Munculnya Negara: Antara Teori Konflik dan Integratif

Gambar oleh Bruno /Germany dari Pixabay

Tidak ada organisasi manusia dalam sejarah kita yang begitu kuat, kompleks, dan berpengaruh sebagaimana negara modern.

Dari segi definisi, menurut Cohen, negara merujuk pada se­tiap dan semua variasi dalam kekuasaan, struktur otoritas, dan nilai-nilai yang menopang kerangka organisasi masyarakat (Cohen dan Service, 1978: 2). Ia adalah serangkaian tatanan ke­lembagaan yang mengontrol suatu wilayah tertentu, menerap kan serangkaian peraturan, dan memegang monopoli untuk menggunakan kekuatan paksaan. Tentu saja terdapat beragam definisi yang diberikan oleh ilmuwan-ilmuwan yang berbeda yang berasal dari bidang ilmiah yang berbeda pula. Namun definisi-definisi yang paling disepakati adalah definisi-definisi yang mengandung aspek-aspek seperti teritorialitas, legitimasi, otoritas, legalitas, dan kekuatan untuk memaksa.

Negara memiliki sejarahnya sendiri. Ia berkembang dari waktu ke waktu. Proses penting yang berkembang dalam per­jalanan panjang dari masyarakat tanpa negara ke negara-bang­sa modern adalah sentralisasi kekuasaan. Perkembangan negara tersebut merupakan dampak langsung dari perkem­bangan suatu unit sentral yang mengkoordinasi, memerintah, dan meng­atur keseluruhan masyarakat.

Mengapa dan bagaimana negara muncul? Untuk menjawab pertanyaan ini, menurut Service (1975: 36-42), kita pada dasarnya bisa menggunakan dua jenis teori utama, yang masing-masing mengandung beberapa sub-jenis. Pertama adalah teori-teo­ri konflik, kedua adalah teori-teori integratif. Dalam men­­­­jelaskan proses pembentukan negara, yang pertama menekankan pentingnya konflik; sedangkan yang kedua menekankan pentingnya integrasi.

Dalam tulisan ini saya mencoba menjabarkan dan mengulas teori-teori tersebut. Dalam bagian akhir tulisan ini saya akan mem­bahas bagaimana kita bisa memanfaatkan kedua teori tersebut agar memiliki suatu perspektif yang lebih luas, dan mungkin lebih bijak, dalam memahami munculnya negara.

***

Sebelum kita lanjutkan, penting untuk melihat bahwa para pemikir seperti Aristoteles dari Yunani Kuno (384-322 SM) dan Ibn Khaldun dari Tunisia (1332-1406) telah mencoba untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas—dan meng­ajukan argumen-argumen yang pada dasarnya tidak jauh ber­beda dari argumen-argumen yang dikemukakan oleh teori-teori konflik dan integratif tersebut. Khaldun, dalam Muqadimah: An Introduction to History, melacak munculnya negara (atau, dalam kata-katanya sendiri, munculnya otoritas raja), dalam hubungan-hubungan yang penuh konflik antara suku-suku pe­ngelana (Badui) yang hidup di padang pasir dan para penduduk tetap yang hidup di tepi sungai, di tanah-tanah subur, dan di kota-kota. Karena kehidupan yang sulit dan berat di padang pasir, kaum Badui, menurut Khaldun, lebih memiliki keberanian dan keuletan, serta memiliki tubuh yang lebih kuat.

Mereka agresif dan terbiasa dengan kekejaman. “Mereka selalu menenteng senjata ...dan tidak berhenti di perbatasan wilayah. Mereka ber­gerak ke wilayah-wilayah yang jauh dan menunjukkan su­perioritas mereka atas bangsa-bangsa lain...." (Khaldun, 1967: 95, 114). Sebaliknya, orang-orang yang menetap lebih lemah karena kenikmatan mereka. Dan karena mereka telah terbiasa dengan keberlimpahan materi, “keberanian mereka merosot” (Khaldun, 1967: 107). Kelemahan dan keberlimpahan materiil ini selalu memancing agresi kaum Badui. Untuk menghindari agresi ini, menurut Khaldun, orang-orang yang menetap ter­sebut dengan demikian harus membangun tembok-tembok pengaman, dan membentuk, atau dilindungi oleh, otoritas raja yang kuat yang memegang “superioritas dan kekuasaan untuk me­merintah dengan kekuatan” (Khaldun, 1967: 108).

Dengan demikian, kita dapat berkata bahwa bagi Khaldun, konflik—atau ancaman agresi merupakan motif dalam proses pembentukan negara (lihat juga Service, 1975: 23-24).

Aristoteles, menurut Jerry Szacki (1979: 9-11), melihat negara sebagai sebuah badan di mana individu-individu bekerjasama untuk mencapai perkembangan sepenuhnya. Negara baginya merupakan suatu kreasi alamiah, dan keberadaannya terus ber­lanjut “demi kehidupan yang baik”. Sebagaimana yang tertulis dalam Szacki (1979: 1), dalam Politica Aristoteles menulis:

...ketika beberapa keluarga bersatu, dan perkumpulan tersebut memiliki suatu tujuan yang lebih dari sekadar suplai ke­butuhan, masyarakat pertama yang terbentuk adalah desa. Dan bentuk paling alamiah dari desa adalah koloni ke­luarga.... Ketika beberapa desa bersatu dalam satu komunitas, yang cukup besar untuk berswadaya, negara muncul, bersumber dari kebutuhan hidup dan terus ada demi suatu kehidupan yang baik.

Dengan kata lain, bagi Aristoteles, keberadaan negara didasarkan pada hubungan timbal-balik atau keuntungan bersama di antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang berbeda (Weissleder dalam Cohen dan Service, 1978). Dengan demikian, kita dapat berkata bahwa bagi pemikir besar dari Yunani ini, keuntungan bersama merupakan daya integratif da­lam proses pembentukan negara.

Dari para pemikir “pra-modern” ini, kita telah melihat be­berapa poin penting yang membedakan teori-teori konflik dan inte­gratif. Bagi teori-teori konflik, penaklukan, persaingan, perang, pemaksaan, bahkan kejahatan dan perampokan, adalah kata-kata kunci dalam menjelaskan bagaimana negara ber­kem­bang. Teori-teori ini selalu bermula dengan asumsi bahwa da­lam ma­

syarakat terdapat ketidaksetaraan akses ke sumberdaya-sum­ber daya penting yang mendorong satu kelompok untuk menekan, atau berkonflik dengan, kelompok lain. Karena itu, Morton H. Fried, seorang teoretisi konflik non-Marxis, misalnya menulis bah­wa negara adalah sebuah sistem pemerintahan yang ter­sentralisasi, yang muncul dari suatu sistem ke­tidak­setaraan yang terinstitusionalisasikan di mana para pemimpin, atau kelompok yang memerintah, memiliki akses khusus ke berbagai sumberdaya yang menopang atau memperkuatnya” (Cohen dan Service,

1978: 3). Poin ini dikemukakan secara lebih jelas dan sangat kuat oleh para teoretisi Marxis. Engels, misalnya, dalam Origin of the Family, Private Property, and the State, menya­ta­kan bahwa negara hanyalah suatu organ dari kelas yang ber­kuasa untuk menghisap mereka yang dikuasai, mereka yang tidak memiliki akses ke sumberdaya-sumberdaya ekonomi (Chang, 1931: 46-48). Bagi Engels, pembentukan ne­gara dengan de­­mikian merupakan suatu dampak yang niscaya dari konflik kelas. Munculnya negara hanyalah suatu tahap dari per­kem­bang­an ekonomi (Chang, 1931: 46-47). Demikianlah Engels menulis:

Negara... tidak hadir dari keabadian. Terdapat masyarakat-ma­syarakat yang tidak memilikinya, yang tidak memiliki gagasan tentang suatu negara atau kekuasaan publik. Pada tingkat tertentu dari perkembangan ekonomi, yang dapat dipastikan disertai dengan pembagian masyarakat ke dalam kelas-kelas, negara menjadi akibat yang tak terelakkan dari pembagian ini. Negara, dengan demikian, ...sekadar merupakan produk dari masyarakat pada suatu tahap tertentu dalam evolusinya... (Chang, 1931: 46).

Salah satu contoh lain dari teori konflik dapat kita lihat pada penjelasan Prof. Oppenheimer. Genesis negara, menurut Oppenheimer (1926), bermula dengan penaklukan para petani oleh para penggembala, para pengelana, atau suku-suku pengem­bara. Demi kepentingannya, sang penakluk tersebut tidak sepenuhnya menghancurkan para petani itu. Ia hanya meng­ambil surplus, dan “membiarkan rumah dan perlengkapan para petani itu... hingga panen berikutnya” (Oppenheimer, 1926: 65). Dan ketika ada suku-suku pengembara atau pengelana yang lain, para petani itu akan meminta perlindungan dari sang penakluk tersebut. Kemudian, sang penakluk itu menjadi sang penyelamat. Para petani tersebut memberi penghargaan; karena itulah sistem perpajakan, dan hubungan hukum antara si perampok dan yang dirampok, benih pertama hukum publik, muncul. Untuk memelihara keuntungan-keuntungan dari penghisapan ini dan untuk menengahi perselisihan-perselisihan antara berbagai klan atau keluarga di kalangan para petani, sang penakluk/penyelamat tersebut kemudian menganggap memiliki hak untuk mengadili dan memerintah. Proses ini dalam jangka panjang membiakkan benih-benih organisasi politik di mana negara primitif muncul.

Bagi teori-teori integratif, keuntungan-keuntungan bersama sebagaimana yang dikemukakan Aristoteles di atas merupakan salah satu kata kunci. Kata-kata kunci yang lain adalah koordinasi, integrasi, pembagian kerja, fungsionalitas, bagian-bagian yang terstrukturkan, kompleksitas, dan nilai-nilai. Teori-teori ini mulai dengan asumsi bahwa masyarakat terdiri atas unit-unit yang terintegrasikan, masing-masing unit memiliki fungsinya sendiri untuk melayani tujuan masyarakat sebagai sebuah keseluruhan, yakni memelihara ketertiban, atau menjaga keberadaannya. Jika satu unit berubah, unit-unit yang lain juga akan ter­dorong untuk berubah; dan karena itulah masyarakat berkembang. Lahirnya negara hanyalah hasil dari berbagai perubahan terus-menerus dalam masyarakat. Teori-teori inte­gratif tersebut pada dasarnya menempatkan konflik, persaingan, pemaksaan, dan perang dalam posisi yang jauh kurang penting. Bagi teori-teori konflik, perkembangan negara mengandaikan penindasan yang semakin kuat dari satu kelompok manusia terhadap kelompok yang lain. Sebaliknya, bagi teori-teori integratif, perkembangan progresif negara menghasilkan emansipasi masyarakat dari subordinasi.

Poin-poin tersebut (kompleksitas, pembagian kerja, emansipasi) sangat jelas diyakini oleh para teoretisi integratif dalam membentuk argumen-argumen mereka. Durkheim, misalnya. Sosiolog Prancis ini menyatakan bahwa terdapat dua jenis masyarakat: mekanis dan organis.

Yang pertama berkaitan dengan komunitas berskala-kecil dan padu, yang memiliki tingkat diferensiasi sosial dan pekerjaan yang rendah. Di sini individu-individu didominasi oleh tirani kesadaran kolektif—rangkaian keyakinan dan nilai ko­lektif yang menjadi dasar keberlangsungan kehidupan sosial, misalnya mitos, etika, norma, takhayul, legenda. Individu-individu dipaksa untuk berfungsi, meminjam ungkapan Aristoteles di atas, demi “kebaikan kehidupan komunitas”.

Yang kedua merujuk terutama pada bentuk masyarakat berskala besar yang telah terindustrialisasikan (Giddens, 1986:2). Di sini individu-individu bekerjasama, bekerja sesuka mereka, tanpa tirani hati nurani kolektif untuk membentuk masyarakat mereka. Bagi Durkheim, negara hanya muncul ketika terjadi pergeseran progresif masyarakat mekanis menjadi masyarakat organis. Begitu hubungan-hubungan antarindividu men­jadi lebih kompleks, dan hubungan antarpekerjaan menjadi semakin terbedakan, muncul dorongan untuk jenis masyarakat mekanis menjadi jenis masyarakat organis. Begitu transformasi ini selesai, negara menjadi lembaga utama yang terkait dengan persoalan koordinasi, ketertiban, dan penerapan serta pe­ningkatan hak-hak individu (Giddens, 1986: 3). Dengan demikian, kompleksitas yang semakin meningkat dalam masyarakat dan emansipasi individu merupakan aspek-aspek yang inheren dalam proses pembentukan negara.

***

Kita telah melihat bahwa dalam menjelaskan fenomena yang sama (yakni munculnya negara), kedua teori itu mengajukan jawaban-jawaban yang berbeda. Kita bisa katakan bahwa apa yang implisit dalam penjelasan-penjelasan tersebut adalah bahwa para teoretisi konflik memiliki sensitivitas yang sa­ngat kuat terhadap “politik”; mereka menganggap bahwa perta­rungan untuk memperebutkan kekuasaan adalah aspek utama masyarakat. Bagi mereka, lembaga yang paling dominan dan kuat dalam masyarakat (negara) hadir bukan karena tindak konsensual atau sukarela dari warganya untuk mencapai kebaikan bersama. Negara adalah hasil dari pertarungan kekuasaan. Sebaliknya, para teoretisi integratif melihat eksistensi negara sebagai “netral”, dalam pengertian bahwa fungsi uta­manya hanyalah untuk melayani dan mengkoordinasi keselu­ruhan masyarakat.

Kedua teori itu tampaknya saling eksklusif. Namun pada titik ini penting untuk melihat bahwa terdapat beberapa penulis yang berpandangan bahwa meninggalkan satu teori untuk meyakini teori yang lain merupakan suatu pilihan yang tidak di­inginkan. Cohen, misalnya, mengatakan bahwa untuk menjelaskan kasus-kasus empiris yang berbeda, baik teori konflik maupun teori-teori integratif sama-sama diperlukan. Dalam penyelidikan empirisnya, ia mencoba membandingkan pem bentukan tiga sistem negara di Chad Basin (Kanem-Borno, Fombina-Yola, Pabir-Biu). Ia menemukan bahwa terdapat dua jalan yang berbeda menuju ke-negara-an (statehood) dalam ketiga negara ini (Cohen dan Service, 1978: 141-159). Yang pertama dicirikan oleh hubungan yang sarat konflik antara orang-orang nomad dan para petani. Karena kelangkaan air, orang-orang nomad tersebut bermigrasi ke desa-desa pertanian yang relatif otonom. Para petani lokal tersebut menuntut bayaran, upeti, dan bentuk-bentuk permintaan lain dari orang-orang nomad itu sebagai pendatang baru. Hal ini mendorong pihak yang terakhir ini untuk mengorganisasi diri mereka dan membangun perasaan kebersamaan yang kuat. Dan ketika ak­hirnya konflik terjadi, kaum nomad tersebut menang dan mem­bentuk sebuah lembaga yang tersentralisasi untuk mendominasi wilayah tersebut.

Yang kedua adalah jalan di mana para petani tersebut menyatukan diri bersama dalam kota-kota bertembok tinggi untuk mempertahankan diri mereka dari serangan yang dila­kukanoleh sistem-sistem negara yang berdekatan. Mereka ber­satu dalam kota-kota besar yang dikelilingi tembok. Pertanian dalam kota-kota tersebut, menurut Cohen, menjadi semakin intensif saat populasi meningkat. Dan akibatnya:

Para ketua dan para penasihat mereka, keturunan dari para pendiri permukiman tersebut, harus menghabiskan waktu yang lebih banyak lagi untuk menengahi perselisihan dan Nantinya, kelompok ini membentuk kelas atas para penguasa dan birokrat yang melakukan pernikahan dalam kelas me­reka dan membentuk faksi-faksi politik dasar dari negara. (Cohen dan Service, 1978: 156).

Dengan kata lain, untuk kepentingan semua petanilah beberapa bentuk birokrasi primitif dikembangkan dalam kota-kota tersebut. Bagi Cohen, kasus pertama di atas memperlihatkan bahwa konflik dan dominasi satu kelompok atas kelompok yang lain merupakan dasar pembentukan negara di Borno dan Fombina-Yola; sementara kasus kedua, yang terjadi di Pabir-Biu, memperlihatkan bahwa keuntungan bersama merupakan alasan utama adanya negara.

Apa yang ingin ditunjukkan Cohen di sini adalah bahwa dalam memahami proses pembentukan negara, baik pendekatan konflik maupun integratif diperlukan. Terdapat lebih dari satu jalan menuju pembentukan negara; karena itu, akan kurang meyakinkan jika kita hanya percaya pada satu teori untuk menjelaskan munculnya negara.

Satu contoh lagi bisa dikemukakan tentang betapa pentingnya untuk tidak mengabaikan satu teori dan hanya secara kaku berpegang pada teori yang lain, seseorang bisa melihat ba­gaimana Wittfogel ditentang oleh Eva dan Robert Hunt. Wittfogel (1957), dengan menggunakan gagasan Marx tentang Ma­syarakat Asia, menulis bahwa munculnya Negara Timur dan wataknya yang despotik di Timur Dekat dan Asia disebabkan oleh suatu sistem “hidrolik” yang ekstensif. Kebutuhan dasar untuk mengontrol air, mengelola bangunan dan memelihara pusat-pusat air yang besar memungkinkan para pengelola air memiliki kekuasaan untuk mendominasi keseluruhan kehidupan sosial, termasuk militer. Ketika sistem tersebut menjadi semakin luas, para pengelola tersebut berubah menjadi para elite berkuasa yang despotik, yang kemudian membentuk birokrasi yang despotik untuk memelihara keuntungan dan dominasi mereka (Cohen dan Service, 1978: 70).

Saat melakukan penelitian empiris tentang masyarakat irigasi di Cuicatec, Meksiko, Eva dan Robert Hunt menemukan bahwa birokrasi yang tersentralisasi muncul untuk mengatur kompleksitas dalam mendistribusikan air. Di sini argumen Wittfogel tersebut benar. Namun bagi Eva dan Robert Hunt,

Wittfogel gagal melihat bahwa birokrasi air tersebut juga berguna untuk meningkatkan produktivitas warga. Mereka me­nyatakan bahwa dalam masyarakat irigasi, “tanpa pembuatan keputusan yang padu, guncangan dan konflik sosial yang besar akan cenderung melumpuhkan sistem sosio-ekonomi”. Karena itu, “sentralisasi sistem politik mempermudah tingkat produktivitas yang lebih tinggi dengan menekan konflik sosial...”. (Cohen dan Service, 1978: 118).

Dengan kata lain, birokrasi air (aspek penting dari negara) mun­cul bukan hanya untuk melayani kepentingan para pengelola air, melainkan juga untuk melayani kepentingan sistem tersebut, yakni kepentingan seluruh warga. Dengan demikian, kita bisa berkata bahwa di sini Eva dan Robert Hunt mem­perlihatkan bahwa baik teori konflik maupun integratif diperlukan untuk memahami realitas yang sama.

Untuk mengakhiri tulisan ini, saya kira relevan jika kita men­dengarkan Dahrendorf:

Terdapat problem-problem sosiologis yang penjelasannya bisa didapatkan dari asumsi-asumsi teori integrasi ma­syarakat; terdapat problem-problem lain yang bisa dijelaskan hanya dengan berdasarkan teori koersi masyarakat; terakhir, ter­dapat problem-problem yang mana kedua teori tersebut tampak memuaskan. Untuk analisis sosiologis, masyarakat ber­muka ganda, dan kedua wajahnya merupakan aspek-aspek dari realitas yang sama (Dahrendorf, 1959: 159).

Masyarakat itu bermuka ganda. Demikian juga negara. Kon­­flik dan integrasi merupakan aspek yang berbeda dari realitas yang sama. Negara merupakan fenomena terlalu kaya, terlalu kompleks untuk dipahami hanya dengan satu penjelasan tunggal. Tentu saja teori-teori konflik dan integratif telah memberi kita banyak pemahaman yang berguna. Namun, mereka ter­batasi oleh asumsi-asumsi mereka sendiri. Karena itu, sebagaimana yang diperlihatkan oleh Cohen, Eva dan Robert Hunt di atas, untuk memahami secara lebih baik bagaimana dan mengapa negara berkembang, apa yang kita butuhkan mungkin adalah pendekatan-pendekatan yang bisa secara terbuka dan jelas mencakup aspek-aspek seperti persaingan dan integrasi, koersi dan keuntungan, penaklukan dan konsensus, ketidaksetaraan dan kompleksitas.

 

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.