Peluncuran dan Diskusi Buku Liberalisme Freedom Institute

Lembaga pemikiran Freedom Institute, bekerja sama dengan Kedubes Amerika Serikat Jakarta dan Yayasan Obor Indonesia, akan mengadakan acara peluncuran dan diskusi buku-buku terjemahan yang mengusung paham liberalisme pada tanggal 12, 19, dan 21 September mendatang di Universitas Airlangga Surabaya, Universitas Indonesia Jakarta, dan Universitas Hasanuddin Makassar.

Tema umum diskusi adalah “Liberalisme dan Gagasan-gagasan tentang Masyarakat Bebas”, dengan subtema yang berbeda-beda untuk setiap kampus. Selain untuk civitas akademika, ketiga acara ini juga terbuka untuk peserta umum dan bebas biaya. Semua acara akan dimulai dengan pendaftaran peserta pukul 08:30. Diskusi akan berlangsung hingga selesai pada jam makan siang (yang juga disediakan gratis).

Di kampus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unair, pembicara Saiful Mujani (Lembaga Survei Indonesia), Martin Sinaga (Sekolah Tinggi Teologi Jakarta), dan Ahmad Nur Fuad (IAIN Sunan Ampel Surabaya) akan mendiskusikan sub-tema “Meninjau Kembali Sekularisasi Politik”.

Diskusi ini akan membedah bunga rampai suntingan ilmuwan politik asal Amerika Serikat David C. Leege (University of Notre Dame) dan Lyman A. Kellstedt (Wheaton College) Agama dalam Politik Amerika (Rediscovering the Religious Factor in American Politics, M.E. Sharpe and Inc, 1993).

Di kampus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI, pembicara Rizal Mallarangeng (Freedom Institute), Fransisco Budi Hardiman (Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta), dan Makmur Keliat (Departemen Hubungan Internasional Fisip UI) akan mendiskusikan sub-tema “Liberalisme Klasik dan Penguatan Masyarakat Bebas”.

Diskusi ini akan membedah buku karya filsuf kebebasan Richard A. Epstein (University of Chicago) Skeptisisme dan Kebebasan: Pembelaan Modern untuk Liberalisme Klasik (Skepticism and Freedom: A Modern Case for Classical Liberalism, The University of Chicago Press, 2003).
Di kampus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unhas, pembicara Luthfi Assyaukanie (Jaringan Islam Liberal) dan Deddy Tikson (Fisip Unhas) akan mendiskusikan sub-tema “Menegakkan Kebebasan Sipil, Membangun Budaya Demokrasi”.

Diskusi ini akan membedah buku karya Tibor R. Machan Kebebasan dan Kebudayaan: Esai-esai tentang Masyarakat Bebas (Liberty and Culture: Essays on Ideas of a Free Society, Prometheus Books, 1989).

Acara peluncuran dan diskusi buku ini adalah bagian dari program penerjemahan buku tahunan yang dikelola oleh Freedom Institute, lembaga nirlaba yang banyak dikenal aktif mengadakan berbagai diskusi dan acara publik lain seperti Penghargaan Achmad Bakrie yang baru saja diselenggarakan setiap menjelang Hari Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus. Lembaga ini juga telah menghasilkan sejumlah penelitian, seperti studinya tentang sentimen anti-Amerikanisme yang telah dibukukan dalam terbitan berjudul Benturan Peradaban (Saiful Mujani et. Al., Freedom Institute dan Nalar, 2005). Informasi lebih lanjut "http://www.freedom-institute.org"

1. SURABAYA (Selasa, 12 September 2006)  Studi tentang hubungan agama dan politik merupakan suatu tradisi keilmuan yang sudah lama terkembang. Perdebatan tentang sejauh mana agama berpengaruh pada politik, atau sebaiknya, adalah isu yang selalu menarik perhatian para sarjana politik, sosiologi, maupun filsafat.

Buku Leege dan Kellstedt ini mengumpulkan sejumlah sarjana kenamaan dalam berbagai turunan bidang studi ini, yang membahas berbagai aspek hubungan yang ada antara agama dan politik. Walaupun konteks studi semuanya adalah politik Amerika Serikat, tradisi keilmuan yang diusung para sarjana ini pada dasarnya bisa dijadikan referensi yang sangat penting untuk memahami hal sama di negeri seperti Indonesia, di mana isu sekularisasi politik selalu menjadi topik perdebatan yang hangat.

Buku ini sendiri membahas berbagai pertanyaan menarik yang sering kali terabaikan sebelumnya dalam penelitian ilmu politik seperti: apa peran Kristen konservatif dalam menentukan sikap politik, pilihan pemilu, dan strategi kampanye. Bahasan dalam berbagai tulisan yang terkumpul dalam buku rampai ini melampaui pemilahan struktur keyakinan tradisional Katholik/Protestan/Yahudi. Tradisi baru yang diusung para sarjana ini adalah memperbandingkan dan mempertentangkan berbagai kubu agama menurut denominasi doktrin, dan pengukuran diri mereka.

Diskusi ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini:
(i).  Sejauh tradisi keilmuan ini relevan bagi kesarjanaan ilmu politik yang menekuni isu agama dan politik di Indonesia?

(ii). Apa tantangan terbesar membumikan pemahaman isu sekularisasi politik Indonesia yang terbesar dewasa ini?

(iii). Bagaimana faktor agama dalam politik Indonesia seharusnya diletakkan?

Pembicara:

i. Saiful Mujani (Peneliti Senior, Freedom Institute)
Tugas: menjawab pertanyaan (i).

ii. Ahmad Nur Fuad (Dosen IAIN Sunan Ampel)
Tugas: menjawab pertanyaan (ii).

iii. Martin Sinaga (pengajar Sekolah Tinggi Teologi Jakarta)
Tugas: menjawab pertanyaan (iii).

Moderator: Erlangga Pribadi (Fisip UNAIR)

2. JAKARTA (Selasa, 19 September 2006) Salah satu keunggulan tradisi pemikiran liberalisme adalah pengakuannya akan vulnerabilitas manusia sebagai individu bebas. Oleh karenanya, tradisi ini mengembangkan berbagai pemikiran akan perlunya institusi-institusi yang mampu melindungi manusia dari kebebasannya sendiri.

Bagi beberapa pendukung fanatik liberalisme; yang muncul dengan berbagai nama berbeda, seperti libertarianisme, liberalisme pasar bebas, ekonomi laissez-faire, atau kapitalisme; pasar bebas sudah pasti telah menyediakan semua jawaban terhadap berbagai persoalan menyangkut organisasi manusia ini.

Pasar bebas, bahkan, boleh dikatakan telah menjadi semacam mantra yang mampu menjawab seluruh persoalan tersebut. Banyaknya penolakan terhadap liberalisme pada umumnya di Indonesia bisa jadi adalah bagian dari kesalahpahaman terhadap tradisi pemikiran ekonomi-politik liberalisme klasik yang muncul dengan berbagai nama berbeda yang disebutkan di atas. Yang menarik, kesalahpahaman ini bukanlah unik Indonesia, melainkan juga terjadi di Amerika Serikat, negeri yang katanya paling liberal di dunia.

Menurut Richard A. Epstein, seorang ahli hukum-ekonomi kenamaan dari sebuah universitas yang terkenal sebagai gudang pemikir libertarian, yakni University of Chicago, pasar bebas ; apalagi hanya kapitalisme saja; belumlah mampu menyediakan semua jawaban terhadap berbagai persoalan menyangkut organisasi manusia ini. Untuk itu Epstein mencoba memutakhirkan tradisi pemikiran liberalisme klasik, yang menurutnya, jika dipahami dengan benar, mampu menyediakan kompas bagi penguatan institusi masyarakat di mana pun di dunia ini. Liberalisme klasik, menurutnya adalah liberalisme “otentik”, adalah tradisi pemikiran yang tidak saja menaruh kepercayaannya pada otonomi individu, pada hak-hak kepemilikan yang ditetapkan hukum, dan pada suatu sistem ganti-rugi yang mengimbangi tidak idealnya isu “paksaan dan penipuan” dalam dunia nyata ; tapi juga adalah tradisi pemikiran yang tidak ragu mengakui bahwa pemerintahan yang terbatas juga membutuhkan kewenangan koersifnya sendiri. Seorang liberal tulen bukanlah seorang anarkis yang menganggap negara sebagai musuhnya, demikian ia mengingatkan.

Bedah buku dan diskusi ini akan menjawab, antara lain, pertanyaan:

(i). Bagaimana persisnya pemahaman “modern” yang ditawarkan Epstein?

(ii). Apakah benar, Indonesia juga bisa menggunakan pemahaman ini sebagai kompas bagi penguatan institusi masyarakat bebasnya? Apa risiko atau taruhan jika pemahaman seperti ini dijalankan di Indonesia?

Pembicara:

i. Fransisco Budi Hardiman (dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta)
Tugas: menjawab pertanyaan (i).

ii. Rizal Mallarangeng (Direktur Eksekutif Freedom Institute)
Tugas: menjawab pertanyaan (ii).

iii. Makmur Keliat (dosen Fisip UI)
Tugas: menjawab pertanyaan (ii).

Moderator: Meidyatama Suryodiningrat (Managing Editor The Jakarta Post)

3. MAKASSAR (Kamis, 21 September 2006) Tegaknya kebebasan sipil adalah salah satu prasyarat bagi tumbuh dan berkembangnya demokrasi yang otentik. Kebebasan sipil mengandaikan adanya penghormatan terhadap otonomi individu dan potensinya untuk bertumbuh kembang tanpa kekangan. Tradisi pemikiran liberal selalu menafikan berbagai argumen sosialistis yang memberangus otonomi tersebut demi suatu ide atau tindakan yang mengatasnamakan kepentingan bersama.

Tanpa penegakan kebebasan sipil, “demokrasi” yang tercipta bisa berakhir menjadi sesuatu yang justru merampas kebebasan individu yang sedianya dilindunginya itu. Buku Tibor R. Machan, seorang libertarian Amerika Serikat, membahas berbagai kekuatan sosial, baik itu kekuatan ekonomi, politik, atau agama, yang acap kali menjadikan orang apatis, cepat puas diri, atau penurut. Menurutnya, ketika dihadapkan pada masa-masa sulit, banyak masyarakat yang terjun ke penyelesaian utopis yang menjanjikan pemuasan dengan jalan otoriter atau paternalistik. Otonomi individu dan kebebasan sering dikorbankan dalam mencapai tujuan sosial. Hubungan penting antara kebebasan dan kebudayaan ditinggalkan, diabaikan, atau diberangus.

Kumpulan berbagai tulisan lepas Machan ini adalah suatu upaya untuk menangkis kecenderungan yang membahayakan ini, sekaligus untuk menggalakkan kebebasan individu dalam masyarakat, di Amerika Serikat khususnya dan di dunia demokratis pada umumnya. Bukunya berisi berbagai contoh ; yang diambil dari zamannya, yakni sebelum tumbangnya Komunisme Uni Soviet ; yang mungkin bermanfaat untuk direnungkan kembali di zaman “Perang Melawan Teror” ini. Argumen pokok Machan adalah bahwa individualisme yang tumbuh subur adalah faktor penentu kemajuan umat manusia.

Kebebasan individu untuk memilih dan bertindak, yang terpadankan dengan penghormatan terhadap hak orang lain, sungguh vital bagi lestarinya perkembangan masyarakat dan dasar-dasar kebudayaannya ; khususnya, dalam hal Indonesia khususnya, tumbuhnya budaya demokrasi liberal. Diskusi ini diharapkan mampu memutakhirkan berbagai argumen liberal yang mengusung gagasan penegakan kebebasan sipil (individu).

Beberapa pertanyaan yang akan dibahas meliputi:
(i). Apa yang telah berubah setelah zaman tumbangnya Komunisme dan apa yang masih sama setelah pecahnya “Perang melawan Terorisme”? Bagaimana di dunia, bagaimana di Indonesia pada umumnya?
(ii). Apa tantangan bagi penegakkan kebebasan sipil di tingkat lokal seperti di Sulawesi Selatan, khususnya di Makassar? Tantangan budaya seperti apa yang menghadang tegaknya kebebasan sipil di tingkat lokal?

Pembicara:
i. Luthfi Assyaukanie (Associate Freedom Institute)
Tugas: menjawab pertanyaan (i).i

i. Deddy Tikson (Dekan Fisip Unhas)
Tugas: menjawab pertanyaan (ii).

Moderator: Sjarifudin Atje (Dosen Unhas)

Peserta  Acara peluncuran dan diskusi mengharapkan kehadiran sekitar 150-250 peserta dari kalangan wartawan, tokoh masyarakat, akademisi, dan lembaga pemerintah dan nonpemerintah.

Tempat / Jam /
1. Surabaya, Fisip UNAIR/ 08:30 – 13:00
2. Jakarta, Gedung AJB Bumiputera Fisip UI, Depok/ 08:30 – 13.00
3. Makassar, kampus Fisip Unhas/ 08:30 – 13:00

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.