Konvensi Partai Golkar Akal-akalan?

Gambar oleh ElisaRiva dari Pixabay

SETELAH BANYAK DIPUJI, Konvensi Partai Golkar kini menuai sejumlah kritik. Nurcholish Madjid mundur dari konvensi ini, sebagian kalangan intelektual dan beberapa politisi partai-partai baru menyambutnya dengan berkata, sejak awal konvensi itu hanya akal-akalan, sebuah proses yang penuh politik uang serta diatur sedemikian rupa sehingga yang akan keluar sebagai pemenang akhirnya adalah Akbar Tandjung, sang ketua umum yang sarat masalah itu. Saya menghormati hak Nurcholish Madjid untuk mundur. Tetapi, apakah aneka kecaman dari berbagai kalangan terhadap konvensi itu cukup adil dan akurat? Apakah para pengkritik mengerti apa yang sebenarnya mereka katakan?

Dalam hal Akbar Tandjung, misalnya, kita sepakat, kesertaannya dalam konvensi justru merugikan partainya sendiri. Namun, apakah ia otomatis akan keluar sebagai pemenang atau salah satu pemenang? Bahwa posisinya kuat, tentu (tiap incumbent memiliki keuntungan sendiri). Tetapi betulkah ia pasti menang?

Dalam tahap konvensi untuk memilih lima kandidat calon presiden yang prosesnya akan dimulai 1 September, unit pemilih yang paling menentukan ada di Daerah Tingkat II (kota dan kabupaten). Di sini, karena adanya aturan tentang voting block, bukan pengurus partai di kabupaten atau kota yang akan menjadi penentu, namun pengurus partai di tingkat kecamatan dan ormas-ormas yang terkait dengan Partai Golkar di Dati II.

Apakah Tandjung dapat mengontrol dan mengatur suara puluhan ribu kader dan aktivis Partai Golkar yang tersebar di tingkat kecamatan dan kabupaten, dari Sabang hingga Merauke? Siapa yang bisa menebak isi kepala puluhan ribu kader dan aktivis akar rumput ini?

Dalam proses penjaringan nama yang berakhir pekan lalu, di mana unit pemilihnya adalah pengurus partai di tingkat provinsi, Tandjung hanya menempati urutan ke-5, di bawah Aburizal Bakrie, Surya Paloh, Wiranto, dan Jusuf Kalla. Sebagai ketua umum, pengaruh Tandjung paling kuat terasa pada tingkat pengurus provinsi. Tetapi, pada tingkat ini pun ia ternyata tidak sekuat yang diduga banyak orang. Karena itu, bila kita bicara tentang suara di tingkat kabupaten dan kecamatan, sebenarnya kita sedang berhadapan dengan sebuah ketakpastian, sebuah wilayah yang belum pernah terjamah proses pemilihan langsung pimpinan politik sebagaimana terjadi dalam konvensi ini. Di terra incognita ini, segala hal mungkin terjadi, termasuk tersingkirnya Tandjung dari posisi lima besar.

Memang, ketidakpastian itu akan menciut drastis saat proses konvensi memasuki tahap terakhir, tahap pemilihan dari lima menjadi satu kandidat capres yang akan berlangsung 11-13 Februari 2004. Posisi Tandjung sebagai ketua umum lebih berpengaruh pada tahap ini. Namun, di sini pun pengaruh itu sebenarnya terbatas, baik karena aturan mengenai voting block maupun karena jumlah suara Dati II yang demikian mendominasi.

Pada tahap ini, seluruh pengurus DPP yang jumlahnya lebih seratus hanya mendapat hak suara 18, dan para pengurus DPD di 30 provinsi mendapat hak masing-masing tiga suara. Artinya, jumlah suara yang dimiliki pengurus di tingkat pusat dan Dati I adalah 108 suara (18+90), sementara jumlah kota dan kabupaten adalah 416 dan masing-masing akan mendapat satu suara. Belasan suara selebihnya akan dibagi oleh ormas partai yang ada di ibu kota.

Katakanlah dalam puncak konvensi nanti Kandidat A dan B adalah dua dari lima nama yang memperebutkan posisi capres Partai Golkar. Dalam penentuan di kalangan DPP, jika dari 103 pengurus ternyata 52 di antaranya mendukung Kandidat A dan 51 mendukung Kandidat B, maka capres resmi DPP adalah Kandidat A, dan otomatis skor suara yang diperolehnya adalah 18, dan Kandidat B tidak memperoleh apa-apa (inilah yang disebut sebagai voting block).

Dalam penentuan di kalangan masing-masing DPD I, Kandidat A ternyata masih unggul, meski tidak sepenuhnya, misalnya dengan menjadi pilihan dari 22 DPD I. Dalam hal ini Kandidat A mendapat tambahan 66 skor suara (22x3). Jadi, saat ini situasi amat tidak berimbang, Kandidat A mendapat skor 84, sementara Kandidat B hanya 24 (8x3).

Kemudian, dalam penentuan di kalangan pengurus DPD II ternyata Kandidat B yang lebih populer mendapat dukungan dari 250 DPD II, sementara Kandidat A hanya memperoleh 150 dukungan, dan sisanya dibagi ke tiga kandidat lainnya. Jadi, Kandidat A mendapat tambahan 150 skor suara sementara Kandidat B mendapat tambahan 250.

Meski tidak lagi mendapat tambahan suara dari belasan ormas yang ada di ibu kota, pemenang konvensi adalah Kandidat B dengan 274 suara. Kandidat A yang kuat di tingkat pusat dan provinsi harus gigit jari karena tidak mampu merebut lebih banyak dukungan di kalangan pengurus dan aktivis partai di tingkat kota dan kabupaten.

Jadi, bisa dikatakan, tahap puncak ini pun, dominasi kader-kader partai yang jauh dari pusat kekuasaan amat terasa.Secara keseluruhan, suara mereka mencapai hampir 80 persen dari total suara yang ada dalam konvensi. Hanya kandidat yang dapat merebut dukungan merekalah yang dapat muncul sebagai pemenang Konvensi Partai Golkar.

Untuk merebut dukungan itu, peran uang merupakan salah satu faktor penting. Seorang kandidat tidak mungkin terpilih jika ia hanya menelepon atau berkirim surat kepada para aktivis dan tokoh partai di daerah. Para kandidat harus berkeliling ke 30 provinsi dan setidaknya ke 70 persen dari 416 kabupaten dan kota yang ada di penjuru Tanah Air.

Semua itu tak mungkin dilakukan dalam waktu relatif singkat tanpa dana besar untuk membeli atau menyewa pesawat terbang, membayar hotel untuk rombongan dan tim sukses, menyediakan makan dan minum pada acara-acara pertemuan, membagi kaos dan bendera partai, menyewa bus, memberi kontribusi dana bagi kegiatan partai di daerah, bahkan memberi ongkos transportasi bagi aktivis partai di kecamatan untuk hadir dalam forum pertemuan di ibu kota kabupaten, dan sebagainya. Apa boleh buat, demokrasi memang mahal, apalagi dalam sebuah negeri besar seperti negeri kita.

Namun, dana besar saja tidak cukup. Sang kandidat harus mampu membujuk, bertukar-pikiran, dan mendengarkan aspirasi banyak kader dan pengurus partai di daerah. Ia harus terbang ke seluruh penjuru Tanah Air untuk bersalaman dan membangkitkan harapan kader-kader partai serta meyakinkan mereka bahwa ia adalah pemimpin yang mampu membawa Indonesia ke arah yang lebih baik.

Dalam proses itulah sebenarnya terletak nilai penting konvensi ini. Ia adalah sebuah eksperimen demokrasi di tingkat awal, sebuah prelude bagi pemilihan langsung presiden tahun depan yang baru pertama kali terjadi di republik ini. Partai-partai besar lain tidak melakukannya. Kita harus mengamati apa yang terjadi dalam konvensi ini, kelemahan maupun kelebihannya, guna mempelajari lebih saksama hal-hal yang masih bisa ditingkatkan agar pemilihan presiden tahun depan bisa lebih baik.

Tandjung, bahkan Nurcholish Madjid, hanya sebagian kecil dari proses besar yang sedang berlangsung. Demokrasi Indonesia akan terus terseok bila kita lebih merasa nyaman dan senang bertepuk dada dalam mengorek hal-hal kecil, dan pada saat sama melupakan potret besar yang jauh lebih penting.

Jadi, bukannya tergesa-gesa melontarkan kecaman dan menuduhnya sebagai akal-akalan. Kaum intelektual harus memberi apresiasi memadai dan mendorong agar konvensi berjalan lancar, dengan atau tanpa keterlibatan ketua umumnya yang kontroversial itu.

Dalam politik berlaku adagium, the road to heaven is not always paved with good intentions. Para politisi Partai Golkar yang merancang konvensi ini mungkin ada yang berniat jelek dan ingin mengalihkan perhatian publik dari kelemahan-kelemahan mereka. Tetapi proses konvensi ini, setelah berjalan, ternyata memiliki dinamika sendiri yang tak dapat dikontrol siapapun. Niat pembentukannya mungkin tak sesuai niat para malaikat, namun konvensi ini ternyata menjadi panggung demokrasi menarik.

5 Agustus 2003

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.