Menuju Pelembagaan Reformasi

Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay

SAAT INI proses reformasi memasuki periode kritis. Apa yang mungkin terjadi di depan pada dasarnya bisa disederhanakan ke dalam dua alternatif, yaitu consolidated anarchy dan consolidated democracy. Alternatif pertama terjadi jika periode kritis yang terjadi sekarang tidak berhasil kita lewati: transisi politik mengalami perumitan ke dalam, involusi, tanpa perkembangan kelembagaan yang lebih baik. Dalam situasi ini, aksi-aksi reformasi hanya berlangsung secara ad hoc, tanpa pola yang jelas dan tanpa penciptaan dasar kelembagaan baru.

Bahkan lebih buruk lagi, aksi-aksi demikian terjadi bersamaan dengan aksi atau inisiatif politik lainnya yang berlawanan dengan logika reformasi itu sendiri. Karena itu dalam situasi consolidated anarchy, situasi politik yang tercipta akan ditandai oleh derajat ketidakpastian yang tinggi, sinisme, aksi-aksi anarkis dari massa kelas bawah serta kecurigaan etno-religius yang berlarut-larut. Bukan tidak mungkin, dalam beberapa tahun, kondisi seperti ini akan membawa kita kembali ke periode otoritarian dengan cirinya yang militeristik dan sultanistik.

Sebaliknya, jika periode kritis ini bisa kita lewati dengan relatif mulus maka kita akan menuju pada alternatif kedua.

Dalam hal ini proses transisi yang sekarang terjadi akan berujung pada penciptaan sebuah sistem yang lazim disebut sebagai consolidated democracy.

Dalam sistem itu konfik­konfik mendasar yang kita saksikan sekarang memang tidak akan selesai, tetapi setidaknya konfik­konfik tersebut terlembagakan, dan dengan demikian setiap aktor yang terlibat di dalamnya bisa mematuhi aturan main politik yang sama yang mereka pandang sebagai aturan yang absah. Masyarakat pun akan kembali ke kehidupan yang “normal”; normal dalam pengertian bahwa pertarungan di ruang publik hanya dimainkan oleh para politisi, aktivis, dan tokoh-tokoh publik, sementara warganegara umumnya mengisi ruang privat dalam kegiatan keseharian yang tenang. Tentu saja kita semua berharap bahwa alternatif kedua itulah yang akan kita lalui. Kita akan menjadi salah satu model demokrasi yang menarik buat negeri sedang berkembang lainnya. Negeri kita akan menjadi contoh yang baik untuk mencari pe­nyelesaian damai dari konfik besar yang sedang terjadi da­lam era pasca­Perang Dingin ini, yaitu konfik etnik dan aga­ma.

Persoalannya kemudian adalah bagaimana kita mencapai alternatif kedua tersebut? Bisakah kita mencapainya secara damai dan tertib? Adakah semacam “kehendak sejarah” bagi kita untuk berhasil menjadi negeri demokratis?

Terus-terang, tidak ada jawaban yang pasti terhadap pertanyaan-pertanyaan itu—kemampuan ilmu pengetahuan sosial sangat terbatas; lagi pula, seperti kata Max Weber, hanya para demagog yang suka dan bisa melakukan prediksi bagi masa depan, bukan ilmuwan sosial. Dalam tulisan ini saya hanya bisa mengemukakan beberapa prasyarat agar alternatif kedua itu bisa dicapai.

Apakah prasyarat-prasyarat itu? Dalam pikiran saya ada dua prasyarat yang saling berkaitan, yaitu keinginan dan kemampuan bernegosiasi serta pemilihan prioritas politik yang jelas dan realistis. Kenapa kedua hal itu penting? Untuk menjawab hal ini kita harus melihat dulu sifat transisi politik yang terjadi sejak runtuhnya rezim Orde Baru.

Kalau mau disederhanakan, transisi politik yang terjadi sejak tiga bulan terakhir diwarnai oleh perimbangan kekuatan secara negatif di antara berbagai kelompok dan kekuatan politik, di kalangan reformis maupun di kalangan kaum yang berkuasa sekarang.

Maksud saya adalah tidak satu pun kelompok, sejak saat menjelang turunnya Soeharto hingga saat ini, yang betul-betul memiliki suffcient power untuk menang secara mutlak. Kaum reformis dan kelas menengah memiliki kekuatan moral dan kebenaran argumen. Tapi mereka terpecah, tanpa organisasi, dan dengan jumlah yang relatif kecil; jika kaum reformis tidak memiliki kelemahan semacam ini, maka jelas situasi kita akan sangat berbeda dari saat ini. Demikian pula dengan kaum yang selama ini menjadi bagian dari the ancient regime: mereka memiliki dukungan organisasi dan uang, tapi mereka pun terpecah dan, yang terpenting, sebagian dari mereka mengalami proses delegitimasi dan demoralisasi yang dahsyat.

Karena ketiadaan suffcient power untuk menang secara mutlak itulah maka semua pihak, baik kaum reformis maupun dari para penjaga status quo, hanya menang sebagian (atau kalah sebagian, tergantung darimana kita memandangnya). Sebagian tuntutan kaum reformis dipenuhi (Soeharto turun), tapi sebagian lagi terlupakan; sebagian keinginan pemerintah terpenuhi, tapi sebagian lagi dihujat habis-habisan.

Karena perimbangan kekuatan semacam itulah maka transisi politik kita bisa disebut sebagai reforma pactada, reformasi yang harus dinegosiasikan, seperti yang terjadi di Spanyol pada pertengahan 1970-an misalnya. Dalam transisi semacam ini, karena masing-masing hanya memiliki “sebagian” dari kekuatan yang dibutuhkan untuk memenangkan pertarungan politik, maka setiap pihak yang bermain dalam arena politik, baik kaum reformis yang terdiri atas berbagai macam kelompok itu maupun kaum yang memegang kekuasaan, harus sanggup melakukan tawar-menawar untuk mencapai tahap reformasi yang lebih lanjut, yaitu tahap pelembagaan.

Karena itulah, sebagaimana yang saya katakan di atas, keinginan dan kemampuan bernegosiasi saat ini merupakan syarat mutlak untuk mendorong proses transisi politik kita setahap lebih maju.

Kita harus mengerti bahwa consolidated democracy adalah sebuah tujuan politik. Dalam reforma pactada, tujuan politik hanya dapat dicapai melalui negosiasi. Hal ini kelihatannya sederhana tapi buat saya, dalam konteks transisi kita sejak Soeharto turun, justru pada aspek inilah kita bisa melihat satu hal yang sangat mengkhawatirkan. Kita sudah terlalu lama tidak terlatih untuk berkompromi, mencari titik temu, bukan perbedaan kepentingan.

Semua pihak, termasuk kaum reformis sendiri, seringkali menuntut suatu hal yang menyempitkan ruang-ruang untuk melakukan kompromi. Dari pihak pemerintah, selain melakukan beberapa langkah yang menarik, desakralisasi kekuasaan dan simbol kepresidenan misalnya, juga terlalu banyak memperlihatkan ketidakpekaan pada semangat zaman yang baru sehingga terkesan mereka lebih menjadi bagian dari masa lalu, dan karena itu menyulitkan langkah-langkah mereka sendiri dalam membuka ruang dialog dengan berbagai kekuatan pembaruan.

Selain itu, negosiasi hanya mungkin terbuka jika ada semacam rasa percaya (trust) di antara pihak-pihak yang berperan di arena publik. Sayangnya, yang justru meluas sekarang adalah chronic distrust, sebuah rasa tidak percaya pada siapa saja, termasuk di antara kaum reformis itu sendiri.

Prasyarat yang berikutnya adalah kemampuan untuk menciptakan prioritas reformasi atau agenda politik yang sederhanadan realistis. Dalam hal ini kaum reformis “di luar sistem” maupun simpatisan ide-ide reformasi “di dalam sistem” harus mampu melihat dengan jelas bahwa prioritas terpenting dalam tahap transisi saat ini adalah penciptaan pemilu yang bersih, jujur, dan adil sehingga lembaga legislatif yang akan menjadi produknya dianggap sebagai lembaga yang absah. Hanya lembaga inilah yang dapat mengupayakan terjadinya pelembagaan reformasi sebagaimana yang saya singgung di atas tadi. pemilu yang bersih, dengan kata lain, adalah jembatan untuk mencapai tahap reformasi lebih lanjut.

Seperti juga pada aspek negosiasi tadi, soal pemilihan prioritas ini kelihatannya sederhana dan sepele. Tapi kalau kita membaca koran dan mengikuti berita serta ulasan televisi saat ini, saya kira kita justru akan melihat bahwa di semua kalangan sense of priority ini belum tampak—sebelum 21 Mei 1998, prioritas kaum reformis jelas, yaitu tumbangnya Soeharto; sekarang, adakah yang bisa memberi penjelasan sederhana tentang hal apa yang terpenting yang harus dilakukan? Kita baca, dengar dan lihat terlalu banyak hal yang ingin diperjuangkan atau dilakukan secara serempak. Kita kebanjiran agenda reformasi. Akibatnya: proses reformasi kehilangan fokus yang jelas.

Dengan memilih pemilu yang bersih sebagai prioritas dalam agenda reformasi, kita mungkin terpaksa harus melupakan untuk sementara beberapa hal yang mungkin menarik tapi tidak mendesak jika dilihat dari perspektif yang lebih luas (misalnya, tuntutan perombakan kabinet). Dalam hal ini kita memang harus memilih. Kita hendaknya tidak melupakan bahwa politik pada dasarnya adalah sebuah seni untuk menentukaan pilihan dalam situasi yang terbatas. Kalau kita ingin mengerjakan semua hal sekaligus dalam waktu singkat, saya khawatir realitas politik akan menghukum kita melalui krisis dan ketidakpastian yang berlanjut terus-menerus.

9 September 1998

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.