Menyikapi Fitna dengan Akal Sehat

Gambar oleh Tumisu dari Pixabay

Politikus Belanda, Geert Wilders, pasti tertawa riang menyaksikan kaum muslim kebakaran jenggot dalam merespons potongan film 17 menit karyanya. Setiap kali ada reaksi keras dari kaum muslim atas film itu, Wilders sumringah, dan setiap kali ada perusakan dan pembakaran terhadap kedutaan ataupun perwakilan Belanda di negara muslim, dia tertawa lebar. "Misiku berhasil," itu pasti gumamnya.

Fitna memang bukanlah sebuah film untuk tujuan artistik, bukan pula untuk tujuan komersial. Sebagai seorang politikus dengan reputasi Islamofobis, Wilders memang memaksudkan filmnya itu sebagai provokasi. Dia ingin membuktikan prasangkanya selama ini: bahwa kaum muslim adalah pengikut agama yang garang, yang mudah marah, yang reaksioner, yang mengedepankan kekerasan sebagai jawaban. Dengan melihat serentet aksi kekerasan sebagai reaksi terhadap filmnya, dia tersenyum puas.

Memang serba salah menyikapi orang-orang seperti Wilders, yang punya prasangka-prasangka liar terhadap Islam. Sebetulnya orang seperti ini tidak banyak jumlahnya di Eropa, sama seperti jumlah kaum muslim ekstremis--musuh sesungguhnya yang dibidik Wilders--di dunia Islam. Karakter keduanya pun identik: mereka sama-sama gelisah, pencari perhatian, dan reaksioner.

Tak ada cara yang lebih elegan dalam menghadapi kasus ini kecuali mendinginkan kepala, menenteramkan hati, dan menjernihkan pikiran. Reaksi berlebihan terhadap Fitna hanyalah pembenaran terhadap tuduhan yang dilontarkan Wilders dan kaum Islamofobis lainnya. Semakin keras kaum muslim bereaksi, semakin lebar mereka tertawa.

Sebagian besar orang-orang Eropa tidak menyukai provokasi Wilders. Persatuan Gereja Belanda marah besar karena provokasi itu, tapi mereka segera mendinginkan kepala, menenteramkan hati, dan menjernihkan pikiran. Lalu, keluarlah surat bersama sebagai protes terhadap film tak bermutu itu. Ini adalah respons yang elegan dalam menyikapi ketidakwarasan.

Semestinya kaum muslim juga bersikap demikian. Tak ada yang bisa dilakukan lebih elegan kecuali melontarkan protes dengan santun dan damai. Menghadapi ketidakwarasan bukan dengan menyuguhkan ketidakwarasan yang lain.

Melarang peredaran Fitna secara membabi-buta adalah bentuk ketidakwarasan dalam memberikan reaksi kepada Wilders. Sejak Rabu lalu (9 April), saya mendapat beberapa e-mail yang mengajukan komplain karena tak bisa lagi mengakses YouTube, sebuah situs Internet yang memuat film Fitna. Rupanya, imbauan Presiden Yudhoyono agar jangan menayangkan film Fitna, disambut para penyedia jasa Internet dengan memblokir situs-situs yang menyimpan film itu.

Saya tidak tahu, situs apalagi selain YouTube yang diblokir para penyedia jasa Internet (yang melakukan tindakan itu mungkin demi mengikuti imbauan pemerintah). Jika hal ini benar terjadi, ini adalah kebodohan yang tak masuk akal, sebuah respons berlebihan yang tidak perlu. YouTube bagaikan sebuah kapal besar yang berisi ratusan ribu penumpang. Menutupnya sama saja dengan menenggelamkan seluruh kapal hanya untuk membunuh seorang bandit.

Tindakan mencegah peredaran film Fitna dengan cara memblokir situs web adalah respons berlebihan yang hanya memanjakan tuntutan kaum ekstremis, orang-orang yang dibidik Wilders. Tindakan semacam itu tak akan efektif karena informasi di Internet bagaikan aliran banjir yang terus mencari celah. Satu hal yang pasti adalah bahwa tindakan itu hanya merugikan pengguna Internet karena aksesnya terhadap informasi telah ditutup.

Film Fitna mestinya dijadikan pelajaran berharga untuk kesekian kalinya agar tidak muncul lagi reaksi-reaksi berlebihan di masa depan. Tidak pernah ada untungnya melakukan reaksi dengan cara-cara kekerasan, atau mengambil tindakan di batas kewajaran. Perbuatan semacam itu hanya semakin mengukuhkan kesan di dunia Barat bahwa Islam adalah agama yang antikebebasan, tidak toleran, dan antidialog.

Saya menduga kasus-kasus semacam ini akan terus bermunculan, bukan karena orang-orang Barat berkonspirasi untuk memusuhi Islam, melainkan karena masyarakat Barat, secara umum, terus-menerus melakukan eksperimen terhadap kebebasan. Kebebasan adalah konsep agung yang dijunjung tinggi masyarakat Barat.

Orang-orang seperti Wilders memanfaatkan kondisi kebebasan di Eropa. Dipicu oleh kecemburuan terhadap kaum imigran--yang sebagian besar datang dari negeri-negeri muslim--mereka menggunakan doktrin kebebasan berekspresi sebagai alat untuk mengumbar kebencian. Dari sinilah muncul tulisan, gambar, dan gambar bergerak, seperti Kartun Nabi Muhammad (Jylland Posten), Submission (Theo Van Gogh) dan Fitna.

Kaum Islamofobis tentu tak bisa dikatakan mewakili masyarakat Barat (Eropa) secara umum, sama seperti kaum ekstremis tak bisa dikatakan mewakili kaum muslim Indonesia secara umum. Kaum ekstremis di mana-mana adalah minoritas, mereka berada di pinggiran, dengan suara yang nyaring memekakkan telinga dan kerap merusak suasana. Hanya, masalahnya adalah apakah kaum mayoritas mau didikte oleh minoritas ekstremis itu.

Provokasi harus dihadapi dengan akal sehat, bukan dengan reaksi berlebihan yang hanya merugikan orang banyak. Jangan sampai kita seperti seorang demonstran ekstrem yang mengusung spanduk tinggi-tinggi di depan sebuah kedutaan besar: "Penggal kepala siapa saja yang mengatakan Islam agama kekerasan!"

Luthfi Assyaukanie
Peneliti Freedom Institute

sumber: Tempo Interaktif
04/11/2008 06:09:10

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.