Perpustakaan Nasional Pattingalloang: Sebuah Usul

Gambar: qureta.com

Akhirnya, berita baik yang lama ditunggu datang juga. Presiden Joko Widodo baru saja meresmikan Gedung Perpustakaan Nasional, dengan lokasi persis di pusat Ibukota Republik Indonesia, Jalan Medan Merdeka Selatan. Digagas pertama kali oleh Bung Karno di tahun 1952, harapan mulia itu kini terwujud.

Bahkan tidak main-main. Dengan koleksi buku dan naskah lebih sejuta, dengan bangunan setinggi 24 lantai serta ruang baca yang nyaman dan leluasa, plus lokasinya yang amat strategis, gedung baru ini pantas menjadi ikon baru Jakarta.

Kita bersyukur, di tengah kesibukannya membangun infrastruktur jalan dan jembatan, Presiden Joko Widodo juga memikirkan perpustakaan. Kata seorang kawan saya, sosiolog Ignas Kleden, sebenarnya semua itu sama, hanya wujudnya yang berbeda: perpustakaan adalah juga sebuah infrastruktur, bukan untuk motor dan mobil, tetapi untuk lalu-lintas ide dan eksplorasi pemikiran.

Buku dan ilmu tentu bisa dicari di mana saja. Apalagi di zaman digital seperti sekarang. Tapi selain fungsi praktisnya yang tetap diperlukan sebagai pusat pencarian ilmu dan pembentukan komunitas intelektual, simbolisme tetap penting: dengan lokasi tepat di pusat pemerintahan, perpustakaan baru ini adalah perwujudan sebuah tekad untuk memajukan Indonesia, bukan dengan warisan minyak atau emas, tetapi dengan pencapaian tinggi dalam dunia ilmu pengetahuan.

Karena itu, kita patut mengacungkan dua jempol bagi Presiden Joko Widodo dan tim yang turut membantu beliau.

Sekarang, gedung perpuspustakaan baru yang membanggakan ini tentu perlu diberi nama yang sesuai bobotnya. Penamaan ini, kalau sumbernya adalah salah satu nama pahlawan dalam sejarah kita, maka ia harus kelas berat, seorang tokoh historis yang sanggup menjadi sumber aspirasi universal dan abadi.

Kalau boleh usul, di antara beberapa nama yang ada, tokoh yang paling cocok untuk dijadikan nama gedung baru tersebut adalah Karaeng Pattingalloang, satu-satunya pemimpin dan pelaku sejarah di Nusantara sebelum era penjajahan Belanda yang bisa disebut sebagai manusia renaisans. Ia adalah sosok penting yang jarang diingat, namun jasa dan perannya sebenarnya paling menarik dalam repertoar kisah kepahlawanan di negeri kita.

Sambil menimbang-nimbang, tidak ada salahnya jika kita berkenalan dulu dengan pemimpin masa silam ini, baik sosok maupun konteksnya, walau secara cukup singkat.

Sinar di Timur

Karaeng Pattingalloang, karena daya tarik dan keunikannya, telah menjadi bahan telaah yang serius dari beberapa sejarawan terkemuka, seperti Anthony Reid dan Denys Lombard. Dalam magnum opus-nya, Asia in the Making of Europe (1969), Donald F. Lach juga mengulas posisi tokoh ini sebagai salah satu penguasa Asia abad ke-17 yang “uncommonly virtuous” serta kaya dengan pengetahuan modern untuk ukuran waktu itu, sosok tipikal seorang pemimpin yang mampu melihat jauh melampaui zamannya.

Ia adalah bangsawan Kerajaan Tallo, sebuah unit politik relatif kecil yang  berbatasan dengan Kerajaan Gowa (Makassar). Ayahnya adalah Karaeng Matoaya, penguasa Tallo yang merangkap sebagai Perdana Menteri Kerajaan Makassar - hubungan kedua entitas politik ini sangat erat dan dalam ulasan sejarah sering disatukan menjadi Kerajaan Makassar-Tallo.

Saat Karaeng Matoaya memegang tampuk pemerintahan, armada VOC (perusahaan dagang Belanda) berhasil menegakkan hegemoni di Banda dan Maluku. Perdagangan rempah-rempah, sebuah produk yang menjadi kebutuhan global saat itu, menjadi tertutup atau sangat terbatas. Bagi Karaeng Matoaya, perkembangan ini membuka sebuah peluang bagi Makassar. Dengan kemampuan diplomasi tingkat tinggi, ia menjadikan Makassar sebagai pelabuhan terbuka, semacam free trade zone pada zaman itu, di mana rempah-rempah “selundupan” dijual secara bebas, dengan perlindungan penuh Kerajaan Makassar.

Prinsip dasar Karaeng Matoaya, sebagaimana yang ditulisnya dalam surat kepada pimpinan VOC di Batavia pada 1615, adalah: “Tanah diciptakan Tuhan buat penduduk yang bermukim di atasnya. Tetapi laut lepas adalah milik semua orang.”

Dengan kebijakan ini, kaum pedagang dari berbagai belahan dunia berdatangan ke Makassar, terutama dari Portugal, Inggeris, Spanyol, Arab, China dan India. Makasar menjadi bandar alternatif terhadap Banda dan Maluku, dan karena itu kemudian berkembang menjadi negara maritim dengan pelabuhan yang hidup dan kosmopolitan.

Karaeng Pattingalloang tumbuh dan besar dalam suasana itu. Pada masa remaja, tanpa memandang statusnya yang tinggi, ia sering bermain di geladak kapal dan bergaul dengan kaum pedagangan, pendeta dan pelaut yang datang dari empat penjuru angin.

Seorang jesuit Perancis abad ke-17, Alexander de Rhodes, menyaksikan serta mencatat bahwa Karaeng Pattingalloang mampu berkomunikasi dalam empat bahasa Eropa. Khusus dalam bahasa Portugis, “anak muda ini akan terdengar seperti orang dari Lisbon” karena dia berbicara dalam tutur-kata yang sangat baik tanpa aksen lokal.

Tapi minat Karaeng Pattingalloang bukan hanya dalam bahasa. Ia juga sering bertanya dan mengajak diskusi mengenai matematika, astronomi, ilmu militer dan geografi, di samping kisah-kisah penguasa Eropa yang hidup saat itu. Catatan de Rhodes: “Dia selalu membawa buku di tangannya, terutama buku matematika… Semangatnya untuk belajar tampaknya sangat besar… dia melakukannya siang dan malam.”

Pada usia 39 tahun, Karaeng Pattingalloang meneruskan posisi ayahnya (Karaeng Matoaya wafat pada 1636). Ia melanjutkan kebijakan pintu terbuka dan relatif berhasil mengatasi persoalan politik domestik yang paling pelik saat itu: mengelola penyebaran Islam sambil menjaga toleransi, termasuk membina hubungan baik dengan raja-raja Bugis di sekitar Makassar, terutama Bone, Wajo dan Soppeng.

Sebagai pimpinan pemerintahan, dia mewarisi kemampuan diplomasi dan kearifan ayahnya, dan dengan pengetahuan luas, dia membawa Makassar menjadi salah satu kerajaan paling maju dan enlightened untuk ukuran kerajaan Nusantara pada abad ke-17. 

Oleh sejarawan Anthony Reid, berbagai langkah serta keberhasilan Karaeng Pattingalloang diberi catatan tersendiri: “They laid the basis for the greatness of seventeenth century Makassar through not ruthlessness but rather an extraordinary combination of intellectual eminence and political wisdom.”

Catatan seperti ini, oleh Anthony Reid, digunakan sebagai pembanding terhadap raja-raja lainnya di Nusantara yang bertahta pada kurun waktu yang kurang lebih sama, seperti Sultan Iskandar Muda di Aceh dan Sultan Agung di Mataram, yang sering menegakkan kekuasaan mereka lewat “personal terror” dan “artificial centralization.” 

Di samping terobosan politik, banyak hal lain dilakukan oleh Karaeng Pattingalloang. Ia memulai tradisi pencatatan kegiatan pemerintahan, the chronicles of the state, yang akurat dan faktual - berbeda dengan babad di Kerajaan Mataram yang lebih merupakan kombinasi antara fakta, legenda dan mitologi. Pada saat yang sama, penerjemahan naskah-naskah asing dalam ilmu persenjataan serta teknologi kelautan, terutama dari Portugal, Spanyol dan Turki, juga mulai giat dilakukan.

Selain itu - dan hal ini mungkin paling mengagumkan - lewat jalur perdagangan dan hubungan diplomasi, ia juga berhasil mendatangkan ke Makassar sejumlah prisma, peta dunia baru yang dibuat sendiri oleh kartografer terkemuka Eropa, Joan Blaeu, serta dua buah teleskop Galilean.

Tentang hal terakhir ini kita harus ingat bahwa pada waktu itu teleskop Galilean belum lama ditemukan, masih merupakan barang langka bahkan di Inggeris dan Spanyol sekalipun. Pemikiran Galileo Galilei sendiri - ilmuwan dari Pisa, Italia, yang sering disebut sebagai peletak dasar metode keilmuan modern, il fondatore del metodo scientifico - masih kontroversial di kalangan gereja, raja dan lapisan kepemimpinan Eropa.

Jadi bisa dikatakan bahwa pada konteks zamannya, Karaeng Pattingalloang sudah berpikir dan bertindak jauh, memulai sebuah perpustakaan di Makassar dengan buku dan temuan-temuan keilmuan mutakhir, plus mendorong pemerintahan yang dipimpinnya untuk belajar serta beradaptasi dengan perkembangan baru. Singkatnya, di langit Nusantara abad ke-17, ia seperti sinar terang yang muncul di ufuk timur.

Dan semua itu rupanya mencuri perhatian beberapa kalangan di Eropa sehingga, sebagaimana dijelaskan Anthony Reid, tokoh sekaliber Joost van den Vondel, penyair dan penulis drama Belanda terkemuka - satu generasi dengan Sheakespeare di Inggeris - melontarkan kekaguman dalam sebait puisi terhadap tokoh dari timur ini: “East India House sends a globe to the great Pattingalloang, whose endlessly curious brain, finds a whole world too small…”

Tragedi dan Inspirasi

Sayangnya, era Karaeng Pattingalloang tidak berlangsung lama. Ia meninggal dalam usia 52 tahun, setelah memegang tampuk kepemimpinan selama 13 tahun. Untuk ukuran abad ke-17, masa pemerintahan tokoh kreatif ini termasuk singkat - Sultan Agung bertahta 32 tahun dan Sultan Iskandar Muda 30 tahun.

Di Makassar, sepeninggal Karaeng Pattingalloang, pemimpin yang terkenal kemudian adalah Sultan Hasanuddin. Tapi tokoh baru yang gagah berani ini rupanya tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk mengelola kondisi domestik dan menjaga hubungan baik dengan aliansi raja-raja Bugis. Konflik dan perpecahan internal menajam, suatu hal yang membuka kesempatan baru bagi pemimpin VOC untuk kemudian menegakkan hegemoni di Sulawesi Selatan, termasuk di Makassar.

Cerita seperti ini - konflik internal, perpecahan, penjajahan - adalah cerita umum praktis di semua wilayah Nusantara. Adalah tragedi kita sebenarnya, bahwa tokoh kreatif dan berpikiran maju pada abad yang menentukan itu hanya muncul di Makassar dalam sosok Karaeng Pattingalloang (dan dalam beberapa hal juga dalam sosok Sultan Ageng Tirtayasa di Banten). Kaum penguasa lainnya bisa dikatakan sebagai pemimpin yang, terlepas dari besarnya kekekuasaan yang mereka miliki, lebih merupakan sosok ignoramus dalam soal pengetahuan dunia baru, perkembangan ilmu, serta kondisi yang dibutuhkan bagi kemajuan sebuah masyarakat.

Tragedi tersebut harus kita bayar mahal: kita kehilangan lebih dua abad, dan baru pada awal abad ke-20 kaum pemimpin di Nusantara, dalam kondisi yang sudah sama sekali berbeda, mulai menyadari lagi pentingnya modernitas, kemajuan ilmu pengetahuan, serta betapa perlunya untuk terus-menerus melakukan adaptasi kreatif terhadap perubahan zaman. 

Dan karena semua itulah Karaeng Pattingalloang dapat menjadi sumber inspirasi bagi kita.

Kembali pada soal pemberian nama Gedung Perpustakaan Nasional yang baru saja diresmikan Presiden Joko Widodo: setelah kita mengerti riwayat tokoh dari timur ini, usul yang telah saya kemukakan di atas tadi rasanya tidak terlalu berlebihan.

Pemberian nama tersebut bagi gedung sepenting itu adalah penghargaan bagi Karaeng Pattingalloang. Tapi sebenarnya bukan ini yang utama. Justru buat kita yang hidup sekarang, terutama generasi muda Indonesia yang akan menyongsong masa depan, hal itu teramat diperlukan.

Kata kuncinya adalah, seperti yang dikatakan Anthony Reid tentang pemerintahan Karaeng Pattingalloang: intellectual eminence dan political wisdom. Kita berharap, kedua kata kunci inilah yang menjadi sumber pencarian generasi muda kita manakala mereka membaca buku, mengejar pengetahuan, atau sekadar duduk merenung sejenak di salah satu sudut ruangan perpustakaan baru tersebut.

Kalau semua itu memang terjadi, bukankah kita semua akan merasa bangga dan bersyukur?

Sumber: qureta.com

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.

Related Articles