Persamaan di Depan Hukum

Konsep equal opportunity, persamaan peluang, merupakan salah satu masalah yang rumit dalam pengaturan kehidupan modern, dan ini harus menjadi perhatian kita semua. Dalam masalah persamaan kesempatan, ada dua hal yang harus kita pikirkan. Pertama, masalah ideal, cita-cita, arah besar yang harus kita tuju. Tapi, kedua, ada juga masalah kenyataan. Kita tidak bisa memungkiri kenyataan. Kalau kita mau membangun masyarakat, harus berdasarkan kenyataan yang ada, untuk kemudian kita ubah. Tapi kalau kita ingkari kenyataan, kita akan terjebak pada utopia yang akhirnya juga gagal, menyedihkan, dan akan memakan korban yang sangat banyak.

Itu sudah terjadi pada komunisme, yang mau membuat masyarakat baru, manusia baru. Sama-rasa, sama-rata. Mereka tidak mengakui sejarah dan mau menghancurkannya. Kalaupun tidak sampai dihancurkan, agama, sejarah, simbol-simbol masa lalu itu, mereka lupakan. Sebab mereka ingin membentuk sesuatu yang samasekali baru, yang sesuai dengan ideal mereka, tetapi pada akhirnya gagal. Dan sungguh menyedihkan, gagalnya itu dengan memakan korban yang luarbiasa besar. Saya kira, ini tragedi kemanusiaan terbesar yang pernah kita lihat dalam sejarah. Dalam soal equal opportunity, kenyataan yang saya maksud adalah kenyataan bahwa manusia berbeda-beda.

Orang ingin mencari distingsi. Saya ini berkarya, bekerja, berkarir, ingin agar saya berbeda, bukan supaya saya sama. Kalau orang mau jadi sama, dia akan menjadi medioker tanggung, kemampuannya setengah-setengah. Setiap manusia pada dasarnya ada yang kuat, ada yang dorongannya lemah, tetapi terkait dengan kepentingan dan persepsi dirinya. Ibaratnya, setiap orang ingin jadi elang, tidak ingin jadi bebek. Setiap orang ingin terbang tinggi dan berkata, “Inilah saya!” Dalam memilih pakaian, Anda ingin lebih baik; dalam memilih istri, Anda ingin lebih baik. Artinya tidak umum. Pokoknya, Anda ingin berprestasi.

Orang bahkan harus didorong untuk mencari ketidaksamaan. Kalau anak kita bilang bahwa di sekolah dia mau sama saja dengan anak-anak lainnya, belajarnya mau biasa-biasa saja, tidak mau lebih bagus daripada teman-temannya, kita akan bilang, “Aduh, anak ini tidak punya motivasi untuk belajar.”

Dan dengan ke-biasa-an dan ke-sama-an itu, kemajuan tidak mungkin tercapai. Lihatlah para jenius dan penemu. Mereka biasanya orang yang punya motivasi kuat, punya kemauan keras. Mereka mau kerja keras, karena ingin berbeda. Ini fakta. Dan memang dalam kenyataannya orang berbeda-beda. Sesosialis dan seegalitarian apapun seseorang, kalau dia melihat sesuatu yang lebih indah, lebih baik, lebih cantik, selalu ada impuls-impuls untuk ikut mengagumi atau menghargai, yang merupakan bagian dari kenyataan alamiah di dalam diri manusia.

Jadi, pada dasarnya kita mau berbeda, kita suka berbeda. Tetapi pada saat yang sama ada impuls lain. David Hume, seorang filsuf dari Skotlandia yang menulis buku yang sangat terkenal, Treatise of Human Nature, mengatakan bahwa salah satu dasar manusia membentuk masyarakat dan berinteraksi dengan masyarakat adalah perasaan simpati atau empati. Artinya, kalau kita melihat penderitaan orang, kita ikut sedih. Intinya, kita mau memperlakukan orang sebagaimana kita mau diperlakukan. Ada semangat untuk berbeda, berdistingsi. Mau jadi juara, jadi jagoan, jadi terbaik, jadi lebih cantik, lebih kuat, lebih kaya, tapi kita mau diperlakukan sama. Intinya juga simpati kepada diri. Saya tidak mau diperlakukan sewenang-wenang, saya mau diperlakukan sama. Tetapi ini impuls lain. Jadi, di dalam diri manusia ada semangat untuk berbeda, tetapi ada semangat yang sama pada titik-titik tertentu. Kedua impuls inilah yang membentuk kenyataan:  manusia dan masyarakat.

Nah, dalam konteks tata kemasyarakatan, apa yang disebut equal opportunity itu sebenarnya agak rancu kalau kita terjemahkan terlalu jauh. Yang lebih tegas adalah equality before the law, persamaan di depan hukum. Anak jenderal, presiden, orang miskin, rakyat kecil, pengusaha besar, pedagang kecil, di depan hukum posisinya sama. Kalau yang satu tidak boleh mencuri, yang lain pun tidak boleh; yang satu tidak boleh melanggar rambu-rambu lalu-lintas, yang lain pun tidak boleh melanggar. Begitulah sederhananya.

Dengan menjamin persaman bagi semua orang di depan hukum, otomatis prinsip ini berlaku dalam menjamin persamaan dalam semua hal. Sebab hukum adalah fondasi interaksi manusia dan masyarakat. Hukumlah yang mengatur boleh dan tidaknya suatu tindakan dilakukan. Memang, ada etika dan kebudayaan, tapi itu adalah hal yang berbeda. Kalau kita bicara tata aturan dalam masyarakat secara formal, maka yang kita maksud dengan equality sebenarnya adalah persamaan di depan hukum. Karena kalau kita mulai menafsirkan hukum sebagai kesempatan, maka konsepsi ini agak elusif, sulit dipegang. Apa yang kita maksud dengan kesempatan? Yang saya tahu, itu artinya kesempatan buat anak saya dan kesempatan buat anak orang lain harus sama dan memang sama di depan hukum. Tetapi kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan: apakah itu berarti anak yang pintar dan anak yang kurang pintar mau dipersamakan? Tesnya harus sama-sama menang? Tentu saja harus ada tes kalau Anda melamar pekerjaan. Misalnya tes matematika. Pelamar yang diterima adalah yang dapat nilai 8,5. Kalau Anda dapat 8,2, tentu tidak bisa masuk. Jadi basisnya adalah ketidaksamaan.

Yang penting, sistemnya harus memungkinkan bahwa semua orang berhak ikut tes itu. Dasar utamanya ada di konstitusi. Anda memperlakukan saya tidak sama, tetapi Anda tidak bisa menghukum atau menuntut seorang pemilik perusahaan yang menerima anak yang lebih pintar berdasarkan tes yang universal. Dalam masyarakat yang kompleks, yang di dalamnya ada potensi-potensi konflik antar-agama, etnik, warna kulit, dan sebagainya, situasinya memang agak problematis. Misalnya, anak kulit hitam dan kulit putih sama-sama dites matematika. Si anak kulit putih dapat 8,5, sementara anak kulit hitam 8. Kalau tes matematikanya berdasarkan standar universal, maka yang 8,5 ini yang diterima kebetulan dia berkulit putih. Tetapi beberapa aktivis kaum kulit hitam mungkin berkata, ”Ya, tentu saja anak kulit putih yang menang, sebab tesnya matematika, coba kalau tesnya basket....”

Padahal tes basket mungkin tidak relevan untuk pekerjaan yang dimaksud. Dan argumen semacam itu membuat ukuran-ukuran universal menjadi sia-sia. Maka saya kurang suka kalau konsep equal opportunity ditarik terlalu jauh, karena sifat elusifnya itu. Ia menimbulkan interpretasi yang licin, bisa ditarik ke sana, kemari, tergantung kepentingan kelompok atau tujuan tertentu yang kita inginkan. Tetapi kalau disebut sebagai equality before the law, konsep ini jelas, artinya persamaan di depan hukum. Ini harga mati.

Kadang-kadang aktivis perempuan juga lebih memilih untuk menggunakan konsep equal opportunity daripada equality before the law. Tentu saja kita tidak mau ada diskriminasi. Tetapi tidak cukupkah penegasan jaminan konstitusi bahwa semua orang dijamin bebas dan sama?

Aktivis perempuan biasanya meminta kuota untuk dipersamakan. Misalnya dalam rekrutmen politik. Mereka tidak ingin ada persaingan terbuka, dan ingin persaingan pakai kuota. Implementasinya misalnya berupa permintaan pada partai-partai politik untuk memberi sedikitnya 30% peluang kursi bagi calon legislatif. Buat saya dalam konteks kesejarahan tertentu yang ekstrem, metodenya mungkin saja masih bisa diterima sejauh bersifat sementara. Tetapi metode kuota untuk equal opportunity ini pada dasarnya self-defeating, menyalahi prinsip dasarnya. Anda ingin persamaan bagi setiap orang. Tapi kalau Anda minta kuota, itu berarti dasarnya adalah ke tidaksamaan bagi setiap orang. Dan yang dapat kuota hanya perempuan. Pria tidak dapat. Ini melanggar prinsip kesetaraan yang ingin diperjuangkan. Entah Anda minta jatah untuk kulit hitam, untuk perempuan, untuk minoritas, dan sebagainya, jika itu didasarkan pada sistem kuota untuk menjamin oppor-tunity, maka ia self-defeating, menggugurkan prinsip dasarnya sendiri.

Formula kuota semacam itu mungkin diajukan dengan bertolak dari kenyataan bahwa kondisi antara perempuan dan laki-laki tidak setara. Tapi harap diingat bahwa dalam masyarakat mana pun, tidak ada kondisi setara untuk mulai. Anda bisa bandingkan, misalnya, kondisi di kalangan kelompok-ke lompok minoritas di Amerika Serikat. Kelompok yang paling tidak pernah minta-minta perlindungan antara lain minoritas etnik dari Korea, Cina, dan Asia pada umumya. Tanpa pernah minta kuota, minoritas-minoritas ini justru lebih cepat tumbuh, paling maju, paling menguasai teknologi dan bisnis yang berkembang di Amerika. Sebab mereka berprinsip bahwa kesempatan itu tidak dijamin dan tidak diberikan oleh siapapun. sempatan adalah sesuatu yang harus mereka rebut. Karena itu mereka mau bekerja lebih keras daripada orang lain; mereka mau lebih pandai daripada orang lain. Mereka merebut dan menciptakan kesempatan.

Orang-orang yang melihat kesempatan atau opportunity sebagai sesuatu yang diberikan, disediakan oleh orang lain termasuk oleh pemerintah justru tidak akan pernah maju. Dalam konteks ini saya tidak sedang membicarakan hukum positif. Saya sedang bicara soal cara pandang kita dalam melihat masalah tertentu. Tentu saja benar kalau dikatakan bahwa asal-muasal kita ini tidak sama. Ini serupa halnya kalau kita mengusut kesalahan atau mencari siapa yang salah: kenapa orang hitam jadi budak; kenapa orang putih jadi tuan? Ini akan berkepanjangan tanpa ujung. Dari mana kita memulai sejarahnya? Apalagi kalau kita ingat bahwa yang pernah jadi budak bukan hanya orang hitam, tapi orang putih juga pernah. Seandainya orang Turki menang di Eropa melawan orang-orang kulit putih, yang menjadi budaknya orang Turki di Balkan tentu orang kulit putih. Bahkan, di Nusantara ini kita pernah saling memperbudak. Fakta sejarah itu harus diakui.

Tapi marilah kita melihat ke depan. Dalam menyusun sistem yang baru sekarang ini, kita bisa menengok masa lalu, tapi orientasinya harus ke masa depan. Kalau kita merasa bahwa di masa lalu sejarah tak berpihak pada kita, opportunity itu bukan di tangan kita, kita harus bertekad bahwa di masa depan peluang itu akan kita rebut dengan tangan kita sendiri, sejauh hukumnya sama. Hukumnyalah yang tidak boleh diskriminatif terhadap diri kita. Soal kesempatan, kita akan mencarinya sendiri. Pemerintah tidak perlu ikut campur. Kuncinya adalah kerja keras dan kreativitas, dengan melihat ke depan. Ini soal cara kita melihat kehidupan.

Dalam konstitusi di negara demokratis modern sekarang ini, elemen diskriminasi sebenarnya sudah hilang. Lain halnya kalau kita bicara tentang Amerika di masa sebelum 1919 atau di Eropa sebelum 1920. Hukum positif mereka waktu itu tidak memberi wanita hak memilih. Jangankan wanita, kaum pria pun kalau kita tarik ke masa 50 tahun sebelumnya tidak semua diberi hak memilih. Di Inggris, negara pertama yang menganut demokrasi, dalam proses perubahan reformasi secara formal, pemberian hak pilih kepada masyarakat dimulai untuk kaum pria bangsawan dan terdidik, bukan pada semua pria.Sampai 1894, tahun terakhir reformasi, wanita masih belum boleh memilih. Setelah itu barulah wanita diberi hak memilih dan dengan demikian terjadi revolusi besar dalam hal equality before the law. Sejak itu prosesnya berlangsung sangat cepat. Hukum positifnya mendukung.

Sebagai konsep sosial, equal opportunity itu baik. Saya tidak menentangnya. Saya cuma mau katakan bahwa kita perlu hati-hati dalam memaknainya, sebab konsep ini elusif, gampang merucut. Lain halnya dengan equality before the law, yang sangat jelas, yakni jaminan kesetaraan di depan hukum. Tapi yang namanya opportunity, siapa yang harus memberikannya? Apakah negara wajib memberikan opportunity? Buat saya: No! Negara hanya wajib menjamin hukum yang sama. Tetapi kesempatan bukan diberikan oleh negara. Hidup kita bukan ditangan negara, tetapi di tangan kita sendiri.

Bagaimana dengan program affirmative action di Amerika Serikat, yang kadang dianggap sebagai diskriminasi positif? Program ini memang didasarkan pada semacam rasa bersalah orang kulit putih terhadap kaum kulit hitam, yang kini jumlahnya puluhan juta jiwa. Tapi saya ingat pidato Martin Luther King (1969). Tokoh terpenting perjuangan kulit hitam itu berkata: I have a dream, one day my children will not be judged because of the colour of their skin. Artinya, King ingin anak-cucunya, temannya dan siapapun, diperlakukan bukan karena warna kulitnya bahkan kalaupun perlakuannya positif. Nah, affirmative action itu memperlakukan seseorang sesuai warna kulitnya. Karena seseorang itu kulitnya hitam, maka dia harus diberi kuota. Kenapa? Karena nenek-moyang orang hitam itu pernah diperbudak oleh nenek-moyang orang kulit putih.

Martin Luther King tidak menginginkan hal itu. Jadi, semangat King itu berbeda dengan semangat pemberi affirmative action. Para pendukung affirmative action berkata bahwa tujuan mereka sama dengan tujuan Martin Luther King. Tetapi metode dan dasar filsafatnya berbeda. Sekali lagi saya katakan bahwa ini masalah yang mungkin tidak bisa dilihat secara hitam-putih. Hal ini benar hanya karena konteks kenyataan yang memang kompleks. Tetapi saya berpegang pada prinsip dasar. Saya tidak mau melihat masalah ini dari kacamata hitam-putih. Saya bersedia memberikan beberapa kemudahan sejauh masuk akal, tetapi kemudahan itu hanya sementara dan betul-betul karena political expediency. Jangan menganggap itu benar pada dirinya sendiri, apalagi menganggap itulah mahkota perjuangan equality of opportunity. Itu keliru besar. Kalau dianggap demikian, tentu boleh saya katakan bahwa itu merupakan pengkhianatan terhadap perjuangan kaum yang ingin membebaskan dirinya dari segala bentuk kekangan, termasuk kekangan diskriminasi warna kulit.

Saya mau kasih contoh supaya kita bisa melihat persoalan ini dengan proporsional. Katakanlah Anda keluarga kulit putih, sementara saya keluarga kulit hitam. Tentu bukan salah kita berdua kenapa nenek-moyang kita saling memperbudak. Kepada anak-anak kita masing-masing kita bilang, “Belajarlah yang baik dan belajarlah yang keras”. Dua-duanya mengikuti saran itu. Tentu saja baik jika dua-duanya diterima di universitas, tapi ternyata yang diterima cuma satu, anak Anda atau anak saya. Kehidupan ini memang kadang-kadang kejam, meski kita mau kehidupan ini jangan kejam. Kita dihadapkan pada pilihan. Kursi untuk menerima mahasiswa di universitas terbatas. Maka harus ada tes.

Anak Anda yang kulit putih mendapat nilai 8,5 untuk matematika, anak saya dapat 5,5. Dengan adanya affirmative action, mungkin anak saya yang nilainya 8,3 itulah yang masuk. Bayangkan apa yang harus Anda katakan pada anak Anda? “Oh, anakku, nilaimu memang lebih tinggi daripada anak kulit hitam itu, tetapi nenek-moyang kita dulu pernah memperbudak nenek-moyang dia, jadi kau harus menanggung dosa nenek-moyangmu.” Ini terjadi dalam situasi di mana kedua anak ini belajar dengan baik. Bayangkan, kalau anak Anda belajar dengan baik untuk dapat 8,5, sementara anak saya yang malas dan cuma dapat 5,5 malah bisa masuk. Anda mau bilang apa pada anak Anda? Mungkin situasi ekstrem seperti ini tidak pernah terjadi. Tapi setelah program itu berlangsung dua puluh tahun dalam masyarakat yang berpenduduk 300 juta orang, pasti satu atau dua kasus semacam itu terjadi. Dan beberapa tahun lalu hal semacam itu terjadi di Universitas Michigan, sehingga sejumlah mahasiswa kulit putih yang merasa dirugikan mengajukan gugatan hukum.

Jadi sekarang program itu mulai ditentang. Dan jangan lupa, sejarah pada akhirnya berpihak pada kebenaran. Setelah beberapa puluh tahun dicoba, ternyata memang in the long run sistem kuota atau sistem diskriminasi ini tidak menghasilkan siswa-siswa yang cemerlang. Sebab tes itu universal. Kalau Anda dites waktu Anda mahasiswa, tesnya kan sebenarnya bukan saat itu saja. Tes itu adalah akumulasi pengalaman hidup. Affirmative action yang diterapkan di Amerika itu kadang dipuji oleh kalangan tertentu yang menganggap bahwa pemerintah itu sebaiknya bersikap seperti itu. Yang lemah diberi kesempatan lebih, yang kuat tidak perlu dibantu. Pada prinsipnya kita senang membantu yang lemah. Semua agama mengajarkan hal yang sama. Semua orangtua mengajarkan hal-hal yang baik kepada anak-anaknya: agar anak-anak mereka menjadi orang yang baik, suka bekerja keras, punya keberanian, dan suka menolong. Tidak ada hal yang salah dengan semua itu.

Yang jadi soal adalah: apa yang kita maksud dengan menolong? Bagaimana metode menolong? Apa bentuk pertolongannya? Masalah ini tidak sederhana. Affirmative action muncul hanya dalam periode sejarah tertentu, yang memang kita harus mengerti dalam konteks dinamika politik Amerika tahun 60-an. Pada prinsipnya kita harus membiasakan orang untuk berjuang bagi dirinya. Dia maju bukan karena ditolong. Betapapun baiknya tindakan menolong, tidak ada orang yang maju karena sistem pertolongan. Orang maju karena mau berusaha keras untuk mencapai kemajuan itu dan bersedia berkorban waktu, pikiran, dana untuk mencapai kemajuan itu. Mungkin secara temporer ada orang-orang lemah yang kita tolong. Tapi yang membuat dia maju, modern, merasa bangga terhadap dirinya, bukanlah karena dia ditolong, tapi karena dia menolong dirinya sendiri.

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.