Max Weber dan Kapitalisme

Photo by Jon Tyson on Unsplash

ARGUMEN-ARGUMEN utama Weber tentang kapitalisme dapat dilihat sebagai suatu usaha untuk menyingkap asal-usul serta persoalan utama kapitalisme. Meskipun ia lebih banyak memfokuskan usahanya untuk menjelaskan asal-usul kapitalisme, argumen-argumennya tentang transformasi kapitalisme menjadi suatu sangkar besi tidak kurang pentingnya.

Menyangkut asal-usul kapitalisme, apa yang ingin dilakukan Weber adalah membalikkan argumen-argumen Karl Marx. Marx ingin menjelaskan perkembangan kapitalisme (dan sejarah) dari sudut pandang materialis. Bagi Marx, kapitalisme terutama adalah suatu sistem ekonomi, dan kelahirannya merupakan hasil dari transformasi dalam bentuk dan hubungan produksi. Meskipun paragraf terakhir dari buku Weber The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism merupakan suatu jenis apologi (ia tidak ingin dipahami sebagai orang yang sepenuhnya membalikkan posisi Marx), implikasi dari argumen-argumen Weber sepenuhnya membalikkan perspektif materialis Marx.

Etika Protestan-lah, yakni suatu “rasionalitas khusus” dari sekelompok orang di Eropa dan Amerika, yang melahirkan suatu sistem usaha bebas dalam bentuknya yang modern (kapitalisme). Untuk memahami hal ini, kita harus melihat bahwa bagi Weber kapitalisme lebih dari sekadar suatu sistem usaha bebas di mana semangat untuk memperoleh keuntungan merupakan kekuatan pendorongnya. Dalam peradaban-peradaban kuno pertukaran bebas barang dan jasa telah terjadi. Memang, dalam sebagian besar sejarah tertulis manusia, usaha untuk memperoleh keuntungan demi keuntungan itu sendiri dapat dilihat. Apa yang baru di Eropa setelah revolusi Protestan adalah suatu sistem usaha bebas yang dijalankan melalui mekanisme-mekanisme rasional (pembukuan dengan entri ganda, organisasi yang impersonal, dan sebagainya) dan melalui suatu bentuk tindakan manusia yang bersumber dari semangat ilahiah (asketisme). Kapitalisme menjadi suatu sistem, suatu bentuk modern dari interaksi ekonomi, hanya jika ia dijalankan dengan mekanismemekanisme rasional dan asketisme ini. Dan etika Protestanlah yang melahirkan mekanisme rasional dan asketisme tersebut.

Hinduisme, Buddhisme, Konfusianisme, Katolisisme, Islamisme: agama-agama ini telah ada ratusan atau ribuan tahun sebelum lahirnya Protestanisme. Namun, hanya yang terakhir ini yang mampu ‘menemukan’ cara baru dalam beribadah kepada Tuhannya. Tidak seperti para penganut agama lain yang menganggap bahwa mencari keuntungan merupakan sesuatu yang “rendah”, tak terhormat, dan tak layak dilakukan oleh orang-orang yang bermartabat, umat Protestan percaya bahwa mencapai keberhasilan dalam urusan-urusan duniawi (yakni menjalankan usaha ekonomi) merupakan cermin dari terwujudnya kehendak Tuhan. Dengan demikian, menabung, bekerja keras, hemat, dan menahan diri untuk tidak hanyut dalam sungai kesenangan dianggap sebagai bentuk-bentuk ibadah keagamaan.

“Sekularisasi” semangat ilahiah ini, bagi Weber, mempunyai dampak yang revolusioner. Ia membalikkan tradisi keyakinan manusia yang telah berusia ribuan tahun bahwa perdagangan, usaha ekonomi tidak layak ditekuni secara serius. Ia memberi suatu pembenaran ilahiah bagi urusan-urusan duniawi, yakni mencari uang dan bekerja keras untuk mendapatkan uang. Dengan demikian, ia membangkitkan energi umat Protestan untuk membuat mekanisme-mekanisme rasional untuk mencapai tujuan-tujuan usaha ekonomi yang dibenarkan tersebut. Melalui usaha untuk mencapai tujuan-tujuan ekonomi inilah kapitalisme sebagai suatu sistem produksi baru muncul.

Dalam rumusannya yang paling sederhana, inilah inti dari gagasan Weber. Dengan memahami kapitalisme dalam cara ini, Weber mampu menjelaskan mengapa, misalnya, Cina gagal berpindah dari sistem ekonomi feodal ke sistem ekonomi modern (kapitalisme), meski ia mempunyai tradisi perdagangan (antarbenua) yang begitu panjang (yakni, perdagangan sutra). Gagasan ini, secara sederhana dan jelas, juga memberi Weber perspektif baru tentang pentingnya agama, etika, serta suatu bentuk rasionalitas dalam proses perubahan ekonomi dan dalam pembentukan dunia modern.

Dengan memahami asal-usul kapitalisme dengan cara itu, Weber dapat dengan mudah menelusuri apa yang dianggap persoalan utama kapitalisme. Kapitalisme, setelah kemunculannya, tumbuh seperti suatu mesin otomatis. Ia menjadi impersonal, dan mampu berjalan sendiri—ia tidak lagi membutuhkan “ibu”-nya (yakni semangat keagamaan). Bagi Weber, permasalahannya adalah bahwa tanpa ibunya, kapitalisme sematamata menjadi suatu sistem ekonomi, dan tidak lagi mempunyai dasar etis atau spiritual atau moral.

Ketika pemisahan kapitalisme dan “rasionalitas khusus” itu terjadi, maka kapitalisme menjadi suatu sangkar besi. Tidak seperti umat Protestan awal yang bekerja keras demi untuk memenuhi kehendak Tuhan, orang-orang dalam tahap kapitalisme selanjutnya harus bekerja keras hanya demi hidup, demi menjalankan produksi ekonomi. Orang-orang tidak lagi menjadi religius—mereka menjadi utilitarian dan teknis. “Kalangan Puritan mau bekerja karena panggilan; kita terpaksa melakukan hal itu.” Dalam keadaan seperti ini, hidup dalam kapitalisme menjadi tidak lagi memiliki makna. Sistem itu menjadi berjalan sendiri, dengan suatu “kekuatan yang tak dapat ditahan”.

Tidak seperti Marx, yang menganggap persoalan utama kapitalisme adalah adanya penindasan oleh satu kelas atas kelas yang lainnya, Weber melihat persoalan kapitalisme terutama adalah persoalan moral. Kapitalisme mempunyai asal-usulnya dalam wilayah moral; demikian juga persoalan utamanya. Tentu saja, dengan melihat pengetahuan yang sekarang kita miliki tentang kapitalisme modern, mudah untuk menunjukkan bahwa gagasan Weber tersebut tidak lagi meyakinkan. Kita dapat memperlihatkan bahwa pertumbuhan kapitalisme yang tercepat dalam sejarah sekarang ini terjadi justru di “negeri-negeri Konfusian” (yang oleh Weber dianggap mustahil). Kita juga dapat menunjukkan bahwa perkembangan kapitalisme di negerinegeri ini kurang ada kaitannya dengan suatu bentuk etika keagamaan (Konfusianisme), dan lebih berkaitan dengan strategi pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah mereka, atau dengan kreativitas kelas pebisnis mereka, atau dengan berbagai kesempatan yang dihamparkan oleh struktur geopolitik pasca-Perang Dunia II. Dan ketika kita telah menyangkal gagasan Weber tentang asal-usul kapitalisme, menjadi lebih mudah untuk mengkritik penjelasannya tentang persoalan utama kapitalisme.

Namun pembahasan ini akan membawa kita terlalu jauh masuk ke dalam suatu persoalan yang menarik, yang memerlukan usaha yang lebih banyak ketimbang yang tersaji dalam esai ini. Di sini cukup dikatakan bahwa usaha Weber untuk menjelaskan kapitalisme tetap merupakan suatu karya klasik, suatu karya besar yang membantu kita lebih memahami kekuatan ekonomi yang dampaknya dalam kehidupan manusia tidak tertandingi oleh kekuatan lain apapun yang kita ketahui.

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.