Pedang Saleh Afiff

Image by Vlad Ropotica from Pixabay

AKHIRNYA yang ditunggu datang juga: Prof. Saleh Afiff menyerukan perlunya penghapusan monopoli, termasuk monopoli yang mengatur tata niaga sejumlah komoditas. “Seharusnya memang deregulasi dilakukan,” kata Afiff. “Demikian pula monopoli Bulog sebaiknya dibebaskan,” tegasnya (Kompas, 21/8/1997).

Kalau kita simak baik-baik implikasi pernyataan Prof. Saleh Afiff itu, maka sasaran deregulasi ini bisa mencakup sangat banyak tata niaga dan praktik favoritisme, yang selama ini telah melahirkan tingkah laku pengejaran rente ekonomi, menjadi sumber kolusi, serta merugikan rakyat banyak. Salah satu sasaran yang disebut langsung oleh Menko Ekku Wasbang ini adalah monopoli Bulog.

Kalau tokoh yang mengatakan pernyataan demikian adalah Dr Sjahrir, atau Dr Mari Pangestu, atau Kwik Kian Gie, tentu saja kita semua tidak perlu heran. Tapi berbeda halnya jika yang mengatakannya adalah Saleh Afiff. Ia adalah seorang tokoh senior di dalam pemerintahan, seorang perumus ke­bi­jakan dengan posisi sebagai menteri koordinator. Belum lagi kalau kita ingat bahwa ia adalah the last direct link dari “Ke­lompok Prof. Widjojo Nitisastro” yang masih berada dalam pemerintahan sekarang ini. Selain itu, selama berkecimpung da­lam dunia perumusan kebijakan ekonomi, ia dikenal sebagai seorang pendiam yang sangat jarang memberi pernyataan, apalagi pernyataan yang tegas dan blak-blakan.

Karena itulah, jika dunia kebijakan ekonomi bisa diibaratkan sebagai dunia persilatan ala Kho Ping Hoo, maka seruan “deregulation for (almost) all!” dari Saleh Afiff itu bisa saja ditafsirkan sebagai pernyataan “perang”. Ia sudah mengeluarkan pedang dari sarungnya. Pedangnya memang belum ia sabetkan ke kiri dan ke kanan (seruannya masih sebatas retorika, belum aksi). Tapi kita tahu bahwa paling tidak tokoh kita ini sudah me­nyiapkan kuda-kuda.

Jawaban

Mengapa Saleh Afiff mengeluarkan pernyataan demikian sekarang? Jawaban terhadap pertanyaan ini barangkali sudah terlalu jelas. Akibat merosotnya nilai rupiah belakangan ini, dunia perekonomian kita mengalami pukulan berat. Nasib kita memang masih cukup jauh dari nasib buruk sebagaimana yang dialami Meksiko pada akhir 1994 silam. Tapi dalam jangka panjang kemungkinan ke arah sana masih tetap terbuka, jika langkah-langkah penting dan besar untuk menyehatkan kinerja ekonomi kita secara keseluruhan tidak dilakukan.

Saleh Afiff tentu sangat mengerti bahwa tekanan drastis ter­­hadap rupiah tidak dapat dilihat sebagai gejala yang berdiri sen­­diri, apalagi sebagai gejala yang diakibatkan hanya oleh sege­­lintir spekulan. Buat kaum ekonom seperti dia, tingkah-laku pen­­jual dan pembeli (barang, jasa, atau uang) sebenarnya da­pat di­anggap sebagai rambu-rambu pasar, market signals. Ting­kah-laku demikian adalah reaksi rasional terhadap berbagai pa­ra­meter ekonomi yang kompleks. Dan hingga sekarang, jika him­­punan reaksi rasional ini pada suatu waktu mendadak meng­­­ha­silkan peristiwa “irasional” dalam bentuk krisis mata­uang mi­sal­nya, maka teori-teori ekonomi yang ada belum me­mi­liki pe­rang­kat memadai untuk menjelaskannya secara sa­ngat me­ya­kin­kan, apalagi memberi jalan ke luar yang pasti dan men­dasar.

Tentang hal yang terakhir ini, bisa dikatakan bahwa semua jalan ke luar yang ada pada dasarnya bersifat temporer, ad hoc. Katakanlah jika yang dilakukan adalah metode pengetatan rupiah melalui operasi moneter pemerintah. Dalam jangka pendek, metode ini memang bisa terbukti keampuhannya. Tapi kalau digunakan tanpa pembatasan waktu yang jelas, maka ia pasti akan melahirkan apa yang oleh Prof. Paul Krugman, ekonom MIT yang andal dan berlidah tajam itu, disebut sebagai lingkaran setan Meksiko. Dengan kata lain, metode ini memang bisa menyembuhkan sebuah penyakit (rupiah menjadi langka, nilainya menguat), tapi pada gilirannya ia juga akan melahirkan penyakit lain lagi yang tidak kurang berbahayanya (kelesuan investasi berkepanjangan).

Karena itu, dalam berhadapan dengan bayang-bayang sebuah krisis, langkah-langkah paling arif yang dapat kita ambil adalah melakukan peninjauan ulang terhadap “tubuh” sistem ekonomi kita secara menyeluruh. Tubuh inilah yang kita perkuat, kita buat lebih efisien, lebih kompetitif. Dalam jangka panjang, jika hal ini berhasil dilakukan, maka berbagai penyakit ekonomi yang seketika dapat menyerang kita tidak akan gampang membuat kita sempoyongan. Atau kalau toh krisis terjadi, dampaknya sangat minimal dan berjangka pendek.

Dari sudut pandang seperti inilah kita dapat memahami lebih jauh seruan Saleh Afiff itu. Ia ingin agar tubuh ekonomi kita diperkukuh. Dan untuk itu, dalam situasi kita sekarang, hanya tersisa hampir satu-satunya cara, yaitu deregulasi lebih jauh dan lebih tuntas, tanpa pandang bulu.

Mungkinkah?

Bisakah seruan Saleh Afiff menjadi tindakan konkret? Mungkinkah pedang dia bukan cuma dihunus, tapi juga digunakan untuk membabat semak-semak kepentingan yang sudah terlalu jalin-menjalin dalam sistem ekonomi kita? Inilah pertanyaan terbesar yang jawabannya masih menggantung di langit.

Di depan Saleh Afiff dan kawan-kawannya, kaum teknokrat yang sealiran, terbentang banyak rintangan, dari bawah, dan terutama dari atas. Belum lagi kalau kita ingat bahwa sejak be­berapa tahun terakhir ini dorongan reformasi ekonomi sepertinya memang sedang mati angin, digantikan oleh langkah-langkah serta ilusi-ilusi “dirigisme lama dengan wajah baru”. Dalam soal pengentasan kemiskinan, misalnya, pendapat yang kini dominan dalam pusat-pusat kekuasaan adalah pandangan yang pada dasarnya justru sejak lama merupakan bagian dari persoalan ekonomi kita. Pandangan ini bersumber pada asumsi bahwa hanya negaralah, dan bukan sistem pasar bebas, yang dapat menolong rakyat kecil ke luar dari kemiskinannya.

Kita masih bisa memberi banyak contoh lagi dari maraknya dirigisme seperti itu, walau dalam bentuk yang agak berbeda, dalam dunia industri, perburuhan, pertanian. Yang jelas, semua ini adalah persoalan mendasar yang harus dihadapi jika pro­gram deregulasi memang ingin dijalankan sungguh-sungguh.

Walau memang banyak rintangannya, kita sebenarnya masih tetap bisa berharap. Prof. Sadli pernah berkata bahwa bagi kaum teknokrat di republik kita, krisis ekonomi adalah se­macam berkah tersembunyi, blessing in disguise. Kalau ekonomi sedang stabil dan kemakmuran meningkat, kaum penguasa politik biasanya tidak begitu peduli dengan masalah efisiensi dan kaidah-kaidah ekonomi. Tapi jika dunia ekonomi meng­alami krisis, maka mereka menjadi lebih sadar, berubah, dan kaum teknokrat mulai mendapat angin untuk melakukan re­formasi.

“Hukum Sadli” ini pernah terbukti kebenarannya sewaktu kita mengalami turunnya harga minyak pada awal dan per­tengahan 1980-an. Akibat krisis ekonomi pada saat itu, kaum teknokrat, dipimpin oleh Prof. Widjojo, mendapat peluang cukup besar untuk menjadi motor reformasi-deregulasi, dan se­lama beberapa tahun mereka menjalankan peran ini dengan cukup baik.

Harapan kita semua adalah: mudah-mudahan “hukum Sadli” itu berlaku pula dalam waktu dekat ini, yaitu pada saat dampak buruk krisis rupiah semakin kita rasakan.

28 Agustus 1997

 

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.