Manifesto Sang Pemberontak

Gambar oleh 20672 dari Pixabay

Revolusi selalu melahirkan para pemberontaknya sendiri. Dalam sejarah kita sering melihat bahwa para aktor utama gerakan politik besar menjelma menjadi para pengecam utama gerakan tersebut.

Gerakan komunis, pada awal abad ini, dicirikan oleh janji-janjinya yang mencakup banyak hal. Ia merupakan suatu gerakan yang mengumbar janji-janji yang begitu besar: suatu masyarakat tanpa kelas, suatu komunitas yang sejahtera tanpa penghisapan; atau seperti yang dikemukakan Marx, suatu masyarakat di mana orang-orang bekerja hanya 4 jam di pagi hari, pergi memancing di siang hari, dan menghabiskan senja hingga malam hari dengan membaca puisi. Namun, bersama berjalannya waktu, gerakan ini mulai memperlihatkan berbagai cacatnya: ketika kaum revolusioner menjadi para penguasa, janji-janji besar tersebut diubah menjadi suatu ideologi kaku yang digunakan terutama untuk memberi pembenaran bagi terpeliharanya kekuasaan tersebut. Demikianlah, para pemberontak muncul karena janji-janji palsu itu.

Milovan Djilas merupakan satu dari para pemberontak tersebut. Bersama Tito, Kardelj, dan Rankovich, ia memimpin gerakan komunis di Yugoslavia. Kemudian, ia menjadi Ketua Parlemen Yugoslavia. Namun pada awal 1950-an, dengan berani dan tegar, ia mulai menolak gerakan yang pernah ia pimpin. Buku The New Class ini adalah manifestonya; sebuah pernyataan tentang bagaimana sebenarnya komunisme dalam kenyataannya. Ia mengutuk komunisme dengan menggunakan bahasa dan metode analitisnya sendiri. Ia mengkritik komunisme berdasarkan kosakatanya sendiri.

Dalam buku ini Djilas mengemukakan bahwa revolusi komunis merupakan suatu penipuan sejarah: “Tak ada revolusi lain yang mengumbar begitu banyak janji namun hanya sedikit menepatinya.” Baginya, komunisme pada dasarnya merupakan “suatu bentuk perang sipil laten antara pemerintah dan rakyat”.

Di Prancis sebelum 1789, menurut Djilas, kapitalisme merupakan suatu bentuk hubungan sosial dan ekonomi yang dominan. Revolusi Prancis, yang dipimpin oleh kaum borjuis, dilancarkan untuk menyempurnakan dominasi ini. Karena itu, para penguasanya (yakni kaum borjuis) tidak harus membentuk suatu masyarakat yang sepenuhnya baru. Berbeda halnya dengan Revolusi Rusia 1917. Lenin ingin mengakhiri masyarakat feodal yang ada dan membentuk suatu masyarakat baru, yakni masyarakat tanpa kelas. Karena itu, setelah revolusi, kaum komunis mencoba untuk membentuk suatu sistem yang sepenuhnya baru yang berbeda dari sistem sebelumnya.

Namun dalam proses pembentukan masyarakat baru tersebut suatu kelas sosial baru muncul: “Revolusi itu, yang dilancarkan demi menghapuskan kelas, memunculkan satu kelas baru yang memiliki otoritas penuh. Segala sesuatu yang lain hanya kepura-puraan dan ilusi.” Kelas baru ini berakar dalam birokrasi, yang menguasai kekayaan negara dan memonopoli penggunaan kekuasaan. Dengan demikian, anggota utama kelas baru ini adalah kaum birokrat. Kaum birokrat ini tidak ada yang mengawasi, dan mereka sangat solid. “Tidak ada kelas lain dalam sejarah yang sedemikian solid dan kukuh dalam mempertahakan kepentingannya dan dalam mengontrol apa yang dimilikinya kepemilikan kolektif dan monopolistik, serta otoritas totaliter.”

Mereka juga “sama eksklusifnya seperti aristokrasi, namun tanpa martabat dan kebanggaan aristokrasi”. Pendek kata, menurut Djilas, mereka menikmati semua kemewahan aristokrasi (rumah mewah, mobil, tamasya, dll.) di atas penderitaan massa yang semakin besar. Kelas baru tersebut menghisap rakyat.

Menurut Djilas, munculnya kelas ini dipersiapkan oleh Lenin. Namun “pemula sebenarnya dari kelas tersebut adalah Stalin”. Dengan melakukan birokratisasi masyarakat, Stalin memperluas dan memperkuat basis kelas ini. Dan pada saat Khrushchev mulai berkuasa, kelas ini telah kehilangan semangat revolusionernya, yang diwarisi dari Lenin; satu-satunya hal yang ia inginkan adalah “hidup dengan damai” dan “membenarkan dirinya sendiri”.

Dengan kata lain, kita dapat mengatakan bahwa bagi Djilas, sistem Komunis tersebut mengingkari janji-janjinya sendiri dengan menciptakan kelas baru ini, yang tangannya bersimbah dosa.

Meskipun mengutuk komunisme dalam realisasi praktisnya, Djilas tidak mengambil kesimpulan bahwa Marxisme, atau lebih tepatnya sosialisme, harus ditinggalkan sebagai sebuah teori masyarakat dan sebagai sebuah panduan untuk mencapai suatu masyarakat yang ideal. Ia mengatakan bahwa tugas utamanya adalah mengkritik komunisme dalam praktik, dan bukan dalam teori. Ia sepertinya yakin bahwa jika kaum komunis menciptakan suatu sistem demokratis pada masa-masa awal setelah revolusi, janji-janji besar tersebut mungkin tidak sekadar ilusi. Djilas masih meyakini sosialisme sebagai suatu gagasan, dan berpikir bahwa dengan demokrasi hal itu akan memunculkan suatu masyarakat yang sejahtera. Ia menyebut dirinya sebagai seorang Sosial Demokrat.

Penting untuk diingat bahwa Djilas menulis buku ini bukan sebagai seorang akademisi, melainkan sebagai seorang aktivis yang menyaksikan bahwa gerakan yang pernah turut ia pimpin telah salah arah. Karena itu, buku ini harus dilihat terutama sebagai sebuah kesaksian, sebuah pernyataan kekecewaan, dan bukan sebagai sebuah wacana teoretis. Dengan demikian, menilai pentingnya buku ini berarti melihat keberanian, ketulusan, dan kejujuran sang penulis. Dengan kata lain, kita dapat mengatakan bahwa The New Class merupakan suatu pencapaian besar.

Namun, untuk mengulas buku ini secara memadai, dan untuk menghargai sang penulis secara lebih jujur, kita juga harus mengkritiknya. Di sini kita dapat mengatakan bahwa Djilas tidak dapat menjelaskan secara tepat mengapa revolusi komunis di Rusia tersebut melahirkan suatu kelas baru yang birokratis. Ia terjebak pada metode analitis Marxis. Ia gagal melihat bahwa Marxisme sebagai sebuah teori masyarakat dan perubahan sosial dengan semua tujuan mulianya mengandung bibit-bibit despotisme, dan pengejawantahannya niscaya akan menghasilkan suatu sistem yang birokratis.


Marx tidak pernah secara serius mempertimbangkan politik, hukum, dan moralitas. Baginya, semua itu hanya alat bagi para elite kekuasaan untuk memelihara kekuasaan mereka. Semua itu hanya merupakan suatu ekspresi hubungan sosio-ekonomi. Kebenaran tidak pernah hadir pada dirinya sendiri; ia harus dilihat dalam kaitannya dengan kekuasaan. Implikasi logis dari hal ini sederhana: begitu berkuasa, mereka yang di kuasai (yakni kaum proletar) juga tidak akan merasa bersalah untuk menggunakan hukum semata-mata demi memelihara kekuasaan. Kaum proletar hendaknya tidak terintangi oleh moralitas dan permainan politik yang jujur (yakni demokrasi) untuk menyempurnakan tujuan perkembangan sejarah (Lenin, dan terutama Stalin, memahami hal ini dengan baik: mereka membenarkan teror untuk mencapai tujuan-tujuan mereka). Dalam pengertian ini, kita dapat mengatakan bahwa Marxisme mungkin merupakan salah satu fondasi terbaik bagi suatu kekuasaan yang despotik.

Lebih jauh, bagi Marx, satu-satunya cara untuk mencapai suatu masyarakat yang lebih manusiawi adalah menghapus hak milik pribadi. Dengan demikian, ia gagal melihat dua faktor penting. Pertama, kepemilikan pribadi atas sarana produksi merupakan dasar masyarakat sipil. Menghapuskan hak milik pribadi berarti menghancurkan masyarakat sipil. Kedua, menghapuskan hak milik pribadi hanya berarti membirokratisasikan kepemilikan. Hal ini memberikan dasar bagi birokrasi untuk hadir di mana-mana, sebagai pemilik yang sebenarnya dan penguasa segala sesuatu.

Karena itu, tidak mengejutkan jika sebuah revolusi yang didasarkan pada pemikiran-pemikiran Marxis pada akhirnya menghasilkan suatu kelas (baru) yang digambarkan Djilas dalam buku ini: suatu kelas despotik yang kekuasaannya didasarkan pada birokrasi.

 

3 Februari 1993

 

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.