Nozick

Gambar oleh Totemscollector dari Pixabay

Anarchy, State, and Utopia karya Nozick terbagi menjadi 3 bagian yang saling terkait. Bagian pertama berusaha menjelaskan bahwa negara minimal adalah adil; ia muncul tanpa melanggar hak-hak siapapun. Bagian kedua berusaha memperlihatkan bahwa negara apapun yang lebih luas ketimbang negara minimal tersebut tidak sah. Bagian ketiga berupaya menjelaskan bahwa negara minimal, berlawanan dengan apa yang diyakini sebagian besar orang, sebenarnya merupakan suatu utopia yang menarik.

Argumen-argumen Nozick yang paling menarik dan kontroversial ada di bagian dua. Argumen-argumen tersebut tajam, bernas, mencerahkan, dan mendalam. Ia sangat kuat ketika mengkritik Rawls dan memperlihatkan bahwa keadilan distributif bukan keadilan samasekali.

Esai ini akan mengulas serangan Nozick terhadap gagasan tentang keadilan distributif tersebut, dan pembelaannya atas apa yang ia sebut teori hak atas keadilan (entitlement Theory of Justice). Saya akan mulai dengan menjabarkan penjelasan Nozick tentang bagaimana negara minimal muncul.

Gagasan-gagasan Nozick di sini disajikan sesederhana mungkin tanpa terlalu banyak mereduksi kompleksitas gagasan-gagasan tersebut. Hal ini saya harap akan membuat kekuatan gagasan-gagasan tersebut lebih mudah terlihat.

Hak-hak Individu dan Negara Minimal

Kaum anarkis percaya bahwa negara, negara apapun, adalah tidak sah. Individu-individulah yang terpenting bahkan negara yang hanya berfungsi untuk memberikan perlindungan dasar terhadap agresi dapat dipastikan akan melanggar hak-hak individu.

Nozick, seperti kaum anarkis dan kaum liberal klasik, juga percaya pada supremasi individu dan sakralnya hak-hak individu. Namun ia, tidak seperti kaum anarkis tersebut, menganggap bahwa terdapat satu jenis negara (yakni negara minimal) yang tidak melanggar hak-hak siapapun.

Nozick bertolak dari suatu keadaan hipotetis manusia, yakni keadaan alamiah. Menurut Nozick, dalam keadaan alamiah badan-badan perlindungan pribadi tumbuh subur karena individu-individu perlu melindungi diri mereka dari agresi orang lain. Individu-individu tersebut membayar badan-badan ini untuk melindungi mereka karena bagi mereka melakukan hal itu lebih rasional mereka dapat menjalani kehidupan mereka tanpa terus-menerus cemas akan keamanan pribadi mereka.

Persaingan bebas di antara berbagai badan tersebut untuk memberikan pelayanan terbaik membuat hanya sedikit badan perlindungan yang tetap bertahan. Badan-badan yang tetap bertahan ini, yakni para pemenang seleksi alamiah, dengan demikian akan memegang monopoli de facto atas usaha perlindungan tersebut. Pada tahap ini, karena monopoli kekuasaan untuk memaksa tersebut, badan-badan ini berlaku seperti negara. Dan karena penggabungan dan kompetisi yang semakin besar, pada akhirnya hanya ada satu badan yang tetap bertahan. Badan yang tetap bertahan ini pada dasarnya adalah sebuah negara (sebuah badan yang memiliki monopoli sepenuhnya atas kekuasaan untuk memaksa). Nozick menyebut badan ini sebagai negara ultraminimal.

Di bawah kekuasaan negara ini, terdapat suatu persoalan. Sebagian besar orang akan mampu membayar bagi perlindungan yang disediakannya. Namun beberapa orang terlalu miskin untuk bisa membayar jasa perlindungan tersebut. Dan, karena tidak termasuk anggota, mereka tidak harus mengikuti aturan-aturan yang diberlakukan badan tersebut (yakni negara ultra minimal itu). Karena itu, mereka secara moral boleh menerapkan prinsip apapun yang mereka anggap tepat, termasuk misalnya prinsip hukuman mata dibalas mata. Keadaan ini tidak dikehendaki karena hal ini membahayakan kehidupan damai anggota negara ultraminimal itu. Karena negara ultraminimal tidak memiliki dasar moral untuk memaksa paranon-anggota untuk mematuhi aturan “bersama”, persoalan tersebut terus berlanjut.

Satu-satunya cara untuk memecahkan persoalan ini adalah menerapkan prinsip kompensasi. Dengan prinsip ini, para klien membayari keanggotaan mereka yang tidak bisa membayar keanggotaan sendiri (yang pada gilirannya akan senang menerima keanggotaan bebas ini karena lebih rasional bagi mereka memusatkan energi mereka untuk melakukan sesuatu yang lain ketimbang terus-tenerus menjaga keselamatan mereka sendiri). Menurut Nozick, hal ini sedikit mirip dengan mekanisme distributif. Namun, baginya proses ini secara moral sah karena para pemberi tersebut memberikan sebagian milik mereka demi kepentingan diri mereka sendiri (dengan melakukan hal itu, mereka meningkatkan keselamatan mereka sendiri).

Dalam tahap inilah negara ultraminimal itu diubah menjadi negara minimal. Negara minimal adalah adalah negara ultraminimal ditambah sebuah elemen mekanisme distributif. Dan, karena prinsip kompensasi itu secara moral adil, hal itu terjadi tanpa melanggar hak-hak siapapun.

Jadi, dari keadaan alamiah tersebut muncul negara minimal, tanpa desain sebelumnya. Penting diingat bahwa bagi Nozick ini bukanlah proses perkembangan negara yang sebenarnya. Seperti posisi awal (original position) Rawls, ia hanyalah suatu sarana teoretis, suatu konstruksi intelektual, yang membantu tujuan Nozick dalam menegaskan bahwa terdapat satu jenis negara yang mungkin muncul secara moral. Dengan menjelaskan hal ini, Nozick memperlihatkan bahwa kaum anarkis salah.

Teori Hak, Keadilan Distributif, dan Tuan Chamberlain

Negara minimal, seperti yang dijelaskan Nozick, berfungsi tidak lebih daripada sekadar melindungi anggotanya dari kekerasan, penipuan dan pencurian, dan memberlakukan perjanjian-perjanjian. Ia adalah negara "penjaga malam" kaum liberal klasik. Pembelaannya atas persoalan mengapa negara ini sah bergerak lebih jauh ketimbang sekadar menggambarkan bagaimana ia terjadi atau bagaimana ia muncul dari keadaan alamiah. Ia mengembangkan konsepsi keadilannya sendiri (yakni teori hak dari keadilan), dan menjadikan konsepsi ini sebagai dasar untuk menilai apakah sebuah negara dapat dibenarkan atau tidak. Ia membedakan gagasannya tentang keadilan tersebut dengan gagasan tentang keadilan distributif. Teori haknya itulah yang memberi inspirasi Nozick untuk berkata, ”Tidak ada negara yang lebih kuat atau luas ketimbang negara minimal tersebut, yang dianggap sah atau dapat dibenarkan.”

Teori hak Nozick tersebut sebenarnya cukup sederhana. Teori itu terdiri atas tiga prinsip. Prinsip pertama dan kedua menyatakan bahwa kepemilikan apapun yang didapatkan dari perolehan yang adil (prinsip perolehan awal) atau pengalihan yang adil (prinsip pengalihan) pada dirinya sendiri adalah adil. Tidak seorang pun berhak atas suatu kepemilikan kecuali dengan penerapan kedua prinsip ini. Dengan kata lain, kedua prinsip ini merupakan prosedur yang menjadikan kita sah memiliki suatu barang atau tanah.

Kepemilikan kadang diperoleh melalui paksaan atau penipuan. Dengan demikian, kita masuk pada prinsip ketiga, prinsip perbaikan (rectification). Prinsip ini menyatakan bahwa adanya ketidakadilan masa lalu (yakni pelanggaran-pelanggaran sebelumnya terhadap kedua prinsip pertama tersebut) membenarkan suatu jenis kompensasi yang diberikan kepada orang-orang yang dirugikan. Dengan prinsip ini, Nozick memberikan suatu kualifikasi pada seluruh usahanya dalam mempertahankan legitimasi negara minimal tersebut: perbaikan memungkinkan suatu peralihan ke negara yang lebih luas.

Meskipun menghadirkan sosialisme sebagai hukuman terhadap dosa-dosa kita mungkin terlalu berlebihan, ketidak adilan-ketidakadilan masa lalu mungkin sedemikian besar sehingga dalam jangka pendek perlu suatu negara yang lebih luas untuk memperbaiki itu semua.

Teori hak, menurut Nozick, mengandaikan bahwa distribusi kepemilikan bersifat historis. “...[Sebuah] distribusi adalah adil tergantung pada bagaimana hal ini terjadi”. Jika sebuah distribusi terjadi tanpa melanggar prinsip perolehan dan pengalihan tersebut, maka distribusi itu adil. Hal ini berarti bahwa satu-satunya distribusi kepemilikan yang adil adalah distrubusi yang tak-terpola (tak satu hal pun, atas nama keadilan, yang dapat dilakukan untuk mengubah pola suatu distribusi jika ia telah memenuhi prinsip-prinsip [teori] hak tersebut).

Pada titik inilah Nozick memulai serangannya terhadap gagasan tentang keadilan distributif (yang, bagi Nozick, merupakan gagasan inti negara kesejahteraan—suatu jenis negara yang jauh lebih luas dibanding negara minimal). Menurut Nozicik, bertentangan dengan teori hak, teori keadilan distributif mengabaikan aspek historis dari distribusi. Keadilan distributif hanya menerapkan prinsip waktu kini atau prinsip hasil akhir. “...[A]pa yang perlu diperhatikan, dalam menilai keadilan dari sebuah distribusi, siapa yang akhirnya memiliki apa...”. “...[K]eadilan sebuah distribusi ditentukan oleh bagaimana sesuatu didistribusikan (siapa memiliki apa), dan dinilai berda sarkan prinsip (-prinsip) struktural dari distribusi yang adil”. Ungkapan Marx “dari tiap-tiap orang menurut kemampuannya dan bagi masing-masing orang menurut kebutuhannya” adalah sebuah contoh prinsip struktural dari distribusi yang adil ini. Contoh-contoh lain: “bagi tiap-tiap orang menurut kebaikan moralnya”, atau “bagi masing-masing orang menurut IQ dan produktivitasnya”, dan sebagainya.

Di sinilah kesalahan keadilan distributif: Ia “memperlakukan obyek-obyek seolah-olah mereka muncul begitu saja, dari ketia daan”. Ia memisahkan dua persoalan yang terkait, yakni produk si dan distribusi. Ia tidak pernah bertanya bagaimana sesuatu dibuat. Bagi Nozick, sebagaimana diandaikan oleh teori haknya, “benda-benda ada di dunia telah terkait dengan orang-orang yang mempunyai hak atas mereka”. Mereka yang memperoleh suatu kepemilikan (mobil, gaji, rumah, dll.) melalui suatu perolehan yang adil atau pengalihan yang adil berhak atas kepemilikan tersebut. Dengan demikian, mengambil kepemilikan ini, meski hanya sebagian, tanpa memperhatikan sejarahnya (bagaimana kepemilikan ini terjadi) untuk mendistribusikannya berdasarkan prinsip distribusi apapun adalah tidak sah. Dengankata lain, pendistribusian kembali (di luar perbaikan) melanggar hak-hak orang-orang yang membuat atau memproduksi sesuatu.

Kesalahan keadilan distributif dan prinsip-prinsipnya tersebut ditarik ke kesimpulan terjauh mereka saat Nozick menjelaskan tentang perpajakan. Untuk sebuah pekerjaan yang jujur, X menerima penghasilan bulanan sebesar D. D ini sama dengan jumlah jam yang dihabiskan X untuk melakukan pekerjaannya. Menarik pajak sejumlah n dari D tersebut dengan demikian seperti mengambil n jam dari X atau, dalam praktik, memaksa X bekerja n jam untuk menyelesaikan tujuan-tujuan (distributif) yang tidak berkenaan dengannya. Karena itu, menurut Nozick, “Pajak penghasilan dari pekerjaan sama dengan kerja paksa.”

Dengan kata lain, perpajakan (dan mekanisme lain dari keadilan distributif) “melibatkan pengambil-alihan tindakan-tindakan orang lain”. Ia membuat beberapa orang lain memiliki sebagian dari (milik) Anda:

Jika orang-orang memaksa Anda melakukan pekerjaan, atau pekerjaan yang tak berupah tertentu, selama suatu periode waktu tertentu, mereka memutuskan apa yang akan Anda lakukan dan tujuan-tujuan dari kerja Anda terlepas dari keputusan-keputusan Anda. Proses ini, di mana mereka mengambil keputusan tersebut dari Anda, menjadikan mereka pemilik-sebagian dari Anda; proses ini memberi mereka hak kepemilikan dalam (diri) Anda. [huruf miring dari Nozick]

Bagi Nozick, yang ironis adalah bahwa mereka yang men dukung prinsip-prinsip keadilan distributif tersebut sebagian besar adalah orang-orang yang sama yang berbicara paling keras tentang gagasan kepemilikan-pribadi. Mereka tidak menyadari bahwa, dalam praktik, prinsip-prinsip yang mereka serukan tersebut adalah prinsip-prinsip yang membuat orang menjadi pemilik sebagian dari orang lain.

Selain persoalan perpajakan, Nozick juga menemukan dasar lain untuk menyerang gagasan tentang keadilan distributif itu: untuk mewujudkannya, menurut Nozick, keadilan distributif mengharuskan campur-tangan terus-menerus terhadap kehidupan dan kebebasan orang. Mengapa? Untuk menjelaskan hal ini, Nozick mengisahkan cerita tentang Tuan Wilt Chamberlain.

Andaikan bahwa terdapat sebuah distribusi D1 (yang, menurut standar keadilan distributif, setara, atau adil). Dan andaikan juga bahwa, setelah mengikuti serangkaian latihan Spartan, Chamberlain menjadi seorang pemain bola basket yang sangat hebat. Seperti Mike Jordan, Chamberlain adalah seorang olah ragawan yang efisien sekaligus seorang pemain yang menarik. Permainannya dengan demikian sangat ditunggu-tunggu. Hal ini memungkinkan Chamberlain untuk menandatangani sebuah kontrak satu tahun dengan sebuah tim: dalam setiap pertandingan kandang, 25 sen dari harga tiap-tiap tiket masuk menjadi miliknya.

Ketika musim pertandingan mulai, orang-orang dengan senang hati menghadiri pertandingan-pertandingan Chamberlain. Mereka membeli tiket dan dengan demikikan menaruh 25 sen ke dalam kotak khusus yang langsung diberikan kepada Chamberlain. Bagi orang-orang ini, permainan menawan Chamberlain layak dihargai seperti itu. Kini, andaikan bahwa satu juta orang melihat pertandingan Chamberlain. Ini berarti bahwa $250.000 menjadi milik Chamberlain, suatu jumlah yang jauh lebih besar dibanding yang dimiliki sebagian besar orang.

Hasilnya: Distribusi D1 berubah. Ia menjadi D2, yang jelas lebih tidak setara. Apakah D2 adalah suatu distribusi yang tidak adil? Orang-orang, dalam D1 yang lebih setara, dengan sukarela memberikan 25 sen kepada Chamberlain sebagai imbalan bisa menyaksikan suatu permainan yang hebat dan menyenangkan (mereka dapat menggunakan uang itu untuk membeli permen, koran, rokok). Bukankah orang-orang tersebut berhak menggunakan uang mereka sesuka mereka?

Perubahan dari D1 ke D2 tersebut adalah hasil dari tindakan-tindakan sukarela dan secara moral sah. Dengan demikian, D2 adalah sebuah distribusi yang adil. Kesimpulan yang menonjol yang disajikan Nozick di sini adalah bahwa kebebasan mengubah pola. D1 mungkin dilihat sebagai suatu distribusi terpola yang tercapai melalui mekanisme-mekanisme keadilan distributif. Memberi 25 sen kepada Chamberlain (sebagai ganti melihat permainannya yang hebat) adalah kebebasan yang dijalankan. Konsekuensinya: pola tersebut dibongkar. Kini, bayangkan jika terdapat ratusan Chamberlain (yang menawarkan ratusan jasa berbeda yang bisa dibeli orang-orang). Hasil dari kebebasan yang dijalankan adalah distribusi yang lebih tak-terpola.

Misalkan, pola-pola mungkin didedahkan untuk membuat D2 lebih setara. Hal ini dapat dilakukan hanya dalam dua cara. Pertama, 10 sen dari 25 sen yang diberikan kepada Chamberlain mungkin dipajaki (pajak 40%), dan diberikan kembali kepada orang-orang tersebut (sehingga mereka sebenarnya hanya mengeluarkan 15 sen). Kedua, melarang orang-orang pergi dan menonton pertandingan tersebut (memaksa Chamberlain bermain tanpa membayarnya bukan merupakan suatu pilihan).

Namun, cara pertama akan berakhir pada suatu situasi yang menggelikan: baik Chamberlain maupun para penggemarnya telah secara sukarela sepakat mengenai syarat-syarat pertukaran mereka; namun pihak ketiga datang, dengan gagasannya tentang kesetaraan, dan memberlakukan suatu syarat-syarat pertukaran baru. Di sini, kesalahan perpajakan berlaku Chamberlain dipaksa untuk bermain n jam tanpa bayaran. Namun pada dasarnya hal ini tidak memecahkan persoalan: Chamberlain toh masih mendapatkan $150.000 dari 1 juta penggemar. Di tahun ke-3 ia akan mendapatkan $450.000 (atau $150.000 dollar lebih banyak dibanding jumlah yang akan ia peroleh tanpa redistribusi). Dengan demikian, apa yang terjadi hanyalah menunda waktu pola tersebut berubah. Distribusi yang tak setara (atau tak-terpola) akhirnya akan muncul. Sekali lagi, hal ini mungkin diperbaiki, namun untuk melakukan hal itu perlu campur-tangan terus-menerus dan bahkan lebih besar terhadap syarat-syarat pertukaran antara Chamberlain dan para penggemarnya tersebut. Karena hal inilah Nozick mengatakan bahwa keadilan distributif mengharuskan suatu campur-tangan terus-menerus terhadap kehidupan dan kebebasan orang-orang.

Cara kedua: melarang orang-orang menyaksikan pertandingan yang mereka sukai merupakan contoh yang sangat jelas tentang bagaimana suatu maksud mulia menghasilkan sesuatu yang bodoh dan tak liberal. Ada ribuan cara orang-orang dapat menggunakan uang mereka untuk sesuatu yang mereka sukai (menyaksikan Chamberlain hanya salah satunya). Dengan demikian, demi membuat orang-orang lebih setara, ribuan larangan harus terus-menerus dikeluarkan. Apakah ini merupakan cara praktis dan sah untuk menegakkan keadilan?

Tentang Rawls

Nozick jelas harus mengulas Theory of Justice karya Rawls. Hampir tidak mungkin untuk mengkritik gagasan tentang keadilan distributif dan prinsip-prinsip negara kesejahteraan tanpa membahas Rawls. Nozick tidak ingin disalahpahami—baginya, Theory of Jusctice karya Rawls tersebut merupakan suatu pencapaian yang luarbiasa. Theory of Justice tersebut merupakan:

Suatu karya yang sangat kuat, mendalam, subtil, menyeluruh, dan sistematis dalam filsafat politik dan moral yang tak ada bandingannya sejak tulisan-tulisan John Stuart Mill. Karya itu adalah sumber gagasan-gagasan yang mencerahkan, yang dipadukan dalam suatu keseluruhan yang menarik. Para filsuf politik sekarang ini harus berkarya di dalam teori Rawls tersebut atau menjelaskan mengapa tidak. ...Bahkan mereka yang tetap ragu setelah bergulat dengan visi Rawls yang sistematis akan belajar banyak dengan mempelajari karya itu secara teliti....Dan mustahil menyelesaikan buku itu tanpa suatu visi baru dan bernas tentang apa yang mungkin dilakukan dan disatukan teori moral; tentang betapa indahnya suatu teori yang menyeluruh. (huruf miring oleh Nozick)

Namun meskipun merupakan suatu karya besar, bagi Nozick Theory of Justice mengandung banyak kesalahan, kontradiksi, dan argumen-argumen yang salah. Pandangan Nozick tentang Rawls: mungkin tidak pernah terjadi sebelumnya seseorang memuji sebuah buku sedemikian tinggi dan pada saat yang sama menyangkal gagasan-gagasan dasarnya secara menyeluruh dan, kadang, secara keras.

Nozick mulai dari posisi awal Rawls. Menurut Rawls, pada posisi awal ini, orang-orang bertemu bersama dan memutuskan, dalam selubung ketidaktahuan bagaimana mereka akan hidup bersamadan salah satu dari dua prinsip yang muncul dari keputusan ini adalah prinsip perbedaan. Menurut Nozick, karena selubung ketidaktahuan itu, orang-orang dalam posisi ini hanya dapat melihat keadaan akhir distribusi kepemilikan. Tanpa mengetahui apapun tentang sejarah kepemilikan itu (bagaimana kepemilikan ini diproduksi dan/atau dialihkan, atau bagaimana mereka dihakkan pada seseorang), orang-orang tersebut ”akan memperlakukan apapun untuk didistribusikan sebagai suatu barang dari surga”.

Apakah orang-orang dalam posisi awal tersebut pernah berpikir apakah mereka memiliki hak untuk memutuskan bagaimana segala sesuatu akan dibagi-bagi? Mungkin mereka menganggap bahwa karena mereka memutuskan pertanyaan ini, mereka pasti berpikir bahwa mereka berhak melakukan hal itu…

Dengan kata lain, Rawls gagal berlaku adil pada mereka yang memproduksi sesuatu. Ia—tepat dari permulaan titik-tolak konseptualnya (yakni posisi awal)—secara salah yakin bahwa segala sesuatu sudah ada untuk didistribusikan.

Salah satu alasan utama mengapa Rawls gagal melihat sisi produktif keadilan dapat ditemukan dalam pemahamannya tentang bagaimana orang-orang tertentu membuat atau memproduksi lebih banyak dibanding orang lain. Bagi Rawls, orang-orang tertentu bisa lebih banyak menghasilkan hanya karena mereka lebih diberkahi dengan aset-aset alamiah (bakat dan kemampuan). Dan distribusi aset-aset alamiah ini sangat dipengaruhi oleh kontingensi-kontingensi sosial, yang menurut Rawls ”sangat arbitrer dari sudut pandang moral”. Dan karena itu semua sangat arbitrer, hal ini berarti bahwa kontingensi-kontingensi sosial tersebut tidak relevan secara moral. Karena itu, kemampuan sebagian orang untuk memproduksi lebih banyak juga harus dilihat sebagai tidak relevan secara moral. Dari garis pemikiran ini, tidak mengejutkan jika posisi awal Rawls secara sadar mengabaikan asal-usul distribusi dan sejarah produksi.

Bagi Nozick, pandangan bahwa “apa yang arbitrer secara moral tidak signifikan” merupakan suatu pandangan yang salah. ”Setiap orang yang ada,” ujar Nozick, dalam suatu cara yang khas, ”merupakan hasil dari suatu proses di mana satu sel sperma yang berhasil tidak lebih berharga dibanding jutaan yang gagal.” Dengan demikian:

Jika tak ada signifikansi moral yang bisa muncul dari apa yang arbitrer, maka tidak ada eksistensi orang tertentu yang memiliki signifikansi moral, karena dari begitu banyak sel sperma tersebut, sel sperma mana yang berhasil membuahi indung telur (yang sejauh ini kita ketahui) adalah arbitrer dari sudut pandang moral.

Selain itu, Nozick melihat bahwa Rawls terlalu jauh dalam menghubungkan distribusi pencapaian-pencapaian manusia dengan kearbitreran dan kontingensi sosial. Hal ini, menurut Nozick, bertentangan dengan gagasan tentang martabat manusia yang begitu kuat dibela Rawls. Mengapa? Dengan mengaitkan segala sesuatu dengan kontingensi-kontingensi sosial (misalnya, ”kebetulan” dan ”nasib baik”), dan dengan sepenuhnya abai tentang bagaimana individu-individu berusaha mengembangkan bakat dan kemampuan mereka, Rawls menyajikan suatu gambaran manusia yang sangat reduksionis segala sesuatu yang berharga pada diri seorang manusia pasti disebabkan oleh faktor-faktor eksternal, bukan oleh bagaimana ia belajar, bagaimana ia berusaha untuk unggul, serta bagaimana ia membuat pilihan-pilihan yang otonom dan tepat. Di sinilah ironi Rawls:

[Teori Rawls] bisa berhasil dalam menghalangi peneguhan pilihan-pilihan dan tindakan-tindakan otonom seseorang (dan hasil-hasilnya) hanya dengan sepenuhnya mengaitkan segala sesuatu yang berharga dari orang tersebut pada berbagai jenis faktor ”eksternal”. Dengan demikian, melecehkan otonomi dan tanggungjawab seseorang terhadap tindakan- tindakannya merupakan suatu hal yang berbahaya bagi sebuah teori yang sebenarnya ingin menjunjung martabat dan harga-diri makhluk yang otonom; khususnya bagi sebuah teori yang sangat mendasarkan diri (termasuk sebuah teori tentang yang-baik) pada pilihan-pilihan manusia. Patut diragukan bahwa gambaran manusia terlecehkan yang diandaikan dan menjadi dasar teori Rawls tersebut bisa dipadukan dengan pandangan tentang martabat manusia yang ingin di wujudkan dan diejawantahkannya.

Pendek kata, posisi awal Rawls, dengan semua latar belakang konseptual dan premisnya, merupakan suatu konstruksi intelektual yang kontradiktif dan salah. Karena itu, tidak mengherankan jika prinsip-prinsip keadilan yang muncul dari posisi ini juga salah atau kontradiktif. Untuk memperlihatkan hal ini, Nozick menunjuk pada prinsip perbedaan tersebut.

Menurut prinsip perbedaan, struktur-struktur kelembagaan adalah adil, seperti yang dikemukakan Rawls, ”Jika dan hanya jika struktur-struktur itu bekerja sebagai bagian dari suatu skema yang meningkatkan harapan-harapan anggota masyarakat yang paling kurang beruntung.” Dikemukakan secara berbeda: syarat-syarat interaksi sosial antara yang mampu dan yang tidak mampu harus dirancang sedemikian rupa sehingga menjadikan yang kurang mampu tersebut setidaknya tidak menjadi lebih buruk.

Menurut Nozick, hal ini mengandaikan bahwa kita harus mencegah satu kelompok masyarakat (orang-orang yang mampu) untuk mencari keuntungan-keuntungan tambahan, jika dengan melakukan hal itu mereka pada saat yang sama tidak serentak memperbaiki kesejahteraan orang-orang lain (mereka yang kurang mampu). Prinsip tersebut dengan demikian melanggar keterpisahan orang-orang. Dan bagi Nozick, yang paling mencolok adalah bahwa prinsip tersebut jelas mengandaikan suatu hubungan di mana sekelompok orang (mereka yang kurang mampu) memanfaatkan orang-orang lain (mereka yang mampu) sebagai suatu sumberdaya untuk memperbaiki kesejahteraan mereka. Mereka yang mampu tersebut dianggap sebagai sarana untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, yang mungkin atau mungkin tidak sesuai dengan tujuannya sendiri.

Demikianlah ironi lain dari Rawls. Rawls jelas menyatakan bahwa salah satu tugas utama Theory of Justice adalah menyangkal utilitarianisme, yang salah karena mengabaikan keterpisahan orang-orang. Ia mengatakan bahwa ia menyusun Theory of Justice dengan mengikuti suatu tradisi filsafat yang dipelopori oleh Kant, yang doktrin moral utamanya mengakui bahwa tiap-tiap orang adalah makhluk yang otonom, dan karena itu tidak seorang pun boleh dianggap sebagai sarana. Prinsip perbedaan Rawls tersebut, dengan mengandaikan bahwa sebagian orang adalah sarana bagi tujuan orang lain, merupakan suatu penyangkalan yang jelas terhadap doktrin moral Kant ian.

Tentang Kesetaraan

Gagasan utama yang mendorong perkembangan negara kesejahteraan adalah gagasan tentang kesetaraan ekonomi. Gagasan ini, pada masa ketika Nozick menulis Anarchy, State, and Utopia, merupakan gagasan yang sangat menonjol. Mulai dari awal tahun-tahun pasca-Perang hingga sekitar akhir 1970-an, pertanyaan politik dan sosial terbesar di negara-negara industri adalah seberapa jauh dan seberapa cepat mereka memberi ruang bagi negara untuk menjadi sarana untuk mencapai kesetaraan ekonomi. Konteks dunia seperti itu harus diingat ketika kita mendengar kritik Nozick terhadap kesetaraan.

Nozick mulai dengan memperlihatkan suatu fakta penting: meskipun dominan, gagasan tentang kesetaraan seringkali hanya diandaikan; ia “jarang dipertahankan” (garis miring dari Nozick). Para penulis tentang kesetaraan terbiasa mengatakan bahwa n persen populasi terkaya memiliki N persen dari total kekayaan, sementara m persen mereka yang termiskin hanya memiliki M persen. Karena perbedaan antara N dan M terlalu besar, sesuatu dengan demikian harus dilakukan dan para penulis tersebut akan segera menjabarkan bagaimana ketimpangan ini harus diubah. Bukannya menyoroti filosofi atau gagasan-gagasan dasar, para penulis tersebut malah lebih memperhatikan hal-hal teknis dari kesetaraan.

Satu dari sedikit gagasan yang mendapatkan banyak perhatian dari kalangan filsuf adalah gagasan Bernard Williams. Dalam mempertahankan kesetaraan, Williams mengatakan bahwa barang-barang vital harus didistribusikan berdasarkan kebutuhan. Perawatan kesehatan adalah salah satunya. Bagi Williams, dasar yang tepat untuk mendistribusikan perawatan kesehatan adalah keadaan sakit. Namun, karena perawatan medis memerlukan uang, “maka kepemilikan uang yang cukup dalam kenyataan menjadi syarat tambahan yang diperlukan untuk mendapatkan perawatan kesehatan”. Karena itu, sangat mungkin bahwa penyakit si miskin tidak akan mendapatkan perawatan, meskipun berdasarkan kebutuhan ia amat sangat membutuhkannya. Hal ini, bagi Williams, irasional, karena rasionalitas mengharuskan distribusi perawatan medis berdasarkan keadaan sakit (“Ini adalah kebenaran penting”).

Menurut Nozick, Williams tampak berpendapat bahwa jika sebuah aktivitas memiliki “tujuan internal” (mengobati penyakit dalam kasus perawatan kesehatan), maka “dasar yang paling tepat untuk menjalankan aktivitas tersebut terkait dengan pencapaian yang efektif atas tujuan internal itu”. Menurut Nozick, jika kita mengikuti logika argumen ini, kita juga harus menyimpulkan bahwa dasar paling tepat untuk distribusi jasa pangkas rambut adalah kebutuhan pangkas rambut. Setiap pe mangkas rambut harus memangkas rambut siapapun yang datang ke tempatnya tanpa melihat penghasilannya.

“Namun,” tanya Nozick, “mengapa tujuan internal aktivitas tersebut harus diutamakan dibanding, misalnya, tujuan khusus orang itu dalam melakukan aktivitas tersebut?”

Jika seseorang menjadi pemangkas rambut karena ia suka bercakap-cakap dengan beragam orang, dan sebagainya, apakah tidak adil baginya untuk menjalankan layanannya bagi mereka yang paling ingin ia ajak bercakap-cakap? Atau jika ia bekerja sebagai seorang tukang cukur demi mendapatkan uang untuk membayar biaya sekolah, bolehkah ia hanya memotong rambut orang-orang yang membayar atau memberi tip bagus? Mengapa seorang tukang pangkas rambut tidak boleh menggunakan kriteria yang sama dalam menjalankan layanannya sebagaimana orang lain yang aktivitas-aktivitasnya tidak memiliki tujuan internal yang melibatkan orang lain? Haruskah seorang tukang kebun menjalankan layanannya pada halaman-halaman rumput yang paling membutuhkannya?

Sebagian orang mungkin mengatakan bahwa pangkas rambut dan dokter merupakan aktivitas-aktivitas yang berbeda, dalam arti bahwa yang kedua berkaitan dengan layanan yang jauh lebih penting; kesehatan yang baik lebih penting dibanding rambut pendek dan rapi. Namun bagaimana dengan makanan haruskah para petani memberikan beras mereka kepada orang-orang yang membutuhkannya?

Menurut Nozick, kesalahan dasar Williams adalah bahwa ia seperti para pendukung distribusi “hanya melihat pada persoalan alokasi”. Williams tidak peduli pada persoalan tentang darimana layanan-layanan yang akan dialokasikan tersebut berasal. Karena orang-orang berhak atas tindakan mereka sendiri (dalam hal layanan), karena itu mereka bisa memutuskan kepada siapa dan atas dasar apa mereka memberikan sesuatu. Memaksa mereka untuk melakukan hal yang sebaliknya akan melanggar hak mereka (yakni kerja paksa).

Dokter, tukang kebun, pemangkas rambut, dan profesor melakukan pekerjaan mereka dengan tujuan-tujuan mereka sendiri. Sebagian dari mereka hanya ingin mencari uang, dan sebagian yang lain tidak. Menganggap bahwa tujuan-tujuan internal aktivitas-aktivitas mereka lebih penting dibanding tujuan-tujuan yang mereka pikirkan berarti mengabaikan mereka sebagai manusia yang mandiri.

Karena Nozick percaya bahwa hal yang paling penting dalam diri manusia adalah otonomi dan hak-hak mereka, argumen tentang kesetaraan tersebut dengan demikian bagi dia gagal.

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.