Pendekatan Otonomi Negara: Bagaimana Mengkritiknya?

Gambar oleh iqbal nuril anwar dari Pixabay

Dalam Bagian III buku Przeworski, The State and The Economy Under Capitalism (1990), pendekatan yang mene­kankan pentingnya negara dalam analisis ekonomi politik pada dasarnya terbagi menjadi dua bagian: pendekatan otonomi relatif dan pen­dekatan negara sentris. Esai pendek ini hanya akan membahas pendekatan yang pertama.

Sebagaimana yang kita tahu, pendekatan otonomi negara, serta pendekatan negara sentris cukup berhasil dalam “me­masuk­kan kembali negara” ke dalam wacana ilmu sosial, setidaknya sejak akhir 1960-an. Keduanya mampu memberikan dasar-dasar yang lebih konseptual bagi mereka yang ingin menyerang fondasi liberal dari apa yang kadang disebut sebagai teori-teori sosial utama (teori-teori sosial behavioral, fungsionalisme struktural, teori-teori modernisasi). Dengan memperlihatkan bahwa peran negara terutama ada dalam proses-proses sosial, politik, dan ekonomi, kalangan “statist” tersebut secara langsung menentang asumsi-asumsi—yang dirumuskan oleh para pelopor pemikiran liberal (Hobbes, Locke, Mill, Hume)—bahwa masing-masing warganegaralah yang menciptakan negara, dan bahwa yang terakhir ini hanya merupakan pelayan yang mengemban amanat yang pertama.i

Seberapa jauh kita bisa mengatakan bahwa pendekatan otonomi negara tersebut merupakan suatu pendekatan yang baik dalam menjelaskan hubungan antara proses-proses politik dan ekonomi di masa kapitalisme modern sekarang ini, dalam pengertian bahwa pendekatan tersebut meyakinkan, bisa di­terima secara logis dan empiris?

Pada dasarnya inilah pertanyaan yang ingin dijawab oleh Przeworski ketika ia mengemukakan argumen-argumen inti kalangan statist. Dalam melakukan hal tersebut, Przeworski melancarkan banyak kritik yang menarik terhadap mereka. Esai pendek ini ingin ikut serta dalam kritik Przeworski tersebut. Esai ini juga bermaksud bergerak sedikit lebih jauh dengan memperlihatkan bahwa ada sesuatu yang luput dalam kritik-kritik Przeworski itu, dan bahwa kita bisa mengembangkan kritiknya untuk memberi pukulan telak pada para teoretisi otonomi negara.

***

Menyangkut definisi otonomi negara, Przeworski setuju dengan rumusan Skocpol bahwa negara otonom ketika para pe­ngelolanya “bisa membentuk dan mengejar tujuan-tujuan yang tidak sekadar mencerminkan tuntutan-tuntutan atau kepentingan-kepentingan berbagai kelompok dan kelas sosial atau masyarakat”. Negara otonom ketika ia bertindak atas nama kepentingannya sendiri.ii

Sebagaimana yang umum diketahui, teori-teori tentang otonomi negara sebagian besar bersandar pada analisis kelas. Marx-lah yang mulai merumuskan persoalan tentang sebuah ne­gara yang otonom. Bagi Marx, sebagaimana yang dijelaskan dengan baik oleh Przeworski, otonomi negara itu “eksepsional” ia adalah sejenis teka-teki yang tidak cukup cocok untuk di­masuk­kan ke dalam teori besar Marx. Karena politik tidak lain merupakan suatu cerminan dari hubungan-hubungan ekonomi, negara dapat dipastikan sekadar merupakan alat dari kelas yang paling berkuasa, yakni kaum borjuis. Namun, sebagaimana yang diakui Marx sendiri dalam the Eighteen Brumaire of Louis Bonaparte, negara Bonapartis bukan merupakan suatu alat: ia bergerak menghancurkan kepentingan-kepentingan kelas yang dianggap sebagai tuannya.

Dari persoalan yang tak-terpecahkan dalam analisis Marx inilah teori-teori tentang otonomi negara bermula. Bagi Przeworski, dalam perkembangannya sekarang ini, teori-teori tersebut dapat dibedakan ke dalam tiga kubu: teori abdikasi (abdication theory), teori borjuasi lemah, dan teori keseim­bangan kelas.

Teori Abdikasi

Teori ini, bagi Przeworski, mengandaikan bahwa kaum borjuis “mam­pu untuk memerintah secara langsung, namun meng­anggap bahwa demi kepentingannya sendiri ia tidak melakukannya”. Teori ini menyatakan bahwa biaya untuk merebut, dan menjalan­kan, kekuasaan terlalu tinggi bagi asing-masing kapitalis,

Teori Borjuasi Lemah

Teori ini (yang umumnya digunakan dalam menjelaskan negara-negara Dunia Ketiga) menganggap bahwa negara oto­nom karena kaum kapitalis lemah. Kaum kapitalis Dunia Ketiga berbeda dari kaum kapitalis Eropa Barat: yang pertama sangat bergantung pada modal luar negeri; kurang memiliki sumberdaya ideologis dan organisasi; dan terpecah menurut garis sektoral.

Teori Keseimbangan Kelas

Bagi teori ini, kemampuan kaum kapitalis untuk memperoleh kekuasaan bergantung pada kekuatan lawan-lawannya. “Jika lawan-lawannya juga kuat secara politik, ada ruang bagi negara untuk menjadi otonom.” Di sini, menurut Przeworski, otonomi ne­gara merupakan “ekuilibrium teoretis permainan tersebut:tak satu pun kelas ingin merebut kekuasaan karena melihat kemungkinan pembalasan dari lawannya, dan akibatnya adalah ne­gara mendominasi kedua kelas”.

Bagaimana kita mengkritik teori-teori ini? Jika kita mengikuti Przeworski, jawabannya cukup jelas: merumuskan kembali asumsi-asumsi dasar mereka dan—dengan logika deduktif yang ketat dan rujukan-rujukan empiris yang tepat—melihat apakah asumsi-asumsi ini bisa dipertahankan. Metode ini, menurut saya, memungkinkan Przeworski untuk memberikan kritik yang sangat singkat, padat, dan kuat di seluruh bukunya.

Tentang teori abdikasi, Przeworski mengatakan bahwa kita hendaknya tidak meyakini begitu saja asumsi bahwa memang karena kepentingan kaum kapitalis sendirilah kenapa mereka menyerahkan kekuasaan. “Akankah kepentingan mereka [kaum kapitalis] benar-benar terlayani secara lebih baik jika mereka me­narik diri dari usaha merebut kekuasaan politik?” Teori tersebut tidak pernah menjelaskan mengapa negara yang kuat dan otonom akan terus melindungi kaum borjuis setelah ia mendapatkan kekuasaan.

Di sisi lain, Przeworski juga menyatakan bahwa dengan mengikuti argumen teori dependesi struktural—kaum kapitalis pada dasarnya terlindungi terlepas dari siapa yang berkuasa da­lam wilayah politik. Pendeknya, kaum borjuis tidak perlu menyerahkan kekuasaannya untuk menjadi terlindungi. Sangat sedikit contoh dalam sejarah di mana kita bisa melihat negara yang kuat berbalik menentang kaum borjuis.

Tentang teori borjuasi lemah, Przeworski menjelaskan bahwa asumsi dasar bahwa kaum borjuis Eropa Barat itu kuat di masa awal perkembangan kapitalisme adalah salah. “Negara otonom dalam sebagian besar kasus ‘klasik’ sebagaimana di beberapa negara yang kurang maju dan penekanan pada borjuasi yang lemah tersebut tidak memiliki dasar eksplanatoris.” Apa yang bisa dijelaskan oleh kelemahan kaum kapitalis tersebut adalah bahwa “ada ruang kekuasaan untuk diisi, namun bukan bahwa ia terisi dan bagaimana [mengisinya]”.

Tentang teori keseimbangan kelas, Przeworski menyatakan bahwa hubungan antara dinamika kelas dan bentuk-bentuk negara meragukan. Teori ini bersandar pada “lompatan fung­sionalis”, yang sangat bisa dipertanyakan. “Apa yang menjamin bahwa ketika borjuasi yang kuat dilawan oleh proletariat revolusioner yang kuat, negara fasis atau negara yang secara fungsional sama akan muncul...? Dan apa yang mencegah ke­munculan sebuah negara yang sangat mirip dengan negara fasis sekalipun semua kelas lemah?”

Berbagai kritik Przeworski ini memperlihatkan banyak persoalan besar yang terdapat dalam teori-teori tentang oto­nomi negara. Misalnya saja tentang teori borjuasi lemah. Pen­jelasannya tentang otonomi negara-negara Dunia Ketiga, dan ten­­tang kegagalan munculnya sistem demokratis, bersandar pada suatu kesalahpahaman besar atas sebuah fakta sederhana tentang perkembangan kapitalisme di Eropa Barat. Para teoretisinya cukup mendalam dalam menjelaskan detail-detail kapitalisme di Dunia Ketiga; namun mereka terlihat hampir se­penuhnya tidak memahami apa yang terjadi dengan kapitalisme di Eropa Barat. Przeworski, dengan hanya memperlihatkan sebuah fakta sederhana (bahwa kaum borjuis tidak pernah memerintah secara langsung, kecuali untuk beberapa tahun di Prancis setelah Revolusi), menentang gagasan bahwa kelemahan kaum kapitalis Dunia Ketiga memiliki kaitan dengan kuatnya negara-negara Dunia Ketiga.

Pada dasarnya, jenis kritik seperti ini juga bisa dilancarkan pada isu lain yang dikemukakan oleh teori borjuasi lemah tersebut. Dalam menjelaskan mengapa demokrasi gagal menyertai perkembangan ekonomi kapitalis di Dunia Ketiga, teori tersebut menjelaskan bahwa karena kaum kapitalis lemah, mereka tidak bisa mencapai tujuan mereka dalam membangun sistem politik yang sesuai dengan kepentingan mereka (demokrasi). Sekali lagi, teori tersebut mengandaikan bahwa demokrasi muncul di Eropa Barat karena kaum kapitalis kuat, mampu memaksa rezim lama untuk membangun pemerintahan baru. Jika kita bisa mem­perlihatkan bahwa asumsi ini tidak benar (sebagaimana yang dilakukan Przeworski), maka penjelasan tentang otoritarianisme yang terus-menerus muncul di sebagian besar negara Dunia Ketiga menjadi sangat kurang meyakinkan. Kaum kapitalis Dunia Ketiga memang lemah, namun demikian juga kaum kapitalis Eropa di abad terakhir di Eropa Barat demokrasi berkembang, sementara di Dunia Ketiga tidak, sehingga pen­jelasan kita seharusnya melampaui kuat/lemahnya kaum borjuis.

Kritik yang paling keras terhadap teori ini, yang tidak disebutkan oleh Przeworski, bisa dikemukakan ketika kita melihat berbagai fakta yang belakangan ini berkembang di beberapa negara Dunia Ketiga. Lihat misalnya apa yang terjadi pada Korea Selatan. Hingga pertengahan 1980-an, negara ini merupakan contoh yang sangat jelas dari sebuah negara dengan kaum kapitalis yang sangat lemah (yakni bergantung); untuk akses eko­nominya mereka bergantung pada negara militer-otoritarian, dan pada modal asing untuk pembentukan modal (selain Meksiko, Korea Selatan pada pertengahan 1980-an merupakan negara Dunia Ketiga dengan utang paling banyak). Namun, pada 1986/87 perlahan terjadi perubahan: demokratisasi berkembang.

Apa yang tercakup dalam proses ini adalah suatu transformasi negara dari negara yang sangat otonom (negara militer-otoritarian) menjadi sesuatu yang kurang mampu bertindak atas namanya sendiri terlepas dari apapun kepentingan rakyat—dan transformasi ini terjadi ketika kondisi dasar kaum borjuis tetap tidak berubah: ia “lemah” pada akhir 1980-an, se­bagaimana pada akhir 1970-an, dan awal 1980-an.

Fakta ini merupakan suatu pukulan yang telak terhadap teori borjuis lemah tersebut: jika kita meyakini argumen-argumennya, kita jelas akan gagal untuk memahami apa yang se­benarnya terjadi di Korea Selatan, dan di banyak negara, bukan hanya di Dunia Ketiga, yang sekarang ini mengalami proses perubahan rezim.

Teori keseimbangan kelas juga akan mengalami kesulitan untuk menjawab berbagai pertanyaan Przeworskian. Mengapa, misalnya, sebuah negara yang demokratis gagal dibangun jika baik kaum kapitalis maupun kaum pekerja kuat? Berbagai fakta perkembangan negara kesejahteraan pasca-Perang Dunia II di Skandinavia, Jerman (Barat), dan Britania memperlihatkan bahwa kompromi (Keynesian) antara kedua pihak yang kuat dan saling bersaing ini mungkin terjadi, tanpa menyeret sistem politik ke dalam fasisme. Teori tersebut gagal di hadapan fenomena politik dan ekonomi yang paling penting dalam kehidupan Eropa modern (yakni: pembentukan negara kesejahteraan melalui mekanisme-mekanisme demokratis).

Dengan demikian, Przeworski secara tidak langsung membuat kita melihat persoalan teoretis utama dari teori ke­se­imbangan kelas ini. Persoalan ini bisa dilihat secara langsung dari ke­salahan Marx ketika ia merumuskan hubungan kepentingan kelas dan kepentingan politik. Marx salah ketika ia mengatakan bahwa kepentingan kaum kapitalis di wilayah politik adalah pembentukan demokrasi, sementara kepentingan kaum pekerja adalah pembentukan kediktatoran proletariat.iii Di sini Marx

samasekali tidak memberi ruang bagi kaum kapitalis dan kaum pekerja untuk berkompromi—hubungan mereka di­definisikan sebagai suatu hubungan zero-sum. Di sini Marx di­sangkal oleh bukti-bukti sejarah; namun para teoretisi ke­se­imbangan kelas tersebut menolak untuk mengakui bukti-bukti ini. Secara tak sadar, mereka mengulangi kesalahan Marx, dan memperluasnya untuk menjelaskan bahwa dalam keadaan di mana kedua kelas tersebut kuat, fasisme niscaya akan dite­guh­kan sebagai suatu jenis kompromi, suatu jenis keseimbangan antara hubungan kuat-kuat. Saya akan menjabarkan secara lebih luas persoalan analisis kelas ini nanti, saat saya mencoba memperlihatkan bahwa kritik Przeworski terhadap pendekatan otonomi negara pada dasarnya bisa dikembangkan lebih jauh untuk mempertanyakan argumen teoretis utama yang men­dasari pendekatan itu.

Teori abdikasi mungkin merupakan teori yang paling kurang bisa dipertahankan. Jika kita meyakini argumen-argumen teori dependensi struktural yang disebutkan Przeworski, persoalan tentang penyerahan (abdication) menjadi hampir tidak relevan dalam pembahasan isu otonomi negara. Negara, karena ia membutuhkan modal yang diberikan oleh kaum borjuis, tidak akan pernah mampu menghancurkan kepentingan utama pihak yang terakhir ini—yakni, untuk mengakumulasi modal. Juga merupakan kepentingan negara untuk tidak menghancurkannya. Jadi, apakah kaum kapitalis mengundurkan diri atau tidak, kepentingan utama mereka akan tetap terlindungi. Penyerahan dan otonomi negara dengan demikian merupakan dua hal yang tidak saling terkait. Tidak ada argumen yang mungkin bisa diberikan oleh teori ini untuk menjelaskan suatu fenomena yang sangat mungkin terjadi: kaum borjuis berpartisipasi dalam permainan kekuasaan, yang menjadikan negara kurang otonom, dan, pada saat yang sama, tidak menciptakan sebuah keadaan di mana proses akumulasi modal pribadi menjadi sangat terancam.

***

Sebagaimana yang telah kita lihat sebelumnya, Przeworski sangat sadar bahwa fondasi teoretis pendekatan otonomi negara didasarkan pada analisis kelas Marxian. Ketiga kubu dalam pendekatan itu percaya pada asumsi-asumsi Marxian yang sama tentang kelas dan kepentingan kelas; mereka berbeda hanya dalam menjelaskan tindakan nyata sebuah kelas tertentu dan akibat-akibat dari suatu hubungan tertentu di antara kelas-kelas sosial.

Setelah menyadari hal ini, sangat aneh mengapa Przeworski, dalam usahanya untuk mengkritik teori-teori tentang otonomi negara, tidak secara langsung menyerang fondasi teori-teori tersebut. Memang, ketika ia mengkritik teori keseimbangan kelas, sebagaimana yang telah kita lihat di atas, ia membawa kita menentang teori tersebut dan metode analisis kelas dalam memahami otonomi negara, atau dalam memahami negara sebagai sebuah entitas politik secara umum. Namun kritiknya tidak memberi kita dasar yang lebih kuat yang dibutuhkan untuk melancarkan serangan langsung pada struktur konseptual yang paling dalam dari teori-teori tersebut.

Apa yang perlu kita lakukan adalah mempertanyakan analisis kelas itu sendiri sebagai serangkaian asumsi dan suatu pen­jelasan tentang hubungan-hubungan manusia dalam sebuah sistem ekonomi tertentu. Kita harus bertanya apakah analisis kelas tersebut menjadikan kita mengajukan pertanyaan yang salah dan membuat kita salah memahami berbagai persoalan dari proses-proses politik dalam kapitalisme kontemporer. Bagaimanapun, Marx merumuskan analisis kelasnya ketika kapitalisme masih ada di masa awalnya.

Jika kita dapat menyangkal analisis kelas ini, konsep otonomi negara itu sendiri mungkin akan menjadi tidak bermakna. Di sini saya cenderung mengatakan bahwa kita bisa mela­kukannya.

Kapitalisme telah banyak berubah sejak Marx merumuskan gagasan-gagasannya. Kepemilikan sarana-sarana produksi sekarang ini menjadi jauh lebih rumit. Sekarang ini sangat umum bahwa, karena berbagai inovasi finansial seperti obligasi dan saham, ribuan pekerja dan pensiunan menjadi pemilik sebuah perusahaan pribadi. Meskipun sekarang ini hampir tidak ada sebuah perusahaan swasta besar yang dimiliki oleh dua atau tiga “kapitalis”, makna kepemilikan itu sendiri telah berubah. Me­reka yang memiliki perusahaan tersebut tidak lagi penting: yang paling penting adalah siapa yang menjalankannya (para manajer, para MBA, para pekerja ahli).

Gagasan tentang pekerja sekarang ini juga menjadi lebih rumit. Kita harus membedakan antara pekerja terampil dan tak-terampil. Juga akan menyesatkan jika kita tidak mem­be­dakan antara mereka yang bekerja di sektor manufaktur dan di sektor jasa, dan mereka yang bekerja di sektor swasta dan publik.

Dengan demikian, melihat berbagai perubahan ini,iv akan me­nyesatkan jika kita terus meyakini gagasan-gagasan lama Karl Marx. Sekarang ini, sangat sulit untuk mendefinisikan posisi kelas dan hubungannya dengan “kepentingan obyektif”. Ambil contoh kaum borjuis. Siapa mereka? Mengapa kita tidak bisa mengatakan bahwa jutaan pekerja yang memiliki saham adalah kaum kapitalis? Mengapa seorang Rockefeller dalam kapitalisme 1990-an dianggap seorang borjuis jika ia hanya memiliki sebagian saham dari beberapa perusahaan besar namun tidak mengelola bisnis harian mereka? Sekarang tentang “kepentingan obyektif”. Sekarang ini menjadi semakin umum di banyak negara maju fenomena bahwa kaum “kapitalis” dan kaum pekerja tak-terampil mereka memiliki kepentingan yang sama: keduanya hanya bisa bersandar pada proses-proses politik di parlemen (demokrasi) untuk mendapatkan perlindungan terhadap persaingan internasional.

Karena berbagai perubahan ini, analisis kelas Marxian hanya akan menyesatkan kita dalam memahami hubungan antara proses-proses politik dan ekonomi. Ambil contoh per­soalan tentang penyerahan kekuasaan (abdication), misalnya. Dalam kapitalisme modern sekarang ini, sangat sulit dipahami kaum ka­pitalis sebagai sebuah kelas (untuk sementara lupakan bahwa “kelas” di sini merupakan istilah yang sangat problematis) menyerahkan kekuasaan: karena diversifikasi aktivitas ekonomi, selalu akan ada orang-orang yang perlu berpartisipasi dalam proses-proses politik demi untuk memajukan kepentingan-kepentingan perusahaan mereka, dan selalu akan ada orang-orang yang, karena mereka bisa lebih bersandar pada kreativitas ekonomi mereka, melihat proses politik semata-mata sebagai gangguan.

Atau cermati masalah keseimbangan kelas. Apakah memang yang terjadi adalah bahwa hanya kaum kapitalis yang tertarik pada demokrasi, sementara kaum pekerja pada sesuatu yang lain? (sekali lagi, untuk sementara mari kita lupakan bahwa “kaum kapitalis” dan “kaum pekerja” sekarang ini tidak lagi mudah didefinisikan). Dalam banyak kasus, sekarang ini, sebagaimana yang telah kita lihat di atas, kaum kapitalis dan kaum pekerja tak-terampil memiliki kepentingan besar dalam demokrasi. Perkembangan negara-negara kesejahteraan juga memberikan suatu bukti yang meyakinkan bahwa demokrasi pada dasarnya merupakan sesuatu yang menyatukan kaum borjuis dan kaum pekerja dalam kepentingan bersama, yakni: menjaga kedamaian sosial.

Karena itu, sekarang ini cukup memadai untuk memperlihatkan bagaimana analisis kelas tidak lagi bisa dipertahankan tanpa mempertaruhkan akal sehat kita dalam memahami hubungan antara proses politik dan ekonomi dalam kapitalisme modern. Dan, sebagaimana yang diandaikan Przeworski, tanpa analisis kelas pendekatan otonomi negara menjadi rumah kartu tanpa fondasi (teoretis). Ia menjadi tak meyakinkan dan karena itu harus ditinggalkan.

i. Pengaruh langsung dari asumsi-asumsi ini pada ilmu politik pasca-Perang bisa dilihat, misalnya, dalam rumusan sistem politik David Easton. Di sini pemerintah atau negara dilihat hanya sebagai sebuah kotak kosong, yang menunggu untuk diisi oleh berbagai kepentingan dari para partisipan politik yang saling bersaing. Penting untuk melihat bahwa Marx, meskipun ia mencurahkan sebagian besar karyanya untuk mengkritik para pemikir liberal, tidak dapat sepenuhnya melepaskan diri dari asumsi-asumsi ini. Negara, bagi Marx, juga sekadar merupakan pelayan, sebuah kotak kosong. Perbedaannya, dari perspektif ini, adalah bahwa kaum liberal klasik tersebut menekankan unit analisis pada tiap-tiap warganegara, sementara Marx dan kaum Marxis pada kelas-kelas sosial.

ii. Przeworski memberikan penjelasan konseptual lebih lanjut ketika ia menyatakan bahwa kita harus bisa membedakan dua hal: kemampuan negara untuk merumuskan tujuan-tujuannya sendiri, dan kemampuannya untuk mengejawantahkan tujuan-tujuan ini. Jika negara hanya mampu melakukan yang pertama, dan gagal melakukan yang kedua, maka gagasan tentang otonomi bagi negara seperti itu tidak bermakna. Hanya jika negara bisa melakukan keduanya maka ia bisa disebut otonom. yang hanya ingin menikmati keuntungan eksploitasi, hak milik pri­badi yang aman, dan kehidupan keluarga. Kaum kapitalis men­yerahkan kekuasaan mereka demi untuk menikmati perlindung­an dari negara (otoriter). Karena itulah muncul otonomi ne­­gara.

iii. Ketika Marx mendukung gagasan tentang partisipasi kaum pekerja dalam parlemen Inggris, dukungannya tersebut bersyarat. Ia berkata bahwa partisipasi tersebut hendaknya merupakan partisipasi sementara, sampai kaum pekerja menjadi cukup kuat untuk menggantikan “parlemen borjuis” dan demokrasi tersebut dengan kediktatoran proletariat (lihat McLellan, ed., Karl Marx: Collected Writings, 1987, Oxford University Press).

iv. Sebenarnya ada lebih banyak hal yang bisa kita katakan tentang hal ini, misalnya, glo­balisasi perusahaan-perusahaan swasta, internasionalisasi perekonomian nasional.

 

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.