Memahami John Nash melalui ‘A Beautiful Mind’

Oleh: Hendra Sunandar

Jakarta – Klub Sains Freedom Institute kembali menyelenggarakan nonton bareng dan diskusi publik, kali ini terkait dengan film ‘A Beautiful Mind’ yang mengisahkan seorang matematikawan bernama John Nash yang pernah meraih nobel bidang ekonomi di tahun 1994. Yang menarik, Nash adalah seorang yang mengidap Skizofrenia yang sudah dideritanya sejak berada di Princeton. Meskipun begitu, ia adalah sosok yang penting di bidang matematika, namun seringkali namanya tidak mengudara dalam lembaran sejarah. Oleh karenanya Freedom Institute berupaya mengangkat tokoh ini sebagai bagian dari rangkaian diskusi Ramadhan yang berlangsung di Ballroom Wisma Proklamasi. Kegiatan berlangsung pada tanggal 25 Juni 2015, hadir pula Philips Jusario Vermonte dan Ryu Hasan sebagai narasumber serta Nirwan A. Arsuka sebagai moderator.  

Philips, sebagai pembicara pertama memberikan apresiasi penuh kepada John Nash dalam pemikiran strategis politik luar negeri, meskipun dirinya merupakan seorang matematikawan. Dirinya menyadari bahwa kultur Amerika Serikat memungkinkan sumbangsih pemikiran bisa datang darimana saja, tak kecuali dari seorang matematikawan yang memberikan pemikiran strategis politik luar negeri. Pemikiran strategis tersebut lebih dikenal dengan game theory, sebagaimana yang banyak dibicarakan oleh Nash. Menurut Philips, ketika John Nash bicara self-interest, ia lebih memandang dari sisi pesimistis, yang pada dasarnya manusia tidak mau bekerja sama. Kalau di dunia ekonom seperti layaknya Milton Friedman, sedangkan analogi Nash lebih berdasarkan aspek  matematis, seperti yang dia asumsikan sebagai human nature manusia adalah sesuatu hal yang tidak seindah dibayangkan, karena manusia pada dasarnya akan selalu berkompetisi serta egoistik.

Salah satu tawaran dari John Nash adalah penilaiannya terhadap manusia yang dipandang sebagai makhluk yang rasional dan bisa menyatakan preferensi. Orang yang rasional memiliki kemampuan untuk meranking preferensinya dan bertindak berdasarkan kalkukasi serta bisa menghitung cost and benefit. Dengan seperti ini berarti semua orang adalah rasional kecuali anak kecil dan Skrizofrenia. Menurut Philips, pengidap Skrizofrenia adalah tidak rasional karena tidak bisa meranking preferensinya. Meskipun begitu, “Menariknya adalah game theory justru lahir orang yang mengidap Skrizofrenia”, ujar Philips.

Ryu sebagai pembicara kedua lebih menjelaskan tentang latar belakang sejarah John Nash serta dari aspek neurosains. Menurut Ryu, John Nash adalah salah satu tokoh penting selain Alan Turing yang menghilang dari sejarah, hal itu disebabkan karena Nash memiliki penyakit Skizofrenia. Menurut Ryu, Skizofrenia merupakan terbelahnya fungsi kejiwaan, hal itu pun bisa dipandang sebagai sesuatu yang positif dan juga negatif. Sayangnya publik tidak bisa fair dalam menilai kontribusi seseorang. Karena seringkali publik hanya melihat dari sisi yang tidak tepat seperti faktor homoseksual atau hal lain yang dianggap sebagai penyakit dalam masyarakat awam. Padahal orang tersebut memiliki kontribusi penting dalam kehidupan modern saat ini. “Jika John Nash tidak berhalusinasi, maka tidak mungkin dia menemukan game theory”, ujar Ryu.

Film ini adalah hasil saduran dari buku biografi karya Sylvia Nassar, untuk mengenang John Nash. Diakhir cerita, Nash berhasil menerima Nobel di Swedia pada tahun 1994 berkat kontribusinya tentang teori ekuilibriumnya yang memiliki posisi penting dalam kajian-kajian ekonomi. Film ini sekaligus mengajak kita untuk bersikap adil bagi siapapun yang memiliki kontribusi dalam kehidupan modern, meskipun seringkali orang-orang tersebut dianggap tabu karena bersebrangan dengan budaya masyarakat setempat. Diskusi berlangsung secara interaktif serta mampu menarik antusiasme peserta diskusi untuk memberikan pertanyaan-pertanyaan kepada kedua narasumber.

 

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.