Kegagalan ST MPR, Rahmat Terselubung

GAGALNYA SIDANG TAHUNAN MPR 2001 dalam mengubah metode pemilihan presiden tentu mengecewakan banyak pihak. Dari kalangan yang kecewa ini, MPR mungkin dianggap sebagai lembaga dengan legitimasi yang merosot drastis karena menunda pengesahan hal-hal penting yang sudah menjadi kebutuhan sejarah.

Saya bisa memaklumi kekecewaan semacam itu. Namun, di pihak lain, saya juga melihat bahwa dengan menunda selama setahun, kita justru memiliki peluang untuk memengaruhi para wakil rakyat agar merumuskan metode pemilihan presiden yang lebih baik ketimbang dua altematif yang ada dalam Sidang Tahunan MPR lalu.

Kedua alternatif itu punya kelemahan-kelemahan yang mendasar. Dalam sistem yang diusulkan oleh PDI-P, misalnya, jika pada pemilihan langsung tidak ada kandidat yang memperoleh suara 50 persen+1, penentuan presiden akan dilakukan dalam sidang MPR. Sistem pemilihan semacam ini tidak mengurangi, tetapi justru menambah, tingkat ketidakpastian yang melekat dalam sistem politik kita.

Katakanlah dalam beberapa periode pemilu akan muncul seorang kandidat yang sangat populer dan cukup karismatis, maka persyaratan mayoritas mutlak (50 persen+1) dapat dipenuhi dalam pemilihan tingkat pertama. Hasilnya adalah seorang presiden dengan posisi yang relatif kuat karena memiliki legitimasi langsung dari rakyat. Namun, dalam periode pemilu lainnya, kandidat semacam itu tidak muncul. Dan seperti yang terjadi selama ini, MPR kembali memilih siapa yang berhak menjadi orang nomor satu di negeri kita.

Jadi, dalam prinsipnya, sistem yang ditawarkan PDI-P mengandung dualisme legitimasi. Pada periode yang satu, kita memiliki presiden yang langsung dipilih rakyat. Pada periode lainnya, kita harus dipimpin oleh kepala pemerintahan yang dipilih oleh MPR. Kadang kita memakai sistem yang bekerja dengan karakter presidensial, kadang kita kembali lagi dengan sistem politik semi-parlementarian seperti yang ada sekarang. Dengan kemungkinan seperti ini, kerinduan kita untuk melihat sistem politik yang lebih sederhana dan memberi kepastian yang lebih besar pasti hanya akan menjadi angan-angan yang indah.

Alternatif lainnya, yaitu metode pemilihan yang ditawarkan PPP dan PKB, memang dapat menghindari kelemahan semacam itu. Dalam sistem ini, jika tidak ada kandidat yang mencapai mayoritas mutlak, pemilu akan diulang dan rakyat kembali harus memilih salah seorang dari dua kandidat yang mencapai posisi teratas dalam pemilu tingkat pertama.

Walau alternatif ini relatif lebih baik ketimbang alternatif pertama, ada pertanyaan yang masih harus dijawab oleh para pendukung sistem pemilihan bertingkat ini. Kalau memang pemilihan tingkat kedua harus kembali ke rakyat lagi, kenapa harus repot-repot mengulang pemilu, dengan kemungkinan hasil akhir yang berbeda samasekali? Kenapa harus dua tingkat? Kenapa tidak sekali pemilu saja?

Terhadap pertanyaan demikian, jawaban yang sering kita dengar terbagi dalam dua argumen. Argumen pertama pada intinya berkata bahwa hanya dengan kemenangan dengan mayoritas mutlaklah legitimasi presiden dapat menjadi kuat, dan hanya pada pemilihan tingkat kedualah posisi mayoritas mutlak ini dapat tercapai. Buat saya, argumen ini mengacaukan pengertian legitimasi dan dukungan politik.

Legitimasi adalah soal prosedur yang sah. Jika kita sepakat bahwa dalam pemilu tingkat pertama siapapun yang mencapai dukungan terbesar, dengan prinsip plurality, akan menjadi presiden, berarti baik kemenangan dengan 35 persen, 45 persen, maupun 65 persen dukungan suara rakyat akan sama sahnya. Yang penting di sini, kemenangan itu dicapai dengan mengikuti prosedur yang ada, bukan jumlah nominal suara yang berhasil dicapai.

Argumen kedua terhadap pertanyaan di atas berkata bahwa jika pemilu hanya dilaksanakan sekali, daerah luar Jawa akan terus tertinggal karena para kandidat presiden hanya akan berkonsentrasi merebut suara di Pulau Jawa. Saya tidak pernah tahu bagaimana argumen seperti ini bisa dibuktikan.

Bahwa ada konsentrasi penduduk di Pulau Jawa yang sangat besar, kita semua mengerti. Tapi kita juga tahu bahwa penduduk­ Pulau­ Jawa­ adalah­ entitas­ demografis,­ bukan­ politis.­ Secara politis, Pulau Jawa tidak pernah satu dan homogen. Karena itu, kekhawatiran bahwa para kandidat presiden hanya akan berkonsentrasi untuk memenangi pemilu di Pulau Jawa sebenamya adalah kekhawatiran tanpa dasar yang jelas.

Singkatnya, metode pemilihan presiden yang ditawarkan oleh PPP dan PKB sebenarnya hanya memperpanjang rantai politik, tanpa dasar yang benar-benar meyakinkan. Kita harus menyaksikan pertarungan dua ronde yang agak rumit hanya karena konsepsi tentang legitimasi yang keliru dan kecemasan yang tak berdasar.

Karena itulah, gagalnya Sidang Tahunan MPR dalam mengambil keputusan tentang metode pemilihan presiden pada Jumat malam lalu saya anggap lebih sebagai blessing in disguise, rahmat terselubung.

Setahun adalah waktu yang cukup untuk meyakinkan para wakil kita di lembaga tertinggi itu bahwa kedua alternatif yang ada sekarang bukanlah metode pemilihan yang ideal. Kalau kita memang ingin berubah ke arah yang lebih baik dengan sistem politik yang sederhana dan lebih memberi kepastian, yang paling ideal adalah sistem pemilihan langsung dengan satu tingkat dan berdasarkan pada prinsip plurality.

18 November 2001

Kolom, TEMPO, 18 November 2001

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.

Related Articles