Kontrak Sosial: Pedang Rousseau

Gambar oleh Free-Photos dari Pixabay
 

“Manusia terlahir bebas, dan di mana pun ia terkekang. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Saya tidak tahu. Apa yang bisa menjadikan hal ini sah? Saya yakin saya bisa menjawab pertanyaan ini.”

INI ADALAH KALIMAT PEMBUKA The Social Contract karya Rousseau. Dengan kalimat-kalimat tersebut Jean-Jacques Rousseau mengajukan pertanyaan politik yang paling radikal dan mengandaikan bahwa semua rezim politik yang ada tidak sah. Kalimat-kalimat tersebut merupakan pertanyaan paling modern di masa Rousseau. Pernyataan itu adalah pedang yang memenggal otoritas kekuasaan tradisional.

Voltaire mengecam Tuhan. Rousseau mendelegitimasi para penguasa. Para philosophers (Diderot, Voltaire) menginginkan reformasi, Rousseau menginginkan revolusi. Ia menganjurkan “suatu bentuk asosiasi” di mana tiap-tiap anggotanya sepenuhnya menyerahkan dirinya pada komunitas itu, dan pada saat yang sama hanya menaati dirinya sendiri dan tetap bebas serta otentik paradoksnya yang terkenal adalah: “Tiap-tiap orang menyerahkan dirinya kepada semua [orang], tidak menyerahkan dirinya kepada siapapun.” Ia menganggap masyarakat sipil memperbudak individu. “Bentuk asosiasinya”, atau kontrak sosialnya, dengan demikian merupakan suatu penyelamatan politik yang sepenuhnya menyelesaikan konflik antara individu dan masyarakat, atau warganegara yang bebas dan negara. Baginya, hanya dalam asosiasi ini manusia dapat benar-benar mendapatkan kebebasan sipilnya. Di sini manusia diubah dari semata-mata seekor “binatang yang terbatas dan bodoh” menjadi sesosok “makhluk yang cerdas dan bermoral”.

Namun jenis asosiasi baru apa yang ditawarkan Rousseau? Jawaban dari pertanyaan ini sangat ambigu. Saya cenderung berpikir bahwa, seperti yang akan saya tunjukkan nanti, konsekuensi-konsekuensi pemikirannya dalam Social Contract cenderung totalitarian. Ia mengganti otoritas tatanan lama dengan sebuah komunitas politik baru yang totalitarian. Memang, seperti yang dikemukakan Robert Nisbet (1973), Rousseau membebaskan manusia dari masyarakat lama dan korup namun dalam melakukan hal ini ia menempatkan manusia di bawah kungkungan sebuah negara yang sangat kuat dan mungkin tak terbatas. Dengan kata lain, “bentuk asosiasinya” tersebut merupakan suatu format politik di mana seorang raja baru dan modern, tanpa banyak rintangan dari masing-masing warga negara, dapat dengan mudah menyalahgunakan kekuasaan politik atas nama kehendak umum. Rousseau tidak memberi perlindungan pribadi atau individual terhadap kemahakuasaan kekuasaan politik tersebut. Dalam pengertian ini, bukan tidak berdasar untuk setuju dengan Sir Henry Sumner Maine (1886) bahwa kehendak umum Rousseau sebenarnya “tidak lebih daripada hak ilahiah lama sang raja dalam bentuk baru”.

Tentu saja, bukan tanpa alasan untuk berpikir bahwa dalam beberapa hal Social Contract Rousseau memberikan dasar bagi sebuah komunitas politik yang lebih demokratis. Kita dapat menemukan aspek ini dalam argumennya tentang supremasi hukum. Bagi Rousseau, manusia bebas ketika ia mematuhi hukum, dan bukan manusia. Di sini hukum dan bukan para elite yang berkuasa adalah otoritas tertinggi. Dalam Letter from the Mountain, yang dikutip oleh Sartori (1958), Rousseau mengatakan, “Nasib kebebasan sama dengan nasib hukum; ia hidup atau binasa bersamanya. Hukum adalah pelaksanaan kehendak umum: hukum berasal dari rakyat, dari semangat rakyat.” Dengan demikian Rousseau telah bergeser dari tradisi hukum kodrat ia berpindah dari ius naturale Grotius ke hukum yang disetujui oleh kehendak umum. Hukum adalah rekaman kehendak-kehendak rakyat; dan karena itu hukum tidak pernah tidak adil, karena rakyat tidak pernah tidak adil kepada diri mereka sendiri. Di sini konsep modern tentang kesetaraan dalam hak-hak hukum yang merupakan salah satu syarat paling penting sebuah komunitas politik yang demokratis menemukan pengungkapannya yang paling kuat dan bernas.

Selain itu, Rousseau menghamparkan dasar bagi kedaulatan rakyat (atau lebih tepatnya kedaulatan massa). Kekuasaan politik yang sah baginya merupakan turunan dari keinginan rakyat. Dan keinginan rakyat, seperti hukum, tidak bisa salah. Karena itu, apa yang diperlukan adalah suatu pengungkapan-diri umum (yang dalam konsepsi modern harus dipahami sebagai pemilihan umum atau revolusi) untuk menguak keinginan rakyat yang sebenarnya. Dengan populisme romatik ini, Rousseau, seperti saya katakan di atas, mendelegitimasi raja dan rezim-rezim lama—dan karena itu membantu mempersiapkan basis filosofis bagi revolusi masa depan. Dengan kata lain, Rousseau memberikan pedang kepada massa untuk menghancurkan singgasana raja absolut mereka.

Namun, semua ini tidak menghilangkan kolektivisme romantik dalam Contract Social, yang dengan mudah dapat membenarkan kekuasaan sosial dan politik totalitarian. Hal ini dapat ditemukan jika kita mengkaji secara teliti penjelasan Rousseau tentang konsep dia yang terpenting, yakni kehendak umum. Bagi Rousseau, kehendak umum bukanlah jumlah kehendak individu, atau kehendak mayoritas, atau kehendak semua (omnes ut singuli). Ia adalah kehendak intensi umum (omnes ut universi), yang hanya dapat disingkapkan jika tiap-tiap individu mengasingkan dirinya dari orang lain (berlaku seperti atom dalam masyarakat) dan menyisihkan semua kepentingan pribadinya. Kehendak umum tersebut adalah suatu kualitas tersembunyi ia adalah suatu kebenaran Platonik yang memiliki eksistensi obyektifnya sendiri. Setelah kehendak umum itu ditemukan, diejawantahkan, melalui “suara hati yang murni”, ia menjadi berdaulat. Lebih jauh, yang berdaulat ini utuh, tak dapat dihilangkan, dan tidak bisa diwakili oleh organ badan politik apapun. Setiap orang dengan demikian harus sepenuhnya tunduk pada yang berdaulat ini. Dan siapapun yang menolak untuk mematuhinya harus dipaksa untuk melakukan hal itu oleh seluruh badan politik di sini orang tersebut hanya “dipaksa untuk menjadi bebas”, karena pengejawantahan kehendak umum tersebut merupakan satu-satunya penyelamatan politik bagi manusia terhadap kebebasannya.

Kini, kita harus mengajukan beberapa pertanyaan sederhana: bagaimana kita mengetahui kehendak umum itu jika orang-orang mengungkapkan opini mereka tentang beberapa persoalan umum? Bagaimana kita yakin bahwa hal itu adalah kehendak sejati mereka, dan bukan kehendak para demagog yang meyakinkan orang-orang apa dan bagaimana berpikir? Bagaimana kita tahu bahwa rakyat mengungkapkan kehendak mereka dengan “kesadaran murni” mereka? Terhadap pertanyaan-pertanyaan ini, penjelasan-penjelasan Rousseau kurang memadai dan tidak jelas. Kita mungkin dapat menemukan jawaban utamanya dari kalimat penting ini: “Kita selalu menginginkan apa yang baik bagi kita, namun kita tidak selalu mengetahui apa itu.” Jadi, untuk membantu menemukan “hal yang baik bagi kita” ini Rousseau kemudian menoleh ke pembuat undang-undang, yang akan menemukan hal yang “baik bagi kita” (kehendak umum) tersebut. Lebih jauh, pembuat undang-undang itu juga akan “menciptakan suatu jenis manusia baru, seorang makhluk yang murni politik, tanpa suatu kepen tingan dan loyalitas apapun” bagi diri individual dan asosiasi pribadinya selain bagi komunitas politiknya.

Pendek kata, jawaban Rousseau bukan hanya kontradiktif, namun juga malah membenarkan peran sebuah kelompok suatu komunitas politik untuk bertindak seperti penemu sejati kebenaran, yang akan menghancurkan wilayah kehidupan individual dan pribadi, dan menjadikan seluruh rakyat tunduk hanya pada satu entitas politik kolektif. Dengan demikian, Rousseau membuka kemungkinan untuk membenarkan seorang despot dan tiran totalitarian yang mengklaim bahwa mereka adalah perwujudan kehendak umum tersebut, atau bahwa diri merekalah yang tahu apa yang diinginkan rakyat. Despot dan tiran ini mungkin menghancurkan setiap individu yang menentang mereka tanpa rasa bersalah.

Selain itu, Rousseau, seperti yang dikemukakan J.L. Talmon (1955), gagal melihat bahwa sebuah kehendak sangat mungkin tiranik, “sekalipun diinginkan oleh semuanya, dan bahwa akan sama jahatnya bagi yang berdaulat untuk diperintah secara tiranik oleh ‘dirinya sendiri’ ataupun oleh pihak lain”. Dalam kasus ini, setiap individu akan menjadi tiran maupun budak. Rakyat bisa bodoh terhadap diri mereka sendiri, jika bukan terhadap orang-orang lain. Opini rakyat bisa salah, dengan berbagai implikasi kejahatan (misalnya dalam eforia massa, dalam tekanan yang sangat besar, dalam perang, dll.). Stalin, dalam Perang Dunia II, dianggap oleh rakyat Rusia sebagai pahlawan nasional. Hitler, di tahun-tahun pertama Perang Dunia II, dipandang oleh rakyat Jerman sebagai seorang pemimpin yang mengembalikan kebanggaan nasional mereka. Dan sekarang ini, Slobodan Milosevic dan Radovan Karadzic, para penjagal Serbia, dianggap oleh rakyat Serbia sebagai pelin dung kehendak rakyat. Jika sebuah kelompok dari rakyat membenci kelompok yang lain, kehendak umum Rousseau sangat mungkin menjadi suatu sarana bagi para pemimpin despotik untuk melakukan pembantaian massa.

Rousseau tidak bersikap kritis terhadap kekuasaan politik. Contract Social-nya terlalu kuat bersandar pada negara (komunitas politik, bangunan politik) sebagai sumber kemajuan sosial dan moral. Penyelamatan politik suatu masyarakat sipil yang korup baginya hanya mungkin jika terjadi “suatu penyerahan absolut dari para individu, dengan semua hak dan kekuatannya, kepada komunitas sebagai suatu keseluruhan”. Keyakinan total dan romantiknya terhadap kolektivitas menghancurkan kemungkinan pengakuan akan eksistensi kehidupan pribadi dan individual. Ia begitu tergetarkan oleh majelis publik Romawi, di mana kemauan publik berkuasa. Baginya, negara harus memaksa setiap individu untuk luluh dalam kemauan publik ini demi kebaikannya sendiri. Di sinilah Rousseau memberikan jalan termudah bagi negara untuk melakukan kontrol totalitarian terhadap seluruh masyarakat.

Dalam hal ini Rousseau jelas sangat berbeda dari para filsuf liberal Inggris. Locke, misalnya, tidak banyak memberi peran kepada negara selain menjamin hak milik dan kehidupan rakyat. Dan Hobbes, dengan kejelasannya yang brilian, menyatakan bahwa satu-satunya tugas yang harus diemban kekuasaan politik adalah menjaga ketertiban dan stabilitas masyarakat. Para filsuf ini tidak banyak memberi kekuasaan kepada negara untuk ikut campur dalam urusan-urusan masyarakat sipil. Pendek kata, tradisi filsafat kebebasan adalah sebuah tradisi skeptisisme terhadap politik. Rousseau, sebaliknya, membuka suatu harapan baru terhadap negara dan politik untuk memainkan peran sebagai penggerak sejarah yang progresif. Pada dirinya sendiri mungkin tidak ada yang salah dengan harapan ini. Namun, dalam kasus Rousseau, kita tidak dapat menemukan jawaban apapun tentang bagaimana kita harus menetapkan batas bagi kemahakuasaan negara dan politik di wilayah sosial dan politik. Baginya, negara badan politik tersebut sepenuhnya berkuasa.

Jean-Jacques Rousseau dengan demikian bukahlah ayah yang tidak sah dari totalitarianisme kiri dan kanan abad ke-19 dan ke-20. Memang, pedangnya menghancurkan para raja, simbol otoritas tradisional namun pedang itu juga memberi alasan bagi kaum revolusioner populis, atau bagi setiap despot, untuk menjalankan teror dan penindasan atas nama kehendak umum.

Daftar Rujukan
1. Robert Nisbet, The Social Philosophers Community and Conflict in Western Thought, Thomas Cromwell Comp., 1973.
2. J.L. Talmon, Origins of Totalitarian Democracy, Secker and Warburg, 1955.
3. Sir Henry Sumner Maine, Popular Government, Henry Holt and Comp., 1886.
4. Giovanni Sartori, Democratic Theory, Praeger, 1958.
5. Jean-Jacques Rousseau, "The Contract Social", dalam Jean-Jacques Rousseau, The Basic Political Writings, diterjemah kan oleh D.A. Cress, Hacket Publishing Comp., 1987.

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.