liberalisasi. Sejarah mungkin berada di pihak mereka dalam bentuk suatu kecenderungan liberalisasi global, yang juga memiliki para pendukungnya di Indonesia, namun mereka tampak puas untuk bergerak di belakang layar, dan sa­ngat bergantung pada Soeharto yang ambivalensinya seringkali mengejutkan mereka. Mereka adalah para ekonom yang mumpuni, namun mereka politisi amatir. Sebaliknya, musuh-musuh mereka sangat baik dalam seni persuasi politik. Pandangan-pandangan Habibie terus-menerus dipromosikan dan dipertahankan di koran nasional ICMI, Republika. Selain itu, melalui ICMI, Habibie terus memperluas basis kekuasaan yang dengannya dukungan publik bagi program-program dirigis­nya memuncak.

Sekarang ini tampak bahwa satu-satunya kepastian adalah berlanjutnya pertarungan untuk memperebutkan kekuasaan itu sendiri; hasilnya masih belum pasti. Harapan terbesar bagi para teknokrat, ironisnya, mungkin adalah semakin merosotnya angka pertumbuhan ekspor. Jika hal ini terjadi, Soeharto mungkin memutuskan bahwa ia tidak memiliki pilihan lain kecuali memberi mereka pengaruh yang lebih besar dalam pembuatan keputusan. Masa yang sulit memunculkan kebijakan yang bagus, sebuah aforisme yang terbukti benar pada 1983, mungkin juga memandu pilihan pada 1996.

Politik

Presiden Soeharto, sebagaimana biasa, merupakan pusat dari sebagian besar peristiwa politik pada 1995. Apa yang mungkin paling mengejutkan adalah tentangan di pengadilan terhadap larangan presiden pada 1994 atas mingguan berita terkemuka, Tempo, yang dibredel karena laporan kritisnya tentang kontroversi di seputar pembelian pemerintah atas beberapa kapal perang usang Jerman Timur. Goenawan Mohamad, ketua editor Tempo dan intelektual liberal terkemuka, mendatangi pengadilan untuk menentang hak pemerintah untuk melarang majalahnya. Ia adalah yang pertama melakukan hal tersebut, meskipun Soeharto telah menutup banyak publikasi sebelumnya. Goenawan tidak berpikir bahwa dia mungkin menang; ia bergerak untuk membuat suatu langkah simbolik dan membuktikan bahwa penindasan bisa ditentang. Yang mengejutkan, pengadilan tinggi pada Mei dan pengadilan banding pada November menetapkan bahwa pelarangan tersebut ilegal dan me­me­rintahkan Menteri Informasi untuk memulihkan izin penerbitan Tempo. Namun masih ada dua rintangan besar: Tempo harus menang dalam pengadilan di Mahkamah Agung dan keputusan tersebut harus diterapkan oleh pemerintah. Namun, keme­nangan Goenawan tersebut, yang diberitakan secara luas di media na­sional, memperlihatkan kemauan pengadilan Indonesia untuk menjadi lebih independen vis-à-vis eksekutif yang dominan serta ketidaksetujuan publik yang semakin meningkat atas tindakan pemerintah yang sewenang-wenang.

Perkembangan lain yang tidak lazim, pada paruh kedua ta­hun tersebut, adalah munculnya beberapa organisasi baru kuasi-politik yang dicirikan oleh ambisi yang besar dan retorika nasionalis yang tajam. Salah satu organisasi ini, Persatuan Cendekiawan Pembangunan Pancasila (PCPP), sangat menarik perhatian media. PCPP dipimpin oleh para mantan pejabat penting, pensiunan jenderal, dan tokoh publik terkemuka, seperti Kharis Suhud (mantan jubir Parlemen), R. Suprapto (mantan gubernur Jakarta), dan Bambang Triantoro (mantan ketua staf sosial dan politik tentara). Pada saat kelahirannya, PCPP mendapatkan dukungan dari beberapa pejabat tinggi di dalam peme­rintahan, termasuk Menteri Pertahanan dan Keamanan, Jen­deral Edi Sudradjat, dan Menteri Lingkungan, Sarwono Kusumaatmadja, yang juga mantan sekretaris jenderal Golkar, partai yang sedang berkuasa. Menurut para pendirinya, PCPP dibentuk untuk menyegarkan kembali semangat persatuan nasio­nal di hadapan munculnya kecenderungan yang semakin besar ke arah sektarianisme (yakni, Islam) dalam kehidupan politik nasional. Tentu saja, target kebenciannya adalah ICMI pimpinan Habibie.

Terlepas dari kedudukan para pendirinya dan dukungan dari beberapa pejabat birokrasi dan militer, tampak mustahil bahwa PCPP dan organisasi-organisasi yang serupa akan memiliki dampak yang penting dalam beberapa tahun ke depan. Sebagian besar pendirinya mendapatkan pengalaman politik mereka dalam birokrasi, bukan masyarakat, dan mereka tidak banyak memiliki kemampuan untuk membentuk organisasi di luar kerangka negara. Selain itu, para pejabat pemerintah yang mendukung mereka telah kehilangan pengaruh di dalam pemerintahan. Menteri Pertahanan, Sudradjat, misalnya, tidak memiliki kekuasaan yang pernah ia miliki saat menjabat sebagai ketua staf tentara. Seorang pengamat yang mengamati perubahan lanskap politik baru akan sangat terbantu dengan melihat pada hubungan yang berubah antara Soeharto dan militer, dan tumbuhnya gerakan Islam yang dipelopori oleh ICMI.

Di dalam militer, berbagai peristiwa penting terjadi baik di awal dan akhir tahun tersebut. Jenderal Wismoyo digantikan oleh Jenderal Hartono sebagai kepala staf tentara pada Februari. Sebagai kerabat dekat Soeharto karena pernikahan dan perwira yang mumpuni, Wismoyo telah lama berada di posisi yang strategis di angkatan bersenjata dan jelas dipersiapkan untuk mengganti Jenderal Feisal Tanjung sebagai komandan angkatan bersenjata sebelum masa Pemilu 1997-98 yang sensitif. Wismoyo merupakan figur utama dalam strategi Soeharto untuk mengurangi pengaruh orang kuat yang telah lama berkuasa di militer, Jenderal L. B. Moerdani, komandan angkatan bersenjata dari 1983-88 dan Menteri Pertahanan dari 1988-93. Telah diperkirakan bahwa setelah dua tahun menjabat sebagai kepala staf tentara, Wismoyo akan diangkat sebagai komandan angkatan bersenjata, jabatan paling berpengaruh kedua di negara ini. Penggantiannya yang terjadi tiba-tiba, karena alasan-alasan yang dikabarkan bersifat personal dan politis, sangat mengejutkan sebagian besar pengamat.

Jenderal Hartono, kepala staf tentara tersebut, merupakan seorang perwira karier dengan latar belakang santri. Ia dikenal memiliki hubungan dekat dengan banyak kiai berpengaruh, dan berhasil meyakinkan mereka untuk secara terbuka mendukung Soeharto untuk masa jabatan presiden 1998-2003. Jenderal Hartono—bersama dengan Jenderal Tanjung, komandan angkatan bersenjata yang santun—dianggap oleh banyak pengamat memimpin faksi para perwira “hijau” (warna yang dihubungkan dengan Islam) yang mendukung, atau tidak memusuhi, ke­bangkitan kembali Islam belakangan ini. Pengangkatan Hartono tersebut dengan demikian tampak mengukuhkan hubungan antara basis politik Soeharto yang paling kuat dan lama yakni angkatan bersenjata dengan para pendukung terbarunya, yakni para birokrat, politisi, dan Intelektual Islam yang terkait dengan ICMI Habibie.

Pada Desember, Soeharto mempromosikan menantunya, Brigjen Prabowo Subianto, menjadi komandan Kopassus, Komando Pasukan Khusus, yang memainkan peran kunci dalam pendirian pemerintahan Orde Baru Soeharto pada akhir 1960-an. Prabowo adalah anak seorang ekonom, Sumitro, dan menikah dengan Siti Hediyati (Titiek) Soeharto, yang akhir-akhir ini sering diberitakan sebagai pengusaha perempuan yang sangat menjanjikan. Secara umum, promosi Prabowo ter­sebut diberitakan secara baik oleh media besar, yang meng­gam­barkan dia sebagai komandan pasukan yang sangat cerdas dan perhatian dengan kepribadian yang rendah hati. Ia diberitakan sebagai seorang polyglot, yang fasih berbahasa Inggris, Jerman, Belanda, dan Prancis, yang menghabiskan waktu luangnya un­tuk membaca berbagai macam buku.ii Reputasi awalnya yang penuh kekerasan selama bertugas di Timor Timur tidak dise­butkan.

Sebagai komandan Kopassus, Prabowo telah menjadi pemain utama dalam politik militer, meskipun dia masih beberapa tingkat di bawah para pemimpin puncak angkatan bersenjata. Banyak pengamat di Jakarta melihat ia naik relatif cepat ke posisi komandan angkatan bersenjata. Ia bahkan dilihat sebagai penyelamat Soeharto, seorang perwira yang dapat dengan kuat memegang kendali generasi para perwira pasca-Moerdani dan memberikan dukungannya kepada presiden setelah 1998. Penilaian ini sebagian tentu saja didasarkan pada hubungan keluarganya dengan Soeharto. Namun hal ini juga didasarkan pada reputasi kepemimpinannya yang semakin meningkat di da­lam angkatan bersenjata, terutama di kalangan para perwira muda, dan juga karena ketrampilan politiknya yang luas. Di kalangan-kalangan Islam yang terkait dengan ICMI, misalnya, Prabowo dianggap sebagai sekutu. Meskipun penilaian ini mungkin benar, harus diingat bahwa pujian seperti ini akhir-akhir ini juga dilimpahkan kepada Wismoyo dan para perwira lain sebelumnya.

Dengan keberadaan Hartono dan Prabowo dalam posisi yang kuat, tidak diragukan bahwa Soeharto kini sepenuhnya memegang kendali lembaga yang paling penting di negeri ini. Ia sangat mungkin akan menggunakan kendali ini untuk menjamin pemilihan kembali dirinya dan memilih wakil presiden yang sepadan pada 1998. Tekanan yang kuat dari berbagai kekuatan politik dalam masyarakat dapat mengubah keadaan ini, namun pada 1995 tidak banyak terdapat tanda-tanda tekanan dari bawah. Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) telah terpecah-belah sejak kerusuhan Medan pada 1994. Abdurrahman Wahid dari NU dan Megawati Soekarnoputri dari PDI, dua penentang Soeharto yang kuat, terus-menerus dihantam keras oleh pemerintah sepanjang tahun. Kekuatan politik yang paling kuat pada 1995 pada dasarnya adalah justru kekuatan yang sangat mendukung Soeharto: orang-orang Islam di ICMI.

Dalam kongres kedua ICMI pada Desember, Menteri Habibie terpilih kembali sebagai ketua untuk masa jabatan li­­ma tahun kedua. Ketika ia terpilih pertama kali pada 1990 un­­tuk memimpin organisasi intelektual muslim tersebut, Habibie seorang insinyur lulusan Jerman yang hidup di luar negeri selama bertahun-tahun—adalah seorang politisi naif yang modal politiknya hanya kepercayaan Soeharto ke­padanya. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, ia te­lah membangun ketrampilan politik yang sangat bagus. Ke­menangan mutakhirnya, misalnya, adalah penerbangan per­tama Gatotkoco—sebuah pesawat berkapasitas 70 orang yang dibuat oleh perusahaan pesawat terbang milik negara yang ia pimpin—yang disiarkan secara nasional.iii Dukungan ICMI paling kuat adalah di dalam birokrasi negara dan di kalangan kelas menengah, kaum profesional, dan para pengusaha Muslim yang ingin memiliki akses ke negara. Dalam beberapa tahun terakhir, ICMI memperluas basisnya dengan merangkul banyak kelompok, dan organisasi ini mengalami banyak kemajuan pada 1995. Indikator penting bagi per­­kembangan masa depan ICMI adalah pemilihan Adi Sasono sebagai sekretaris jenderalnya. Sasono adalah aktivis LSM yang telah lama malang-melintang dan seseorang yang meyakini teori dependensia—pernah me­ner­jemahkan Development of Underdevelopment karya Andre Gunder Frank ke dalam bahasa Indonesia—yang ingin memperluas basis dukungan massa ICMI secara besar-besaran selama lima tahun berikutnya. Isu yang ia angkat adalah ekon­omi kerakyatan yang sangat populis—sebuah frase yang memiliki gaung sejarah yang sangat kuat dari masa Indonesia pra-Soeharto. Hal ini juga mencerminkan kebencian umum yang semakin besar dan tersebar luas terhadap apa yang diang­gap sebagai ketidakadilan ekonomi dan dominasi ekonomi oleh sejumlah kecil perusahaan besar, yakni apa yang disebut “konglomerat”, yang sebagian besar dimiliki oleh orang-orang Cina-Indonesia.

Hubungan Internasional

Menteri Luar Negeri Ali Alatas pernah menganggap persoalan Timor Timur sebagai “sebuah kerikil dalam sepatu Indonesia”. Pada 1995, tahun ketika Presiden Soeharto melanjutkan usahanya untuk mengangkat profil internasional negaranya, kerikil tersebut dapat dipastikan terasa seperti sebuah batu besar. Pada September, sebuah insiden kecil di sebuah kota di sebelah ba­rat Dili, ibukota Timor Timur, memicu kerusuhan selama seminggu antara orang-orang Katolik Timor Timur dan orang- orang Muslim non-Timor dan, dalam skala yang lebih kecil, orang-orang Protestan. Insiden tersebut membuat banyak orang Islam Indonesia marah. Para mahasiswa melakukan protes di jalan-jalan Jakarta, para pemimpin keagamaan mem­buat petisi ke Parlemen, dan para intelektual menulis kolom yang me­nyerukan perlunya tindakan keras terhadap gerakan kemerdekaan Timor Timur. Bagi banyak orang Islam, isu Timor Timur tersebut dalam waktu singkat diubah dari masalah hu­bungan internasional dengan prioritas rendah, suatu masalah yang harus diselesaikan Menteri Luar Negeri, menjadi suatu ancaman yang signifikan terhadap umat.

Kaum muda Timor Timur pro-kemerdekaan juga menggunakan sebuah strategi baru. Pada tahun-tahun sebelumnya, mereka umumnya mengorganisasi berbagai demonstrasi di Timor Timur sendiri, yang salah satu akibatnya adalah pembantaian Santa Cruz pada November 1991. Namun, pada paruh kedua 1995, mereka memindahkan tempat utama mereka ke Jakarta. Lagi dan lagi, 5 sampai 15 anak muda Timor Timur meminta suaka di kedutaan-kedutaan asing. Sasaran mereka jelas: untuk menjaga perhatian internasional tetap terfokus pada perjuangan mereka sambil meminimalkan risiko konfrontasi dengan militer Indonesia. Insiden terbesar terjadi pada No­vember ketika sekitar seratus orang Timor Timur, bersama dengan beberapa mahasiswa Indonesia, mendatangi kedutaan Belanda dan Rusia, meminta dukungan bagi referendum kemerdekaan. Sebagai tanggapan, pemerintah memobilisasi orang-orang Timor Timur yang pro-Indonesia untuk menggelar demonstrasi tandingan. Bentrokan terjadi antara kedua pihak, dan duta besar Belanda sedikit terluka dalam huru-hara itu. Presiden Soeharto, mungkin karena memikirkan ambisi internasionalnya yang lebih tinggi, mengirimkan permintaan maaf pribadinya kepada duta besar tersebut.

Ketegangan yang meningkat yang disebabkan oleh perpaduan antara agitasi yang semakin besar di Jakarta dan reaksi kemarahan banyak orang Islam Indonesia ini memperlihatkan bahwa Indonesia mungkin merasakan tekanan yang semakin besar untuk mencari pemecahan yang paling tepat atas masalah Timor Timur tersebut. Selama tahun ini tidak ada tanda bahwa pemerintah akan bergeser dari sikap kerasnya, namun Soeharto mungkin mulai merasa bahwa otonomi, jika bukan referendum kemerdekaan, merupakan jalan terbaik untuk mengeluarkan kerikil yang sangat mengganggu tersebut dari dalam sepa­tunya.

Dampak sampingan penting dari intensifikasi persoalan Timor Timur ini adalah penolakan Australia terhadap calon duta besar Indonesia, Jenderal H. B. L. Mantiri, yang secara ter­buka membela penanganan pemerintahnya atas pembantaian Santa Cruz. Sebaliknya, hubungan Indonesia-Amerika semakin membaik dengan diterimanya Presiden Soeharto di Gedung Putih pada Oktober. Kebutuhan Soeharto akan pengakuan yang semakin besar sebagai seorang pemimpin Asia dan dunia berkembang sesuai dengan hasrat Clinton akan hubungan perdagangan yang lebih terbuka. Sebagaimana yang dituliskan New York Times dalam kepala-beritanya yang provokatif: “Politik Riil: Mengapa Soeharto Diterima dan Castro Ditolak”.iv

Februari 1996

i. Ketika ke-823 proyek investasi yang disepakati pada 1994 diwujudkan sepenuhnya (yang mungkin memerlukan waktu satu atau dua tahun), hal itu akan memberikan pe­ker­jaan bagi 623.000 orang. Far Eastern Economic Review, 18 Mei, 1995, hlm. 56.

ii. Republika, 21 November 1995, hlm. 1, dan M. Amien Rais, “Prabowo”, Republika, 30 No­vember 1995, hlm. 1; Kompas, 4 Desember 1995, hlm. 1, dan 5 Desember 1995, hlm. 1; Gatra, 25 November 1995, hlm. 22-24, 30; Forum Keadilan, 18 Desember 1995, hlm. 94-98.

iii. Hari penerbangan tersebut, yakni 10 Agustus, diberi nama Hari Teknologi dan dijadikan hari libur nasional.

            iv. New York Times, 31 Oktober 1995, hlm. A3.

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.