Jalan California Buat Papua (Catatan buat Prof. Liddle dan Kawannya)

Gambar oleh Free-Photos dari Pixabay

RUPANYA SEDANG TERJADI dialog hangat antara Prof. William Liddle dan seorang kawannya. Dialog Ohio-Jakarta ini tepat waktu, sebab memang masalah Papua sedang menjadi kontroversi. Banyak orang ingin tahu, bagaimana sebenarnya persoalan di provinsi paling timur ini harus dimengerti dalam keseluruhannya.

Di harian ini Liddle berkata, ia terperangah mendengar gagasan kawannya (Panggilan Sejarah, 30/8/03). Apa pasal? Menurut sang kawan, Papua harus dibangun dengan “strategi California”. Daerah ini harus dimekarkan dan dibuka sepenuhnya bagi kaum pendatang, bila perlu dengan subsidi pemerintah.
 
Hanya cara itulah yang dapat mengubah Papua, dari daerah tertinggal menjadi kawasan maju yang penuh pesona, seperti California bagi AS. Seratus tahun lalu, wilayah di Pantai Barat ini masih merupakan daerah terbelakang, the wild wild west. Kini, ia menjadi raksasa ekonomi, dilengkapi Silicon Valley dan Hollywood yang menjadi simbol kreativitas ilmu dan kebudayaan manusia.
 
California bisa, mengapa Papua tidak? Yang membuat Liddle terperangah adalah metode yang ditawarkan sang kawan. Metode ini agak berbau politically incorrect, tabu di telinga “pengamat dan pemain internasional” yang banyak dikenalnya.
 
Liddle memberi peringatan dari masa lalu. Orang Papua, kata Liddle, jangan sampai bernasib seperti Orang Indian di Amerika. Ekspansi ke barat memang membesarkan Amerika, namun mematikan kehidupan orang Indian. Inilah yang dikhawatirkan Liddle. Ia mengimbau agar masalah ini cepat diselesaikan lewat program kemitraan baru.
 
Imbauan Liddle itu patut didengarkan. Tetapi, mungkin yang lebih penting untuk dijawab lebih dulu adalah: Betulkah argumen yang disampaikan kawan Liddle? Mengapa Liddle harus terperangah? Bila usulan kawannya itu keliru, di mana letak kekeliruannya?
 
Kalau boleh memberi sedikit catatan dalam dialog antara Liddle dan kawannya, saya ingin mulai dengan asumsi yang melandasi pandangan kaum pengamat dan aktivis pembela Papua, sebuah pandangan yang politically correct. Dalam pandangan ini, orang Papua dianggap lebih berhak atas tanah Papua ketimbang pendatang. Mereka adalah tuan di tanah itu, dan karena itu harus memperoleh keistimewaan yang sesuai.
 
Dalam tulisannya, Liddle tidak menjelaskan dasar pandangannya. Kebenaran pandangan ini sudah dianggap jelas, karena itu tidak perlu diuraikan lagi.
 
Namun, betulkah itu? John Quincy Adams, Presiden ke-6 AS, pernah bertanya, “But what is the right of the huntsman to the forest of a thousand miles over which he has accidentally ranged in quest of prey?” Adams berbicara soal orang Indian, tetapi pertanyaannya cukup relevan bagi kita kini. Jawabannya tidak semudah yang diasumsikan kaum yang mengaku sebagai pembela Papua.
 
Secara keseluruhan Tanah Papua seluas 414.000 km2 . Sebagian kecil tanah ini, katakanlah 10 persen, dapat dianggap sebagai tanah adat buat sekitar 1,5 juta penduduk asli yang terbagi dalam ratusan suku. Dengan porsi tanah 10 persen pun, tingkat densitas bagi seluruh suku yang ada masih berkisar 37 jiwa/km2 . Jadi, hampir sama dengan densitas di Sulawesi Tengah dan Kalimantan Barat, dua daerah yang masih kekurangan penduduk.
 
Sebenarnya, eksistensi tanah adat masih bisa dipertanyakan. Asumsi di baliknya amat komunalistik. Siapa yang menguasai tanah adat? Kepala suku, pentolan-pentolan suku, dukun? Bisakah tanah ini ditransfer secara sah dalam proses jual-beli? Tetapi, kalau pun kita lewatkan pertanyaan demikian dan untuk sementara menerima eksistensi tanah adat, porsi 10 persen pun sudah menciptakan keleluasaan yang jauh di atas daerah seperti Jabar yang memiliki densitas 1.047 jiwa/km2 .
 
Bila penduduk asli dianggap memiliki lebih dari itu, katakanlah 20 persen, saya kira masih masuk akal. Namun, bila lebih dari itu? 50 persen? Seluruh Tanah Papua? Di sinilah pertanyaan John Quincy Adams, dalam bentuknya yang lain, harus dijawab: kalau kebetulan puncak sebuah gunung terlihat dari tempat perburuan sebuah suku, berhakkah suku itu mengklaim gunung itu sebagai miliknya? Kalau dianggap berhak, apa dasarnya?
 
Di luar tanah adat hanya ada dua jenis pemilikan, tanah milik negara (dalam hal ini, negara mewakili seluruh warganegara, termasuk penduduk asli Papua) dan milik pribadi. Dalam dua kawasan inilah pertimbangan yang digunakan harus sepenuhnya berdasarkan konteks Indonesia, bukan Papua semata.
 
Beberapa aspek dari pertimbangan itu berkait densitas penduduk, potensi alam dan kebutuhan akan lahan garapan. Bukankah amat tidak adil jika jutaan penduduk miskin di Jabar yang sesak tidak boleh atau dipersulit mencari hidup di lahan kosong di Papua?
 
Migrasi tidak boleh dipaksakan. Tetapi bila penduduk miskin di suatu provinsi padat memang mau untuk itu, pemerintah wajib membantu mereka sejauh mungkin, misalnya dengan memberi lahan gratis.
 
Itulah yang dimaksud kawan Liddle sebagai jalan California. Saya kira sang kawan benar. Papua harus dibuka seluas-luasnya, dan metode pemekaran wilayah administrasi dari satu menjadi tiga, bahkan enam provinsi adalah konsekuensi dari kebutuhan praktis yang ada.
 
Sejauh ini, kemajuan Papua lebih banyak dilihat dalam perspektif pembagian hasil antara pusat dan daerah. Pembagian hasil yang lebih tinggi akan membuat penduduk asli seketika lebih makmur. Saya setuju jika ini terjadi. Tetapi, saya kira Liddle sepakat, kemajuan sebuah masyarakat pada hakikatnya tidak terletak di sana. Emas dapat menjadi rahmat, tetapi sekaligus kutukan.
 
Warga Papua, seperti warga lain, harus menjadi modern. Dengan potensi manusia yang ada kini, jalan ke modernitas hanya dapat terjadi jika pintu bagi daerah ini terbuka luas bagi pendatang. Konfik dan kompetisi pasti terjadi. Tetapi, itulah yang dapat memicu mereka untuk beradaptasi dengan zaman. Adapt or perish: inilah kehendak sejarah yang berlaku di mana pun, termasuk Papua.
 
Bila kenyataan itu ditutupi dengan argumen moral sentimental, kita sebenarnya sedang menggiring warga Papua hidup bagai di “kebun binatang”. Haruskah mereka terus hidup di gunung dan lembah, tanpa perlu tahu dunia bergerak cepat?
 
Catatan akhir yang ingin saya singgung adalah analogi nasib warga asli Papua dan orang Indian, meski tidak tepat betul. Sebanyak 13 koloni yang pertama kali merdeka di AS awalnya tidak memiliki batas wilayah jelas. Thomas Jefferson, presiden ke-3 AS, bahkan pernah berpikir untuk memberi pengakuan kedaulatan bagi suku Comanche, Pawnee, dan Apache yang bermukim di barat sungai Mississippi.
 
Saat Louisiana dibeli dari Prancis pada 1803, yang melipatgandakan wilayah legal AS, tidak ada keterangan tentang batas tanah dalam dokumen pembelian. Karena itu, masalah penguasaan tanah adalah persoalan pelik. Ekspansi ke Barat, Manifest Destiny, harus melewati wilayah suku-suku Indian, yang selalu memaksa negeri Paman Sam itu berhadapan dengan masalah yang sama hingga akhir abad ke-19.
 
Indonesia lebih beruntung, karena lahir pada pertengahan abad ke- 20. Ia lahir dengan batas wilayah jelas, setidaknya hampir seluruhnya, dan karena itu ekspansi ke mana pun tidak lagi menjadi keharusan. Destiny negeri ini sudah terjamin dalam batas wilayah yang sudah ada dan diakui dunia.
 
Analogi Liddle tentu tidak sepenuhnya keliru. Keprihatinan yang ada di baliknya perlu didengarkan. Warga Papua tidak boleh mengalami nasib seperti orang Indian, yang dalam kehidupan Amerika modern hanya menjadi catatan kaki yang menyedihkan. Cuma masalahnya, apakah keprihatinan demikian harus menjadikan kita sentimental? Bagi saya, ia justru harus menjadi pemicu agar kita memandang ke depan, mengajak warga Papua berani melihat kenyataan. Masa lalu adalah pelajaran, bukan tujuan perjalanan.
 
5 September 2003

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.