Norman Borlaug, Pemberi Makan Dunia

Image by Steve Brandon from Pixabay

SIAPA MANUSIA yang paling berjasa di abad ke-20? Kita bisa men­jawabnya dengan menyebut sederetan pemimpin besar seperti Roosevelt dan Churchill, atau ilmuwan besar seperti Einstein dan industrialis raksasa seperti Henry Ford. Selain nama-nama besar ini, Norman Borlaug patut menjadi favorit.

Akan tetapi, siapa yang kini masih mengenal Norman Borlaug? Siapa yang tahu bahwa pada 1970 ia mendapat Hadiah Nobel untuk Perdamaian atas jasanya memberi makan kepada jutaan manusia, mencegah kelaparan massal, dan karena itu memungkinkan perdamaian yang lebih abadi? Siapa yang masih ingat bahwa di tahun 1960-an ia mengawali Revolusi Hi­jau, se­buah peningkatan produktivitas pertanian yang dahsyat dan memengaruhi perkembangan banyak negara, termasuk ne­gara kita?

Leon Hasser baru-baru ini menerbitkan buku yang bertutur ten­tang Norman Borlaug, The Man Who Fed the World. Hasser mengenal Borlaug di Pakistan pada awal 1960-an saat ia masih bertugas sebagai staf Kedubes AS yang membidangi bantuan dan peningkatan pertanian.

Dalam buku ini digambarkan bagaimana Norman Borlaug yang lahir pada 1914 dari keluarga petani miskin di Cresco, Iowa, me­lewati masa kecilnya dengan pendidikan yang seder­hana tetapi penuh dengan keakraban yang khas kaum petani migran di frontier Amerika. Setelah selesai sekolah dasar dan menengah di dae­rah kecil itu, Borlaug meneruskan pendi­dik­annya ke Uni­versity of Minnesota. Ia adalah generasi pertama dari keluarga Borlaug yang dapat melanjutkan pendidikan ke ting­kat setinggi itu.

Di University of Minnesota inilah ia secara kebetulan sempat menghadiri ceramah Prof. E.C. Stakman, Ketua Jurusan Pa­tologi Tanaman, yang memiliki reputasi dunia di bidangnya. Ceramah itu mengubah hidup Norman Borlaug dan sebagian sejarah abad ke-20 ikut pula berubah bersamanya. Setelah ceramah ini, Borlaug bertekad untuk menjadi ahli pertanian dan belajar di bawah bimbingan Prof. Stakman.

Revolusi Hijau

Setelah merampungkan studi doktoralnya, Borlaug menerima tawaran Prof. Stakman untuk membantu pengembangan pertanian di Meksiko yang saat itu sedang mengalami krisis pangan. Program ini dibiayai sepenuhnya oleh The Rockefeller Foundation. Selama 20 tahun Norman Borlaug tinggal di Meksiko, melakukan riset dan pengembangan tanaman gandum. Da­ri hari ke hari, dengan ketekunan yang luarbiasa, ia dan tim yang dipimpinnya menyilang dan mempelajari pertumbuhan ribuan varietas gandum untuk mencari bibit-bibit baru dengan sifat yang lebih tahan hama dan lebih produktif.

Pada intinya, terobosan Norman Borlaug terletak pada beberapa hal. Ia menemukan metode yang lebih efektif untuk melakukan persilangan varietas dalam jumlah yang massal ser­ta menyempurnakan metode shuttle-breeding.

Namun yang tidak kurang pentingnya juga adalah temuan bi­bit gandum dengan batang yang jauh lebih pendek, yang me­rupakan penyilangan yang berhasil dari bibit yang berasal dari Jepang, Norin-10. Dengan batang yang lebih pendek, varietas ini meng­­hasilkan butir gandum lebih banyak serta lebih tahan ter­hadap terpaan angin dan lebih responsif terhadap aplikasi pupuk.

Dengan metode baru dan varietas unggulan itulah ia memulai Revolusi Hijau. Pada akhir 1950-an Meksiko sudah ter­lepas dari ancaman kelaparan dan mencapai tahap swasembada pa­­ngan. Sukses itu mulai mengharumkan nama Norman Borlaug. Kebetulan pada periode itu beberapa negara lainnya, seperti In­dia dan Pakistan, juga mengalami krisis pangan. Suasana dunia pada 1960-an memang agak kelabu. The Population Bomb, buku populer yang ditulis Paul Ehrlich pada periode itu, memaparkan, krisis pangan di India hanyalah bagian proses sejarah yang lebih besar. Dunia tidak mampu lagi menanggung jumlah pen­duduk yang terus membengkak, sehingga secara alamiah puluhan bah­kan mungkin ratusan juta jiwa akan terkena seleksi alam (artinya, mati kelaparan). Borlaug tidak larut dalam pesimisme semacam itu.

Kebetulan pada 1961, ia diundang ke India oleh M.S. Swaminathan, penasihat Menteri Pertanian India. Waktu itu, nasib India masih tertolong oleh kiriman jutaan ton gandum dari AS. Namun, bantuan ini tidak mungkin berlangsung selama-lamanya.

Borlaug dan Swaminathan menyadari hal itu, tetapi pada tahun-tahun pertama birokrasi India tidak memberi mereka ruang gerak yang memadai. Barulah pada 1965, setelah meletusnya perang India-Pakistan, upaya yang sungguh-sungguh un­tuk mengawali Revolusi Hijau di India dapat dimulai. Ribuan ton bibit baru dari Meksiko disebarkan dengan luas. Selain itu, Borlaug juga berhasil membujuk pemerintahan India agar meng­ubah kebijakan pertanian dengan menyesuaikan harga gandum petani, menyebarkan pupur dengan lebih agresif serta mem­perluas jaringan kredit petani.

Dengan semua itu, India akhirnya dapat melepaskan diri dari jepitan nasib buruk. Pada awal 1970-an negeri kedua terpadat di dunia ini berhasil mencapai swasembada pangan. Setelah itu, India tidak lagi pernah mengalami ancaman kelaparan massal sebagaimana yang sering terjadi sebelumnya, walaupun penduduknya telah meningkat lebih dua kali lipat dibandingkan dengan jumlah penduduk pada periode itu, yaitu dari 450 juta jiwa menjadi hampir satu miliar jiwa. Keberhasilan ber­swa­sembada malah tercapai dua tahun sebelumnya oleh Pakistan (1968).

Setelah India dan Pakistan, Revolusi Hijau kemudian merambah ke berbagai negeri lainnya-dan tidak hanya dengan tanaman gandum. Dengan contoh keberhasilan di Meksiko, The Rockefeller Foundation dan The Ford Foundation mengambil inisiatif mendirikan IRRI (International Rice Research Institute) di Los Banos, Filipina. Lembaga riset ini kemudian menghasilkan varietas-varietas padi baru yang juga lebih pendek, lebih tahan hama, serta dengan produktivitas yang jauh lebih tinggi dari varietas yang sebelumnya telah ada.

Lembaga inilah yang menjadi ujung tombak swasembada pangan di Asia, termasuk di Indonesia pada awal dan pertengahan tahun 1980-an. Di negeri kita, katalis Revolusi Hijau adalah para insinyur pertanian lulusan berbagai universitas, terutama Institut Pertanian Bogor, yang tumbuh berkembang karena dimungkinkan oleh sukses ekonomi pemerintahan Orde Baru.

Nobel Perdamaian

Karena Revolusi Hijau, dunia tidak lagi terancam oleh bahaya kelaparan permanen, kecuali oleh penyebab-penyebab yang bersifat ad hoc dan temporer, seperti terjadinya konflik bersenjata, musim yang ekstrem dan semacamnya. Belum pernah dalam sejarah manusia ketahanan pangan yang demikian dapat di capai.

Untuk upayanya ini, Borlaug memperoleh Hadial Nobel pada 1970. Itulah pertama kalinya seorang ahli pertanian memperoleh hadiah dalam kategori perdamaian (biasanya hadiah ini diberikan kepada para politisi, aktivis lembaga perdamaian, pahlawan perang, dan pemimpin dunia). Panitia hadiah paling bergengsi ini beranggapan bahwa dengan mengatasi ancaman kelaparan, Borlaug telah membantu meletakkan dasar-dasar perdamaian dunia yang lebih langgeng.

Namun, bagaimana di masa depan? Saat ini penduduk dunia sudah mencapai lebih 6,4 miliar jiwa. Diramalkan jumlah ini akan terus meningkat hingga mencapai angka yang stabil pada jumlah sekitar 10 miliar jiwa pada tahun 2050. Bagaimana kita memenuhi kebutuhan kalori manusia sebanyak itu? Re­volusi Hijau telah sukses di tahun 1960-1980, tetapi bagaimana selanjutnya? Bagaimana mematahkan ramalan Malthus, sekali dan selama-lamanya?

Buat Borlaug, semua itu mengharuskan kita untuk terus mengembangkan penelitian dan mengawasi kemungkinan merebaknya wabah baru pada beberapa tanaman yang merupakan sumber pangan utama, yaitu gandum, padi, jagung. Baginya, kunci semua harapan umat manusia tergantung pada ilmu pengetahuan (khususnya bioteknologi) dan sikap yang terus-menerus aktif dalam dunia penelitian dan pengembangan tanaman pangan. Musuh terbesar umat manusia adalah bencana kelaparan.

Kita harus terus waspada dan mencari cara untuk mengalah­kannya. Norman Borlaug dapat menjadi sumber inspirasi bagi kita semua, khususnya bagi mereka yang berada di garis ter­­depan penelitian dan pengembangan pertanian.

22 Otober 2006

 

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.