Indonesia: Persoalan Demokratisasi

Gambar oleh Muhammad Rizqi dari Pixabay

PERPOLITIKAN DI AKHIR masa Orde Baru (Orba) berubah. Perubahan ini mungkin terlalu lambat dan terlalu diatur dari atas. Namun, peristiwa-peristiwa politik yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini merupakan petanda yang bagus bahwa otoritarianisme Orba menjadi lebih lunak.

Terdapat banyak contoh untuk mendukung argumen ini: mulai dari keberhasilan Megawati, pengadilan militer setelah Pembunuhan Massal Dili, pembentukan Komite Hak Asasi Manusia, jumlah pemogokan buruh yang semakin banyak, kritik pers dan mahasiswa yang semakin tajam, dan persaingan yang setengah terbuka di kalangan beberapa elite kekuasaan utama, dan sebagainya. Semua ini tentu saja tidak bisa dibandingkan dengan transformasi politik yang terjadi di Thailand awal 1990-an dan Korea Selatan pada akhir 1980-an. Pentingnya kasus-kasus Indonesia ini hanya bisa dipahami sepenuhnya jika kita berpikir bahwa lima tahun sebelumnya, tidak ada seorang pun yang berani untuk berspekulasi bahwa Megawati, misalnya, akan menjadi Ketua PDI, atau bahwa Habibie akan menekan militer dengan berbagai manuver politiknya dalam merehabilitasi Petisi 50 dan memilih para sekutunya untuk menjadi pengurus inti Golkar. Selain itu, bahasa pers, jika kita membandingkannya dengan yang terjadi 2 tahun yang lalu, misalnya, sekarang ini jauh kurang eufmistik.

Pertanyaan pertama: Mengapa perpolitikan Orba berubah? Jawaban untuk pertanyaan ini adalah bahwa Orba terjebak oleh keberhasilan ekonominya sendiri. Secara ekonomi, apa yang terjadi di Indonesia dalam 20 tahun terakhir adalah sebuah mukjizat. Sementara sebagian besar negara Dunia Ketiga mengalami persoalan ekonomi yang begitu besar pada 1970-an dan khususnya pada 1980-an, ekonomi Indonesia berjalan dengan relatif baik.

Mukjizat ekonomi ini mengubah negeri itu dalam beberapa hal. Dua di antaranya adalah, pertama, hal itu menciptakan jaringan aktivitas ekonomi yang lebih luas di luar kontrol pemerintah. Jaringan ekonomi swasta ini kompleks dan pada dasarnya merupakan sumber kekuasaan politik yang sangat penting yang bisa dimobilisasi oleh mereka yang ada di luar pemerintah. Interaksi sosial di wilayah ekonomi swasta ini tidak bisa dengan mudah dikontrol oleh komunitas politik. Interaksi yang kompleks ini adalah apa yang disebut Schumpeter sebagai “skema hal-ihwal kaum borjuis”, yang membantu mengubah Eropa (Barat) feodal menjadi bangsa-bangsa demokratis.

Kedua, hal itu menciptakan suatu masyarakat “baru” yang sering disebut masyarakat sipil. Yang pertama di atas merujuk pada panggung, arena tindakan; sementara yang kedua merujuk pada para aktornya. Mereka ini—yakni para anggota masyarakat sipil—adalah orang-orang yang berpendidikan, yang mempertaruhkan hidup mereka dalam aktivitas-aktivitas ekonomi swasta, dan yang biasanya berpikir bahwa roti semata-mata tidak memadai untuk mencapai suatu kehidupan yang baik. Dalam bahasa Hegelian, apa yang umumnya dilakukan oleh para aktor baru ini adalah mencari pengakuan sebagai seorang manusia politik yang independen—dengan kata lain, mereka pada dasarnya akan mendukung terciptanya sebuah sistem politik di mana mereka, dan bukan para penguasa, adalah sang tuan.

Pendeknya, keberhasilan ekonomi Orba menghasilkan prasyarat-prasyarat struktural (yakni, panggung dan para aktornya) yang bertindak sebagai dasar perubahan politik yang kita lihat sekarang ini.

Sebagian orang berkata, dengan alasan yang baik, bahwa semata-mata keberhasilan ekonomi tidak dapat menjelaskan proses-proses politik dan arah tujuannya. Politik, bagi mereka, sangat otonom. Karena itu, mereka berkata bahwa jalannya perubahan politik di akhir masa pemerintahan Soeharto harus dilihat terutama dari dinamika internal rezim: perbedaan dan ketegangan yang semakin besar di kalangan para pemain kunci Orba membuka ruang bagi partisipasi politik yang lebih luas.

Saya tidak melihat alasan mengapa kita menolak gagasan bahwa politik memiliki kehidupannya sendiri ini. Selain Indonesia, kita bisa memperlihatkan banyak contoh yang menegaskan proposisi ini. Masyarakat di bawah Kekaisaran Kedua merupakan suatu masyarakat yang sangat maju, dan memiliki sektor ekonomi kapitalis modern yang sangat maju. Namun, ketika Hitler muncul, masyarakat sipil menyerahkan kekuasaan mereka ke tangan beberapa demagog. Singapura merupakan contoh lain yang sangat bagus. Adanya sektor ekonomi yang sangat modern dan masyarakat sipil dalam negara-kota ini tidak diikuti, sampai sekarang, oleh muncul dan berkembangnya sistem demokratis.

Apa yang bisa kita katakan adalah bahwa tanpa keberhasilan ekonomi dan dampaknya pada wilayah sosial, dalam kasus Indonesia, ketegangan di dalam rezim tidak akan menghasilkan bentuk perubahan-perubahan politik yang kita lihat sekarang ini (Dalam kasus Jerman, kita dapat berkata bahwa rekonstruksi pasca-Perang, yang membangun kembali demokrasi, tidak akan berhasil dengan mudah tanpa adanya masyarakat sipil dan sektor ekonomi kapitalis modern yang sebelumnya telah ada). Kita harus ingat bahwa pada awal dan pertengahan 1970-an, ketika Soeharto tidak sekuat sekarang, juga ada perbedaan dan persaingan di dalam rezim. Alih-alih demokratisasi, perbedaan dan persaingan ini menghasilkan kekuasaan otoriter yang lebih terpusat di mana Soeharto praktis berkuasa sendirian.

Sebuah kasus bagus untuk melihat bagaimana kombinasi perubahan sosio-ekonomi dan persaingan elite menghasilkan berbagai perubahan politik dapat dilihat dalam bangkitnya kekuatan Islam dalam dua atau tiga tahun terakhir: kebutuhan Soeharto akan dukungan dari kelompok-kelompok Islam untuk mengimbangi militer searah dengan jumlah kelas menengah dan intelektual Muslim yang semakin meningkat (sebagaimana yang berulang kali dikatakan Nurchilish Madjid: mereka merupakan salah satu produk penting dari keberhasilan ekonomi). Para pendukung utama Habibie bukanlah kelompok-kelompok Islam dari “masyarakat lama” (misalnya NU, Muhammadiyah, dan Media Dakwah/kuasi-Masyumi). Para pendukungnya adalah “para intelektual baru” (sebagian besar dari mereka dikirim oleh pemerintah untuk belajar di AS dan Eropa), para mahasiswa di berbagai universitas (yang sangat disubsidi oleh pemerintah), para elite birokrasi (yang sebagian besar menikmati berbagai privilese ekonomi dan politik dalam proses perluasan ekonomi tersebut). Tanpa mereka, Habibie tidak akan memiliki basis yang jelas.

Akankah berbagai perubahan tersebut memunculkan sebuah sistem politik yang demokratis? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita tentu saja harus memperjelas apa yang kita maksud dengan “demokrasi”. Bagi saya, penjelasan terbaik tentang demokrasi diberikan oleh Schumpeter dalam karya besarnya, Capitalism, Socialism, and Democracy. Demokrasi Schumpeterian adalah sebuah sistem persaingan yang terbuka dan fair di kalangan elite politik untuk mendapatkan kekuasaan. Rakyat (yang kebebasan “negatif” dasarnya diakui) merupakan hakim terakhir yang memutuskan siapa yang akan memerintah mereka. Dengan demikian, para elite yang bersaing tersebut harus memainkan permainan politik, sementara rakyat bermain kartu dan melihat sepakbola: hubungan di antara keduanya diteguhkan melalui mekanisme pemilu yang jujur dan terbuka.

Penting untuk diingat bahwa ketika Schumpeter berbicara tentang demokrasi, ia berbicara tentang tujuan-tujuan politik (misalnya, persaingan terbuka di kalangan elite), bukan tentang tujuan-tujuan ekonomi. Ia membuat suatu pembedaan yang sangat jelas antara wilayah politik dan wilayah ekonomi. Dengan demikian, dalam perdebatan tentang Indonesia sekarang ini, hal ini berarti bahwa demokrasi adalah satu hal, dan pertumbuhan ekonomi atau liberalisasi ekonomi adalah hal lain. Untuk mencapai tujuan ekonomi, hadirnya demokrasi bisa baik atau buruk.

Sebagian kalangan tidak mengakui pembedaan ini. Kadang mereka tampak berbicara tentang demokratisasi, namun apa yang mereka bayangkan sebenarnya adalah liberalisasi ekonomi atau kemajuan ekonomi.

Dengan konsepsi tentang demokrasi yang sederhana ini, apa yang bisa kita katakan tentang Indonesia pada akhir 1980-an dan 1990-an? Sekarang ini pertanyaan ini tampak memberikan jawabannya sendiri. Munculnya Megawati dan Habibie, misalnya, bisa dipahami sebagai munculnya politisi-politisi sipil yang lebih kuat yang, dengan basis yang lebih kuat, bisa bersaing dengan para perwira militer. Sampai sekarang ini, selain Soeharto, para perwira militer tersebut masih merupakan pemegang kekuasaan terkuat di negeri ini. Jika Megawati dan Habibie bisa bertindak sebagaimana para politisi yang baik dalam memperluas dan memperkuat basis mereka, bukan mustahil persaingan elite dalam politik pasca-Soeharto akan menghasilkan suatu jenis interaksi politik yang satu langkah lebih dekat pada interaksi demokratis.

Sejauh ini Habibie telah memperlihatkan bahwa ia adalah seorang politisi yang sangat bagus. Megawati, sejauh ini, dianggap oleh banyak orang sebagai simbol kepemimpinan alternatif yang mampu menarik dukungan luas dari mereka yang tidak puas dengan keadaan yang ada sekarang ini. Fakta-fakta ini memperlihatkan pada kita bahwa, dalam kaitannya dengan proses demokratis, perubahan politik yang kita lihat sekarang ini menuju ke arah yang benar.

Saya memahami bahwa pandangan ini sangat optimistik, yang bagi sebagian orang dianggap didasarkan pada asumsi yang salah tentang proses politik atau watak komunitas politik Indonesia. Berbagai kritik terhadap pandangan ini bisa dirangkum ke dalam dua argumen. Yang pertama mengatakan bahwa jika kita melihat pada sifat masyarakat Indonesia pada awal 1990-an, masyarakat tersebut masih merupakan “masyarakat lama” sebagaimana yang kita lihat pada 1950-an dan 1960-an.Tidak ada yang berubah secara mendasar: politik aliran masih berlaku, mungkin tersembunyi, namun bagaimanapun berfungsi sebagai pembagian dasar masyarakat yang setiap saat bisa dimanfaatkan lagi oleh para elite politik.

Karena itu, argumen tersebut beranggapan bahwa satu-satunya sumber kekuasaan, simbolis atau riil, yang bisa dimobilisasi oleh Megawati atau Habibie, misalnya, adalah sumber kekuasaan yang berada dalam wilayah politik aliran tersebut.Hal ini berarti bahwa Megawati, misalnya, harus memobilisasi hantu lama tersebut—ini adalah satu-satunya pilihan yang ia miliki. Menurut argumen ini, jika hal ini terjadi, maka kita harus melupakan demokrasi, karena militer akan terpaksa mengambil langkah keras dan menerapkan aturan yang lebih ketat agar hantu lama tersebut tidak bangkit lagi, atau karena— jika militer tidak melakukan apapun, suatu hal yang sangat tidak mungkin—apa yang akan terjadi samasekali bukan demokrasi karena demokrasi tidak pernah bisa dibangun berdasarkan politik “tradisional” ini.

Argumen kedua menyatakan bahwa persaingan elite yang semakin besar yang kita lihat sekarang ini sebenarnya merupakan suatu persaingan yang “dikontrol”: Megawati, Habibie, Harmoko, Try Sutrisno, Faisal Tanjung, dan praktis setiap orang di panggung utama, adalah boneka-boneka Soeharto— mereka bertindak dan berperilaku sebagaimana yang diinginkan atau diizinkan Soeharto. Semua yang sedang kita lihat adalah bagian dari Skema Besar Soeharto. Jika Soeharto merencanakan sesuatu, itu dapat dipastikan bukan demokrasi.

Apa yang muncul setelah Soeharto? Argumen kedua ini memberi suatu penjelasan yang sederhana: bahwa akan ada Soeharto lain yang muncul dari militer (yang masih terlalu kuat dan terlalu terkonsolidasi untuk bisa disaingi oleh para pemain lain) yang akan mengulangi lagi cerita lama. Soeharto baru ini mungkin akan memberi satu atau dua kompromi sebagai kosmetik orde terbaru tersebut, namun garis dasar politik otoriter tersebut tetap tidak berubah.

Jika argumen pertama yakin bahwa masyarakat Indonesia tidak berubah dan karena itu tidak mampu memainkan politik baru yang diperlukan untuk membangun demokrasi, argumen kedua percaya bahwa “boneka-boneka” Soeharto tersebut tidak memiliki rencana sendiri, atau tidak mampu memanfaatkan

Perhatikan bahwa mereka yang mengikuti argumen ini tidak pernah menyetujui demokrasi Schumpeterian yang, dalam konteks kita sekarang ini, bisa dikemukakan seperti ini: sejauh terdapat persaingan yang terbuka dan jujur, apapun sumberdaya yang dimobilisasi (apakah keagamaan, etnis, atau kelas) para politisi tidak menjadi masalah. Demokrasi adalah proses, bukan substansi politik. kesempatan apapun untuk mendapatkan kekuasaan apapun.

Boneka adalah boneka.
Kedua argumen ini cukup masuk akal. Ada beberapa bagian dari argumen-argumen ini yang sangat sulit disangkal. Namun, keduanya gagal meyakinkan saya karena beberapa alasan. Kritik utama saya untuk argumen pertama tersebut adalah bahwa ia gagal memahami bahwa dalam dua dekade terakhir masyarakat telah diubah oleh perkembangan ekonomi. Tentu saja hal ini tidak berarti bahwa “masyarakat lama” dan hantu lama politik aliran tersebut tidak lagi ada, atau bahwa semua itu tidak lagi bisa dimobilisasi oleh elite-elite politik.

Hal ini semata-mata berarti bahwa, sebagaimana yang telah saya sebutkan sebelumnya, telah ada begitu banyak orang (aktor) dan wilayah interaksi sosio-ekonomi (panggung) yang cocok untuk demokrasi. Mereka mungkin, atau mungkin tidak, bisa dimobilisasi secara baik dalam proses perubahan politik. Pada titik ini kita berbicara tentang kepemimpinan dan ketrampilan politik: sekarang ini terserah para elite akan mengambil kartu yang mana, yang baru atau yang lama. Argumen pertama salah ketika mengatakan bahwa sebagian besar elite harus mengambil kartu lama untuk bisa bertahan.

Kritik lain terhadap argumen pertama ini adalah bahwa ia melihat politik aliran sebagai sesuatu yang pada dasarnya berbahaya bagi demokrasi. Argumen ini gagal melihat bahwa sangat mungkin bagi sistem kompetisi elite yang terbuka dan fair (demokrasi) untuk menampung pengelompokan politik yang plural. Jika Habibie secara terbuka memobilisasi komunitas Islam, apa masalahnya bagi demokrasi sejauh ia setuju dengan aturan-aturan dasar dan tertulis dari persaingan? Jika ia menang, hal itu mungkin tidak baik bagi ekonomi. Lalu kenapa? (Bagi George Will dan William Buckley Jr., kemenangan Clinton tidak bagus bagi perekonomian, namun mereka tidak berkata bahwa pemilu itu tidak demokratis).

Pada titik ekstrem, benar bahwa hantu lama tersebut sangat tidak baik bagi demokrasi: hantu itu menjebak orang dalam kebencian dan permusuhan lama tanpa ada pemecahan. Namun, sejauh ini saya tidak melihat ada elite penting yang memberi tanda bahwa ia akan membawa garis lama tersebut ke titik ekstrem (bagaimanapun mereka tidak sebodoh itu).

Untuk argumen kedua, kritik saya hampir serupa. Di sini saya harus menyebut “hukum” konsekuensi yang tidak diniatkan. Katakanlah benar bahwa semua persaingan yang meningkat ini sebenarnya merupakan persaingan yang telah “dirancang”, yang diatur oleh Soeharto untuk satu tujuan: memelihara kekuasaannya.

Saya tidak melihat alasan mengapa tujuan ini hanya bisa dicapai dengan mengorbankan proses demokratis. Jika Soeharto hanya bisa memelihara kekuasaannya beberapa tahun ke depan dengan membiarkan para elite di sekitarnya bersaing satu sama lain, bukankah hal ini juga berarti bahwa proses demokratisasi awal sebenarnya telah dimulai? Dari sejarah kita tahu bahwa banyak negara mulai melakukan demokratisasi bukan dengan letupan-letupan di jalan, melainkan dengan rengekan dan intrik di istana.

Tentang masalah Soeharto baru. Seperti yang telah saya katakan di atas, argumen kedua ini yakin bahwa setelah persaingan yang “dirancang” tersebut, ketika Soeharto meninggal, militer akan kembali menciptakan seorang Soeharto. Argumen ini pada dasarnya naif. Saya tidak perlu mengulangi lagi bahwa Indonesia pada 1990-an bukanlah Indonesia pada 1960-an. Selain itu, militer sekarang ini tidak lagi sangat kuat, sebagaimana yang dikemukakan argumen ini. Militer sekarang ini telah kehilangan sebagian besar kekuatan persuasinya—sebagaimana yang ia miliki menjelang runtuhnya Orde Lama. Untuk menciptakan Soeharto baru, sumberdaya apa yang sekarang militer miliki? Kekerasan terbuka sekarang ini tidak begitu bermanfaat sebagai alat politik utama—terlalu mahal akibatnya.

Hingga sekarang ini umum dipercaya bahwa militer adalah pihak yang melindungi dan menjaga Soeharto dalam kekuasaannya. Saya kira kini pandangan ini salah. Hubungan tersebut juga bisa dibalik. Soeharto-lah yang melindungi dan menjaga posisi para perwira militer sekarang ini dalam politik sipil. Saya sangat yakin bahwa ketika Soeharto sudah tidak ada lagi di panggung politik, kekuatan militer akan sangat merosot. Sejauh ini saya tidak pernah mendengar gagasan apapun dari para perwira tinggi tersebut yang memberi tahu kita apa yang akan mereka lakukan jika mereka kehilangan si Orang Besar itu. Sebagaimana yang kita tahu dari banyak kasus belakangan ini, jika Orang Besar mereka tersebut memiliki kepercayaan pada orang lain yang berasal dari elite sipil, mereka—para perwira tinggi militer itu—terkesan kebingungan, tidak tahu apa yang harus mereka lakukan, dan bertindak hanya sebagai seorang “reaksioner”. Apakah mereka adalah jenis para perwira yang akan menciptakan seorang Soeharto baru?

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.