Membaca Cerita-Cerita Idrus

Oleh Linda Christanty

Saya membaca karya Idrus pertama kali ketika di sekolah menengah pertama. Meskipun saya sudah lupa detailnya, tapi ada hal yang saya ingat jelas. Cerita-cerita Idrus tidak penuh kesedihan dan kisah cinta di situ tidak berakhir  tragis semata-mata untuk cinta, melainkan untuk revolusi dan alasan lain yang lebih rumit. Hal tersebut membedakan cerita-ceritanya dengan karya-karya para penulis terdahulu. Tentu saja, usia remaja membuat saya lebih menyukai kisah cinta yang tragis itu, selain cerita detektif atau petualangan, sehingga Idrus jadi tidak populer untuk selera saya. 

Membaca karya Idrus sekarang ini, seiring bertambahnya pengetahuan dan wawasan, membuat saya juga menemukan hal-hal menarik dan sisi mengagumkan dari cerita-ceritanya yang tidak terpikirkan oleh saya dulu.

Bahasanya jernih, lincah dan modern, dalam pengertian tidak terasa berjarak dengan pembaca hari ini.  Perumpamaan-perumpamaan yang digunakannya, baik kalimat maupun peristiwa, seringkali lucu, kritis dan mengandung ironi.  Tragedi diungkapkannya dalam humor hitam.  Dalam “Sanyo”, ia berkisah tentang  penjual kacang goreng bernama Kadir yang ditangkap kenpetai gara-gara menyangka arti ‘sanyo’ itu adalah ‘tukang catut’, padahal seorang sanyo adalah penasihat di berbagai departemen di masa Jepang.  Kesalahpahaman dalam komunikasi akibat terbatasnya pengetahuan tentang bahasa penjajah di masa Jepang ini mengingatkan saya pada cerita-cerita masyarakat yang beredar di Aceh di masa konflik politik antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka dulu. Ada tentara Indonesia bertanya: Apakah ada sirih (dalam bahasa Aceh, sirih disebut ranoeb)? Seorang ibu di Aceh menjawab: Dia baru saja pergi (karena Si Rih adalah nama panggilan untuk anaknya, Idrus). Ada juga cerita lain yang masih seputar tentara dan penduduk kampung. Si tentara bertanya: Berapa banyak orang yang akan jaga malam hari ini? Penduduk menjawab: Tidak kubilang (bileung = hitung). Tentara marah, lalu  memukul dan menahan orang itu.

Berbeda dengan penulis-penulis sebelumnya yang gemar menggunakan perumpamaan yang indah-indah, Idrus lebih suka melakukan yang sebaliknya. Dalam “Fujinkai” misalnya ia menggambarkan sosok Ny Sastra yang pro Jepang itu memiliki mulut seperti ‘muncung tupai’, lubang hidungnya ‘seperti jala dalam air’, bulu-bulu hidungnya ‘seperti ikan cumi-cumi’. Seorang perempuan desa disebutnya mempunyai dada ‘seperti air Danau Toba, tidak berombak’. Idrus menggambarkan rambut Bung Tomo, pemimpin dan pejuang melawan Sekutu di Surabaya, sebagai  panjang  ‘seperti rambut perempuan dan dari rambut itu keluar bau bantal yang tiada pernah dijemur’.

Nada sentimentil muncul sekali dalam “Ave Maria”, tentang pengarang frustrasi bernama Zulbahrilah. Ia menikah dengan perempuan yang mencintai adiknya sendiri. Kelak Zulbahrilah jadi terganggu jiwanya. Tapi akhirnya ia memutuskan masuk barisan jibaku. Yang menarik dari cerita ini, Idrus menggunakan sudut pandang yang berganti-ganti. Si “aku” terdiri dari narator, yang keluarganya didatangi Zulbahrilah untuk meminjam majalah, dan Zulbahrilah sendiri, yang menceritakan nasibnya secara kronologis.

Idrus jyga menggunakan gaya bahasa hiperbola untuk mencapai efek dramatik dari keadaan yang begitu buruk dan menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan serta martabat manusia di masa pendudukan Jepang di “Jawa Baru”. Ia mengisahkan gadis-gadis melamar jadi pelacur untuk membeli beras untuk sanak-saudaranya, lalu mati, kemudian anak muda yang lapar melakukan onani untuk menghilangkan lapar, lalu mati, sedang suratkabar atau jurnalis hanya menulis tentang kemakmuran. Kesengsaraan itu dituturkan si narator, terjadi di berbagai kota. Beras dibawa ke Nippon, sedang rakyat memerlukan karung beras untuk menutup aurat. Kontras-kontras juga diciptakan.

Sifat kritis dalam cerita-cerita Idrus merupakan ciri khasnya. Ia menggunakan sosok-sosok dalam cerita untuk mengkritik situasi yang mereka hadapi. Dalam “Jawa Baru”, seseorang berkata, “Orang Nippon itu sama saja dengan Belanda, menghapus harta benda kita. Yang lebih lagi dari orang Belanda, mereka memeras kita dengan muka manis.” Tapi pendapat narator  juga muncul dalam narasi seperti pertanyaan, “Jawa terkenal dengan beras, mengapa kita kekurangan?” Tak jarang pendapat narator yang mewakili penulis ini muncul dominan dan kadang-kadang, membuat cerita terasa seperti sebuah esai atau kilasan  opini di suratkabar.

Cerita-ceritanya kaya dengan detail, yang mengandung humor, dan membuat pembaca merasa bahwa detail yang seperti ini lahir dari peristiwa yang sungguh-sungguh terjadi. Seekor kodok melompat di kaki orang dalam keriuhan pasar malam dikisahkannya di “Pasar Malam Zaman Jepang”. Ia mengkontraskan pasar malam sebagai sesuatu yang ramai dan gembira dengan penampilan masyarakat negeri jajahan yang berpakaian tipis-tipis, lalu seperti kamera dalam film si narator fokus pada sosok lelaki bernama Amin yang begitu miskin tapi menghabiskan sisa uang dan menggadaikan pakaiannya untuk bermain rolet. Dengan latar waktu yang berbeda, cerita ini mengingatkan kita pada kebiasaan orang-orang miskin yang makin miskin lagi karena gemar berjudi, kenyataan di Indonesia hari ini.

Dalam cerita-ceritanya, Idrus sering menggunakan istilah ‘orang Indonesia’ untuk membedakan dengan ‘Tionghoa’, ‘Arab’, ‘Belanda-Indo’ dan ‘Nippon’. Istilah ini memberi pengetahuan pada kita bahwa ada entitas baru yang lahir dari sebuah negeri yang dijajah dan sekaligus identitas yang mengikat yang terjajah ini dalam kumpulan yang menyatukan semangat serta cara pandang mereka melihat diri sendiri dan menolak atau memilah yang lain, yang bukan bagian dari mereka.  Istilah ini juga sangat menarik, karena akhirnya ‘Jawa’, ‘Aceh’ (dalam ceritanya Idrus juga menyinggung soal Aceh) dan ‘Papua’ (di “Jalan Lain ke Roma”)  sebagai bangsa tersubsitusi ke dalam wujud imajiner yang lebih besar dan luas yaitu ‘Indonesia’.  Di “Kota-Harmoni”, ada kalimat: “Seorang orang Indonesia, pakai destar Jawa dan sepatu Inggris melihat marah ke arlojinya...” Kalau menilik pada kurun waktu, istilah ‘orang Indonesia’  yang digunakan Idrus menjadi penanda tentang suatu masa saat nasionalisme sebagai ‘ideologi’ pembebasan sebuah negeri tengah bangkit dan bersambut di awal abad ke-20, mulai dari Afrika sampai Asia, meskipun kelak memendam masalah baru untuk penafsirannya yang baru di kemudian hari ketika orang kembali mengelompokkan diri mereka ke dalam kumpulan-kumpulan yang lebih kecil yang disebut “etnis” atau “etnis minoritas” di awal abad ke-21, yang tentunya tidak lepas dari pola kepentingan politik dan ekonomi dunia.

Dua cerita Idrus. “Kota-Harmoni” dan “Oh Oh Oh” menggambarkan suasana dan hubungan antar-manusia dari berbagai latar belakang di kereta api.  Kereta api adalah  dunia mini masyarakat jajahan di masa pendudukan Jepang, sebuah analogi. Watak-watak manusia tidak hitam-putih, melainkan abu-abu atau penuh gradasi.  Inilah hal menarik dalam cerita-cerita Idrus, yang membedakannya dengan cerita-cerita para pendahulunya. Nippon misalnya, dibedakannya sebagai Nippon preman dan kenpetai, yang satu seenak perut dan yang satu memarahi Nippon preman yang naik kereta lewat jendela dan hampir bentrok dengan “orang Indonesia”.  Penggambaran watak manusia yang dinamis ini juga tampak dalam cerita “Surabaya”,  ketika sosok wakil gubernur Jawa Timur yang dinyatakan bersifat “tidak baik dan juga tidak buruk” berpidato tentang  kenyataan bahwa pemuda-pemuda waktu itu adalah  “tawanan Sekutu”.   Selanjutnya, cerita-cerita Idrus juga kental dengan sikap anti-hero. Para pejuang tidak selalu penyelamat tanpa cela. Di lain pihak, ia mengungkapkan kejahatan Jepang dan Sekutu.

Revolusi dalam cerita-cerita Idrus tidak mengeksploitasi sisi romantis yang dalam kenyataan memang tidak banyak, melainkan justru memperlihatkan keadaan yang tidak benar-benar final atau belum sebuah jalan keluar yang langsung membawa pada kebebasan.  Revolusi yang penuh euforia itu bersambung dengan situasi chaos atau biasa kita sebut ‘masa transisi’.  Idrus menyuguhkan perubahan sosial dan politik pasca pendudukan Jepang dalam “Surabaya”, yang begitu mengesankan dan tajam: “Pemuda-pemuda Indonesia tidak berkeliaran lagi di jalan seperti zaman koboi. Mereka sekarang ini tinggal rapi-rapi dalam rumah panjang-panjang. Pagi-pagi benar mereka sudah bangun, mereka buru-buru naik ke truk-truk Inggris dan dibawa ke mana-mana untuk melakukan suatu pekerjaan yang maha penting untuk pembangunan: menyapu jalan, mengangkut runtuhan-runtuhan gedung-gedung serta mengangkat barang-barang di pelabuhan”. Narator juga mengurai tentang Sekutu yang datang: “Sekutu memang bukan musuh, tetapi mereka membunuh dan menculik di Jakarta.” Seorang laki-laki digambarkan kehilangan jari-jari tangannya, karena dipotong Sekutu.

Pandangan politik Idrus tampak jelas ketika mengkritik ‘imperialisme’, ‘fascistis’ dan ‘militeristis’ di “Surabaya”. Salah seorang  tokoh berkata: “Tentara sebenarnya harus tunduk kepada pegawai-pegawai pemerintahan sipil.

Sikap kritis terhadap praktik beragama dan pandangan umum terlihat dalam cerpen “Open”.

“... Umum mengatakan bahwa mualim tidak boleh pakai pantalon, tetapi dalam Alquran atau kitab-kitab apa pun juga tidak ada satu baris pun yang melarang hal ini...” 

Perdebatan soal ini terus terjadi sampai sekarang, ketika orang kembali disibukkan dengan penerapan syariat Islam dan mengurus busana perempuan. 

Naskah drama “Kejahatan Membalas Dendam” menurut saya, karya yang mengandung pesan moral yang eksplisit, berbeda dengan cerita-cerita yang ditulisnya.  Seperti halnya “Jalan Lain ke Roma”, naskah drama ini menunjukkan sikapnya yang anti atau menolak tahayul.  Rasional, modern dan sikap kritis mewarnai karya-karya Idrus.

Tapi mungkin ada istilah yang tidak disukai para feminis hari ini ketika mereka membaca karya Idrus. Berkali-kali kita menemukan frasa “perempuan jahat” di cerita-ceritanya, yang ditujukan untuk pekerja seks komersial atau PSK. Di “Surabaya” bahkan ada kalimat-kalimat yang sepintas lalu terasa bias gender, yang diucapkan tokoh Bung Tomo: “Menakutkan mata-mata musuh perempuan. Kalau perempuan berjiwa penjahat, biasanya lebih kejam dan licik daripada laki-laki”. Namun, bagi orang yang bekerja dan dilatih menghadapi kejahatan terorisme di pasukan khusus, ada satu pelajaran umum bahwa untuk melumpuhkan teroris bersenjata harus menembak teroris perempuannya lebih dulu karena mereka lebih kejam.

Cerita-cerita Idrus yang hampir berusia 75 tahun usianya ini tetap terasa relevan dengan Indonesia dan dunia hari ini: kehidupan rakyat biasa, orang-orang yang mengatasnamakan rakyat (baik pemerintah maupun pejuang kemanusiaan) dan hubungan dengan negara-negara besar dunia (yang di masa sekarang mungkin tidak selalu berwujud pengiriman pasukan bersenjata, melainkan melalui lembaga-lembaga bantuan yang secara kritis disebut ‘politik bantuan’ atau lembaga-lembaga think tank).  

*makalah Linda Christanty diacara Diskusi Sastra "Membaca Kembali Idrus"

   

 

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.