Kebebasan: Empat Dogeng, Satu Kenyataan

Robertus Robet

Kepada yang menyukai kebebasan tapi kurang menyukai liberalism saya ingin mendiskusikan beberapa pandangan yang barangkali bisa menolong mengubah sentimen menjadi konsep. Sementara kepada yang menyukai liberalism saya ingin mendiskusikan kemungkinan bahwa pendasaran transendental kebebasan liberalism seringkali juga malah bisa menghambat kebebasan. Intinya, ini adalah ajakan baik kepada  yang suka liberlisme maupun yang tidak suka liberalisme,  untuk bersama-sama mempertahankan terus kebebasan. Bahwa kebebasan itu penting, perlu dan mutlak baik bagi yang suka maupun bagi yang tidak suka kepada liberalism.

Dongeng Pertama

Sulit untuk dibantah bahwa pejuang utama kebebasan adalah liberalisme. Liberalisme di sini adalah sebuah filsafat dan gerakan politik (politik normatif) yang mengutamakan kebebasan, kesetaraan dan keadilan. Sebagai gerakan politik, liberalisme –bersama-sama dengan republikanisme dan sosialisme- mempelopori penolakan terhadap monarkhi absolut dan merontokkan hak suci para raja. Salah satu pangkal liberalisme adalah ajaran Locke mengenai   hak alamiah, kebebasan dan hak milik.

Namun demikian, menyangkut ajaran mengenai kebebasan, liberalisme pertama-tama berhutang kepada J.S. Mills baru kemudian kepada Isaih Berlin. Adalah Mill yang pertama kali menekankan bahwa kebebasan adalah situasi di mana setiap orang tanpa paksaan bebas melakukan apa yang dikehendakinya sejauh tidak menganggu yang lain.

The sole end for which mankind are warranted, individually or collectively, in interfering with the liberty of action of any of their number, is self-protection. That the only purposes for which power can be rightfully exercised over any member of civilized community, against his will, is to prevent harm to other…

Pandangan Mill di atas inilah yang seringkali dianggap sebagai salah satu soko guru kebebasan negatif yang memang khas tradisi Inggris. Dari gagasan Mill ini, Isaih Berlin kemudian meluncurkan esainya yang ternama “Two Concept of Liberty’. Berlin membedakan dua tradisi pemikiran mengenai kebebasan; yang pertama adalah kebebasan sebagai keadaan tanpa paksaan atau kebebasan negatif, dan yang satu lagi adalah kebebasan sebagai daulat-diri (self mastery) atau kebebasan positif. Kebebasan positif menekankan pada bebas untuk melakukan sesuatu baik berdasarkan kehendak baik maupun berdasarkan suatu perintah hukum tertentu.

Namun demikian leaps dari dua konsep yang dikemukakannya, Berlin mengatakan bahwa ‘I am normally said to be free to the degree to which no man or body of man interferes with my activity’. Kebebasan ada dengan syarat tidak ada adanya paksaan  atau halangan dari yang lain atas kehendak saya. Paksaan di sini yang dimaksud adalah kekerasan fisik yang menghalangi kebebasan saya (physical coercion) dan coercion of the will misalnya hukuman dan ancaman. Dari sini nampak bahwa Berlin lebih menekankan kebebasan negative sebagai kebebasan yang utama.

Semenjak Berlin, banyak pemikir Liberal kemudian yang merumuskan berbagai pandangan baru mengenai kebebasan, namun demikian boleh dikatakan bahwa hamper semua liberal tidak mungkin melepaskan diri dari kebebasan negative yang dirumuskan Berlin.

John Rawls misalnya, yang datang kemudian dan dianggap memberikan pandangan baru mengenai liberalisme karena mengajukan ideal mengenai keadilan dengan dasar ‘difference principles’ yang mengakui bahwa dalam masyarakat terdapat manusia dengan ‘nasib’ yang berbeda-beda (the least advantage), tetap menakankan bahwa kebebasan hanya boleh dilanggar demi kebebasan yang lebih besar dan bahwa keadilan hanya bisa dicapai dengan dasar kebebasan. Di sini ketika Rawls mengatakan bahwa tiada keadilan tanpa kebebasan, maka Rawls sebenarnya juga menggemakan kembali Berlin.

Dongeng Kedua

Namun demikian, selain Rawls kita juga perlu mencatat kehadiran beberapa pemikiran Liberal lain yang memiliki kekhasan dan dalam beberapa hal yang substansial sungguh berbeda dengan liberalisme warisan Berlin. Salah satu yang perlu kita catat adalah pemikiran Judith N. Skhlar. Skhlar mengemukan sebuah pandangan mengenai liberalisme yang ia sebut sebagai ‘liberalism of of fear’. Menurutnya, filsafat kebebasan tidak dapat dimulai dari pengandaian-pengandaian normative-positif seperti keadilan dan kebebasan. Filsafat kebebasan mesti dimulai dari pengalaman konkret historis mengenai ketidakadilan. Skhlar mengatakan bahwa perhatian utama filsafat adalah  kekejaman.

Kelemahan utama liberalisme sebelumnya, menurut Skhlar adalah terlampau berpegang pada dimensi transcendental mengenai manusia dan positivitasnya, sehingga kurang aktif dan ‘praktis’ dalam menghadapi kekejaman yang nyata. Dalam sudut pandang Skhlar, seorang dikatakan liberal bukan pertama-tama karena ia memahami atau mendasarkan diri pada suatu pandangan metafisik mengenai kebebasan. Seorang menjadi liberal bukan karena ia hafal deklarasi hak asasi universal, bukan pula karena ia mengerti dan menyetujui pandangan Kant mengenai otonomi manusia atau mengikuti doktrin-doktrin Locke, Mill dan Berlin. Seorang menjadi liberal apabila ia berada dalam pengalaman ketidakadilan dan kekejaman dan berani menghadapi ketakutannya. Kebebasan tidak dibangun berdasar dalil-dalil filsafat moral, kebebasan muncul dalam pengalaman menghadapi kekejaman dan ketakutan. Inilah yang kemudian di sebut oleh Bernard Yack sebagai ‘liberalism without illusions’.

Pandangan Skhlar ini pula kiranya yang kemudian memengaruhi Liberal-Posmodernid (Liberal-Ironis) Richard Rorty. Rorty berpandangan bahwa filosofikasi yang berlebih terhadap ketidakadilan dan kekejaman manusia bisa merupakan kelanjutan dari kekejaman itu sendiri. Menurut Rorty, kekejaman bisa dihadapi tanpa didahului dengan sebuah pendasaran metafisik. Kita menghadapi kekejaman bukan karena kita paham Kant, bukan karena kita hafal hak-hak sipil dan politik. Kita menolak kekejaman karena pengalaman, praktik dan tradisi sudah mengajarkan demikian. Rorty menambahkan bahwa kita melawan kekejaman juga karena kebutuhan untuk memprtahankan status kemanusiaan agar tidak jatuh kembali ke status hewani kita. Sejak kita mengenal bahasa maka, kemanusiaan kita dipertahankan di dalam bahasa sehingga dengan itu berbagai bentuk kekerasan mesti ditolak dan dihindari.

Secara ontologis, baik Skhlar dan Rorty pada dasarnya mash mengikuti Berlin yang menekankan kebebasan sebagai keadaan tanpa paksaan. Namun demikian, Skhlar dan Berlin berbeda dengan liberal pada umumnya dalam soal bagaimana cara mempertahankan dan kebebasan.  Di dalam Mills, Berlin, Rawls, Nozick, kebebasan ada dengan sebuah jaminan metafisik dan antropologi filsosofis mengenai manusia yang bebas dan setara. Sementara di dalam Skhlar dan rorty, kebebasan ada dan dipertahankan sebagai pengalaman.

Dongeng Ketiga

Dalam karyanya Liberty Before Liberalism, Quentin Skinner, dengan mengutip temuan sejarawan Jerman Otto of Freising, menemukan gejala politik yang menakjubkan di bagian utara Italia, yang merupakan tanda tumbuh suburnya aspirasi republikan di sana. Otto of Freising menulis bahwa warga di tempat itu:

They had become so desirous of liberty that they had turned themselves into independent Republics, each governed by the will of consuls rather than rulers, whom they changed almost every year in order to ensure their lust for power was controlled and the freedom of the people...(Otto of Freising sebagaimana dikutip dalam Skinner, 1978, 3)

Gejala di atas yang dirujuk Skinner dari Otto of Freising ini merupakan temuan pertengahan abad ke-12. Temuan ini membuktikan bahwa sudah ada pemikiran dan ideal yang komprehensif mengenai kebebasan yang muncul jauh sebelum kaum liberal meruskan ideal kebebasannya[2].

Ideal mengenai kebebasan ini yang memuncak pada abad ke-15 dalam bentuk-bentuk aspirasi pemerintahan mandiri di Florence. Kebebasan yang oleh Quentin Skinner dinamai dengan istilah ‘liberty before liberalism’ (Skinner, 1998). Skinner juga mencatat temuan-temuan lain dari apa yang kemudian mereka sebut sebagai ‘Florentine Political Thought” untuk menandai aspirasi kebebasan republikanisme yang secara khas tumbuh di Italia. Di jaman yang sama, di Florentine pula Machiavelli mengabdi sebagai semacam penasihat (chancery).

Dalam pemahaman konvensional, Machiavelli hanya dikenal sebagai penganjur ‘Machiavellianisme’: menghalalkan segala cara (the ends justify the means, membuang moral dari politik sehingga dengan demikian dianggap tidak bermoral. Ituadalah  pandangan keliru.

Bagi pembaca yang kurang paham, Machiavelli memang mudah disalahpahami, terutama atas tulisan-tulisannya yang dianggap penuh kontroversi yang ditulis dalam The Prince- ditulis sekitar tahun 1513. Orang lupa bahwa The Prince ditulis sebagai anjuran bagi pemimpin dalam suatu konteks historis yang spesifik yakni suatu negara republik yang sedang berada dalam ancaman kejatuhan akibat berbagai rongrongan: ancaman penjajahan dari Spanyol, Perancis, invasi kaum ‘barbar’, intrik dalam kekuasaan Gereja, intrik dan kebusukan kekuasaan para bangsawan dan korupsi yang merajalela. Selain itu, orang juga lupa bahwa selain The Prince, Machiavelli juga menulis sebuah karya lagi yang sama-sama fundamental yakni The Discourse (Discorsi). Dalam The Discourse –ditujukan kepad Livy-  Machiavelli tampil sebagai seorang moralis republikan yang  sama sekali berbeda dengan The Prince. (Bondanella dan Mark Musa, 21). Oleh karenanya, sungguh tidak tepat apabila kita menilai Machiavelli hanya berdasarkan karyanya The Prince tanpa membaca The Discourse dan tanpa memahami konteks penulisannya.

Machiavelli memang memisahkan ‘moral dari politik’ dalam arti bahwa ia yang pertama kali secara keras menetapkan batas-batas agama dalam politik: sekularisasi politik. Baginya politik adalah urusan akal dan pikiran manusia bukan urusan keilahian. (Honohan, 2002). Dengan ini –sesuai dengan semangat jaman Renaissance dan humanisme- ada kepercayaan yang sangat besar akan kemampuan manusia untuk menyelesaikan sendiri urusan-urusan kemaslahatannya tanpa campur tangan kekuasaan transenden. Politik dalam Machiavelli adalah vivere politico, politik yang hidup dalam praktik dan pikiran manusia. Jadi penolakan Machiavelli atas ‘moral’ adalah penolakan Machiavelli atas kuasa dan klaim transenden dalam politik. Lebih daripada itu, dari ajaran-ajaran Machiavelli di dalam The Prince, pandangannya mengenai politik serta kekuatirannya mengenai kejatuhan ‘kota-kota’ republik, menunjukkan bahwa seluruh pandangan politiknya dibasiskan pada satu tujuan yakni menetapkan pentingnya kebebasan.

Kebebasan, menurut Machiavelli, merupakan nilai yang paling tinggi dan paling berharga. Menurutnya, seorang disebut bebas apabila mereka tidak tergantung (dependent) kepada seorang tiran atau seorang oligark yang mempraktikan kekuasaan sewenang-wenang. Prinsip yang sama juga berlaku bagi negara atau kota, sebuah negara disebut bebas apabila negara independen dari kehendak kota/negara lain.

Kebebasan dalam Machiavelli identik dengan otonomi. Di sini, ia memberikan dasar yang khas republikan dalam kebebasan yakni kebebasan sebagai non-dominasi bukan kebebasan sebagai kondisi tanpa-paksa. Kebebasan hilang atau berkurang bukan karena adanya paksaan atau ancaman (interference). Ada kondisi di mana meskipun tidak ada paksaan, orang tetap bisa hilang kebebasaanya. Seorang budak, yang bekerja pada tuan yang baik misalnya, tidak mengalami paksaan tapi tetap tidak memiliki kebebasan.

Namun yang lebih penting lagi, Machiavelli juga menegaskan bahwa, kebebasan sebagai otonomi itu hanya bisa dinikmati dalam sebuah republik. Kebebasan tidak cocok dalam sistem monarki karena warga tidak dapat terlibat dalam ‘sovreign-deliberation’ dan penentuan ‘magistrates’ (perwakilan). (Viroli, 2008, 77)

Pandangan kebebasan Machiavelli inilah yang kemudian diteruskan oleh pemikir Republikan Kontemporer Phillip Pettit. Pettit merumuskan apa yang kemudian oleh kalangan liberal disebut sebagai kebebasan yang ketiga setelah kebebasan negative dan kebebasan positif yakni: kebebasan sebagai non-dominasi.

Intinya, menurut Pettit, ketiadaan paksaan tidak dapat secara tepat menunjukkan kebebasan karena, ada banyak kondisi di mana paksaan tidak ada tetapi kebebasan juga absen. Dengan dominasi Pettit  menyebutkan:

Domination…is exemplified by the relationship of a master to slave or master to servant. Such a relationship means, at the limit, that the dominating party can interfere on an arbitrary basis with the choice of the dominated: can interfere in particular in the basis of the interest or an opinion that need not be shared by the person affected…(Pettit, 1997, 22)

Salah satu contoh yang barangkali bisa diajukan di sini misalnya adalah, katakanlah ada seorang tuan budak atau seorang yang majikan yang baik terhadap budak atau bawahannya. Dengan posisinya itu si tuan memiliki segala kapasitas untuk memaksa budak/bawahannya dengan dasar kesukarelaan sang bawahan. Meskipun, si tuan tidak pernah atau tidak mau menggunakan kapasitas paksaannya terhadap si budak/bawahannya, tidak berarti si budak/bawahan itu bebas. Relasi dominasi di sini menciptkan suatu kondisi yang tak pasti di pihak korban. Yang membuatnya tidak memiliki suatu posisi sosial yang jelas. Selain itu, situasi asimetri juga muncul yang menempatkan si korban sebagai potensial mengalami paksaan. Dalam relasi demikian, tidak ada paksaan tapi tidak ada juga kebebasan.

Dongeng Keempat

Dalam varian yang lain, pandangan kebebasan republican klasik juga menyumbang Hannah Arendt mengatakan bahwa “Raison d’etre politik adalah kebebasan, dan bidang pengalamannya adalah tindakan.” Menurut Arendt, pada masa Yunani dan Romawi Kuno, kebebasan secara ekslusif selalu merupakan konsep politik. Kebebasan di sini selalu disebut bertautan dengan predikat kewargaan di dalam konteks keanggotaan dan partisipasi di dalam polis. Kebebasan meru­pakan jembatan antara polis dan kewargaan di dalamnya. Filsafat dan pemikiran politik modern, menurut Arendt, telah berperan dalam mengasingkan kon­sep kebebasan dari politik. Akibatnya, ia tidak lagi dihayati sebagai a state of being manifest in action dan lebih dihayati sebagai will to power. Kebebasan tidak lagi dihayati sebagai virtuosity melainkan sebagai sovereignty.

Terpisahnya kebebasan dengan politik dimulai oleh tradisi Kristen. Tradisi Kristen memandang kebebasan lebih sebagai kehendak bebas (free will), semata-mata wilayah mental yang tidak berkaitan dengan politik sama sekali. Pandangan Kristen bahwa ‘tidak apa-apa menjadi budak di dunia asalkan bebas di surga akhirat sana’, mempertegas pandangan mengenai kebebasan sebagai urusan antara ‘aku dan diriku’ semata-mata.

Menurut Arendt, keterpisahan ini dilanjutkan terus hingga filsafat politik abad ke-17 dan 18 (Montesquieu, Locke dsb). Bagi filsafat politik era itu, kebebasan politik dilihat sebagai ‘kebebasan potensial’ dan identik dengan rasa aman (security). Mereka beranggapan bahwa tujuan tertinggi dari politik adalah ‘menjamin tersedianya rasa aman’. Baru dengan setelah terciptanya rasa aman maka kebebasan menjadi mungkin. Dengan demikian, kebebasan dilihat sebagai sesuatu yang berada di luar wilayah politik. Lebih jauh lagi kebebasan bahkan diletakkan sebagai hasil sampingan saja dari tindakan manusia membangun keamanan masyarakat secara umum.

Pandangan ini kemudian makin dikokohkan oleh munculnya totalitarianisme di abad ke-20. Totalitarianisme datang dan mensubordinasikan semua wilayah kehidupan di bawah suatu tuntutan kepemimpinan politik dan secara keras serta konsisten menolak hak-hak sipil, hak pribadi, serta kebebasan dasar. Pengalaman represi negara dan politik totalitarian yang kejam membuat banyak orang berkesimpulan bahwa kebebasan di dalam politik itu mustahil. Dari sini, makin kuat pandangan yang menolak sejalannya kebebasan dengan politik. Politik dianggap sebagai musuh kebebasan. Inilah sumber kredo kaum liberal yang menyatakan bahwa makin sedikit politik makin tumbuh kebebasan, makin banyak politik makin kecil kebebasan. Singkatnya, akibat pengalaman totalitarian, filsafat menganjurkan kita untuk menerima suatu pandangan bahwa kebebasan baru bisa dimulai manakala politik mampus.[3]

Keterpisahan inilah yang dijelaskan dan ditolak oleh Arendt. Baginya, kebebasan itu hanya penting bila berkaitan dengan pemahaman makna politik dan tindakan manusia (action). Arendt mengatakan bahwa kebebasan bukanlah urusan antara aku dan diriku semata-mata, melainkan urusan antara aku dan yang lain sebagai kelompok. Namun demikian, tidak semua bentuk aktivitas pengelompokan manusia dapat disebut sebagai kebebasan. Meskipun ma­nusia mengorganisasikan kehidupan bersama, namun apabila ia tidak membentuk suatu tubuh kepolitikan –misalnya saja organisasi masyarakat adat di mana kehidupan mereka bukan dituntun oleh aktivitas politik namun oleh keharusan dan tuntutan alamiah kehidupan—maka aktivitas itu belum dapat disebut kebebasan.

Lebih jauh Arendt juga menegaskan bahwa bilamana dunia yang dibentuk manusia itu bukanlah arena bagi tindakan dan komunikasi atau tuturan –sebagaimana yang banyak terjadi di dalam masyarakat despotis yang membatasi warganya secara sempit di dalam kehidupan privat –maka kebebasan tidak dapat dikatakan ada.

Arendt kemudian memperjelas arena di mana kebebasan itu ada. Di sinilah ia menye­butkan pentingnya memahami polis. Sewaktu Arendt mengatakan bahwa kebebasan tidak mungkin ada di dalam arena privat, maka yang ia maksud dengan privat adalah wilayah oikos atau res privata atau rumah tangga. Rumah tangga atau oikos adalah arena di mana kehidupan bersama didikte oleh keinginan-keinginan dan kebutuhan alamiah. Karenanya di dalam oikos manusia takluk oleh keharusan-keharusan survival dan karenanya ditundukkan di bawah hubungan untuk saling mengalahkan satu sama lain. Bebas berarti tidak berada di bawah keharusan-keharusan oikos, tidak berada di bawah perintah siapapun. Bebas berarti kemampuan untuk bergerak melampaui kepentingan oikos dan memasuki reali­tas polis.

Dengan demikian, kebebasan di dalam Arendt diartikan sebagai segala aktivitas dan tindakan yang berlangsung di dalam kerangka polis atau res publika. Kebebasan harus di­artikan sebagai partisipasi langsung dalam segala upaya untuk mencapai kehidupan yang baik (eudamonia). Ini berarti kebebasan selalu dan harus diartikan dalam pertautannya dengan po­litik dan tindakan. Kebebasan itu sendiri adalah politik menurut Arendt. Ia menegaskan bah­wa “manusia bebas selama mereka bertindak; karena bebas dan bertindak itu sama saja.” Karena kebebasan itu “terikat” pada polis maka kebebasan selalu adalah tindakan.

Menurut Arendt, inherensi kebebasan dengan tindakan digambarkan secara sangat baik oleh Machiavelli dalam konsep virtu, yakni keberanian laku dengan apa manusia mencoba menjawab hamparan pertanyaan di dunia yang serba terbuka dan tak pasti. Arendt men­jelaskan gagasan ini dengan menggunakan istilah kesenian virtuosity sebagai perluasan dari konsep virtu yang diperkenalkan Machiavelli. Dengan virtuosity, suatu aktivitas seni dihargai kesempurnaanya di dalam tindakan kesatuan gerak dan momen saat seni itu digelar (ditarikan bila tarian, dinyanyikan bila itu olah vokal), bukan produk akhir atau hasilnya.

Tindakan dalam konsepsi Arendt merujuk pada sifat virtuosity-nya Machiavelli, dan karena virtousity merupakan bentuk penghargaan tertinggi terhadap seni, maka di sini Arendt bersama Machiavelli merayakan suatu kesepakatan bahwa politik pada dasarnya juga adalah seni. Inilah metafor untuk menunjukkan bahwa politik dan kebebasan selalu bersifat ‘tersedia satu paket’ di dalam tindakan.

Kenyataan Kita

Orang Indonesia menikmati kebebasan tetapi cenderung tidak menyukai untuk mengkaitkan kebebasan dengan liberalisme. Kita maklum karena memang tradisi intelektual jaman kini kurang menyentuh kalangan aktivis politik, hingga sentimen dan kekurang-mengertian seringkali lebih banyak menjadi dasar penilaian ketimbang konsep dan teori. Di sini, mereka yang menikmati riuh rendah, hingar bingar, umpatan kepada penguasa dan ‘dialog’ di media-media –yang seringkali lebih banyak omong-kosongnya-, seringkali dengan gagahnya mengumbar kebencian kepada ide kebebasan dan liberalisme. Mereka seringkali lupa, bahwa kerja otak dan kontraksi otot mulut jadi produktif dalam mengumbar kritik dan cemooh hanya setelah kebebasan diperjuangkan kemudian dipancang sebagai hukum dan hak. Orang seringkali lupa bahwa untuk bisa mengkritik penguasa, menyinggung lawan dan saingan politik orang tetap butuh setidaknya secuil liberalism. Orang juga sering lupa, bahwa dalam alam demokrasi sekalipun, memperjuangkan dan mempertahankan ide kebebasan tetap diperlukan. Karena seperti kata Nussbaum, bahkan di dalam liberalisme dan alam demokrasi ada yang disebut dengan kemungkinan ‘the fragility of goodness’ atau kalau boleh kita pelintir sedikit, di dalam demokrasi terdapat kemungkinan ‘the fragility of freedom’. Kebebasan, setidaknya sebagai suasana dan fasilitas yang melandasi dan memungkinkan orang teriak di mana-mana itu, bisa setiap saat dipancung dan dikuburkan kembali. Rasanya masih belum lama bagi kita untuk ingat bahwa dalam politik di mana kebebasan dikubur misalnya oleh senjata, maka otak, mulut -berikut akun twitter, facebook-, media dari para demagog demokrasi yang paling nyaring sekalipun akan melempem dan senyap.

Namun demikian, pengalaman mengenai the fragility of freedom ini rasanya memang belum terlampau dimengerti oleh kebanyakan orang Indonesia. Ketakpahaman ini jelas nampak dalam hasil survey-survey yang dengan enteng dibuat dan diterima dalam percakapan sehari-hari. Dari survey-survey itu, kita memahami beberapa hal yang fundamental tapi gawat dalam kepolitikan kita: pertama bahwa dalam soal pemimpin kebanyakan orang berfikir secara mekanistis ‘yang penting ganti pemimpin’. Kedua, dalam melihat politik dan pergantian kekuasaan, banyak orang tidak menggunakan penilaian normative yang subtstansial, seperti misalnya bagaimana kelanjutan demokrasi di tangan kandidat A. Mereka yang tidak suka pemerintah sekarang mencari tipe pemerintahan yang bertolak belakang, orang kuat, orang tegas orang berani...tidak pernah diteliti berani untuk apa? Orang lebih mencari berdasarkan kualitas personal yang sama sekali tidak terkait soal-soal yang mendasar mengenai masa depan demokrasi, kebebasan dan perluasan keadilan.

Dalam kemungkinan yang paling ekstrem, kita mengalami apa dikatakan Fromm sebagai ‘lari dari kebebasan’. Justru setelah bebas, merdeka dari Orde Baru, justru segera setelah seluruh arah kehidupan politik berada di tangan kita, kita malah jadi kikuk, gagal mengambil tanggung jawab, menyalahkan orang lain untuk kemudian mencari-cari orang kuat untuk memikul tanggung jawab kita. Persis seperti orang Israel yang setelah bebas dari Mesir, kelelahan di padang-padang, mengumpat-umpat Musa dan malah bernostalgia tentang Fir’aun sambil mencipta berhala-berhala baru. Inilah mental budak otoritarian, yang karena kemalasan merawat demokrasi, menggadaikan kebebasan ke tangan orang-orang kuat dan telengas.

 

Penutup

Kebebasan bukanlah sebuah gerak kembali ke suatu arah dan tujuan yang jelas dan pasti. Kata Bloch, kebebasn bukanlah a return melainkan an exodus. Di dalam eksodus, secara kolektif orang bebas terlepas dari belenggu namun diminta untuk kokoh, bertahan, setiap pada kebebasannya itu. Eksodus memang melelahkan karena ‘tanah’ yang dijanjikan memang tidak pernah bisa didefinisikan secara final. Namun demikian, eksodus bisa dipertahankan sebagai kebebasan hanya apabila segala klaim tentang yang abslot dan final dalam politik itu kita tahan. Tugas dari demokrasi adalah mempertahankan kebebasan dengan pertama-tama menolak segala klaim dan janji-janji  kemutlakan dalam politik.

 

[1] Naskah hanya untuk keperluan Presentasi dalam Diskusi Filsafat Kebebasan, Freedom Institute, 4 April 2013. Naskah ini adalah draft kasar yang disajikan hanya dengan maksud memudahkan alur diskusi, tidak untuk dikutip dan dipublikasikan secara luas.

[2] Skinner mencatat temuan Bueno de Mesquita yang mempelajari surat-surat diplomatik Florentine pada masa invasi Henry VIII pada tahun 1301. Pada masa itu, di Florentine istilah ‘the liberty of Tuscany’ untuk menunjukkan pentingnya kebebasan negeri itu digunakan secara resmi. Selain itu dalam kebiasaan diplomatik Florentine, istilah libertas dan libertá juga telah digunakan secara teknis dalam dokumen-dokumen mereka.

[3] Mengenai bagian ini lihat Arendt, “What is Freedom? yang merupakan revisi dari artikel berjudul “Freedom and Politics: A Lecture” dalam Chicago Review (musim semi 1960). Diambil dari Peter Baehr (ed.), The Portable Hannah Arendt (Penguin Books:New York, 2000), hlm. 438-461.

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.