Populisme dan Paradoks Demokrasi

POPULISME DAN PARADOKS DEMOKRASI

Oleh Burhanuddin Muhtadi[1]

 

 

Hampir semua literatur tentang populisme selalu diawali dengan pengakuan akan sulitnya mendefinisikan istilah populisme. Francisco Panizza (2005: 1) memulai bukunya dengan disclaimer: “It has become almost a clinche to start writing on populism by lamenting the lack of clarity about the concept and casting doubts about its usefulness for political analysis.” Isaiah Berlin berkata: “There is a shoe in shape of populism, but no foot that will fit  into” (Karstev, 2008: 43). Paul Taggart menganalogikan populisme seperti bunglon yang bisa berubah-ubah warna kulitnya menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungannya. Karena itu, bisa dipahami, jika sebagian sarjana politik lebih suka membatasi definisi populisme dengan menunjukkan lokasi geografis dan periode waktu.

Sementara itu, dalam kamus sosiologi, populisme diartikan sebagai “suatu bentuk khas retorika politik, yang menganggap keutamaan dan keabsahan politik terletak pada rakyat, memandang kelompok elit yang dominan sebagai korup, dan bahwa sasaran-sasaran politik akan dicapai paling baik melalui cara hubungan langsung antara pemerintah dan rakyat, tanpa perantaraan lembaga-lembaga politik yang ada” (Abercrombie et. al., 1998).

Dalam tradisi politik di Barat, populisme mulai dikenal dalam literatur sejak 1930-an, terutama di Amerika Latin. Pasca Perang Dunia II, muncul gerakan populis baru yang memuncak seiring dengan munculnya Juan Domingo Peron (1895-1974), bersama istri pertamanya Eva Duarte atau Evita de Peron (1919-1952) dan istri keduanya, Maria Estela Martinez atau Isabel Peron (1931- ).

Dengan merujuk pada fase pergerakan melawan kolonial, Dawam Rahardjo (1994) bahkan menarik akar populisme di Nusantara sejak 1910 ketika Tjipto Mangoenkoesoemo banyak menulis kritik tentang penderitaan rakyat di koran De Express. Sebagai dokter-cendekia, ia juga turun langsung mengatasi wabah penyakit pes di Malang. Atas jasanya itu, ia dianugerahi bintang Orde van Oranje Nassau dari pemerintah kolonial, tapi ia menolak penghargaan itu dengan tegas. Tjipto kemudian dituduh sebagai “aktor intelektual” di balik kerusuhan Delanggu yang membuat dirinya dibuang ke Banda Neira.  

Sebuah Konsep yang Diperebutkan

Para sarjana politik memang gagal mencari konsensus apa yang dimaksud populisme, tapi mereka sampai pada kesepakatan bahwa populisme adalah sebuah konsep yang dipertarungkan (contested concept). Bahkan karya Ionescu dan Gellner (1969), yang disebut Taggart (2000) sebagai “the definite collection on populism”, pun dianggap gagal memaknai apa yang dimaksud dengan konsep populisme (Christa Deiwiks, 2009).

Margaret Canovan (1981, dalam Mahasin, 1994) membagi populisme dalam tiga bentuk: Pertama, populisme “wong cilik.” Populisme jenis ini berorientasi kepada petani, borjuasi kecil, kooperasi antarpengusaha kecil dan selalu memasang prasangka dan kecurigaan terhadap usaha besar dan pemerintah. Populisme ini percaya bahwa ada skenario besar pengusaha dan penguasa untuk menindas “wong cilik.” Konon tipe populisme ini tidak begitu antusias dengan ide-ide kemajuan (progress) entah itu urbanisasi, industrialisasi dan kapitalisme karena dinilai berdampak pada kemerosotan moral. Populisme “wong cilik” suka menoleh ke masa lampau dan menangisi masa kini. 

Dalam konteks politik, populisme ’wong cilik’ cenderung anti-politisi dan intelektual menara gading dan merindukan orang-orang kuat yang memiliki ideologi populis. Beberapa contonya adalah Partai Populis Amerika di tahun 1890-an, partai-partai petani di Eropa dan Partai Kredit Sosial Kanada pada awal abad dua puluh (Mahasin, 1994).

Kedua, populisme otoriter yang mengharapkan lahirnya para pemimpin kharismatik yang melampaui politisi medioker. Max Weber membedakan antara kepemimpinan kharismatis dan kepemimpinan demokratis. Meskipun Juan Peron terpilih secara “demokratis” sebagai presiden, ia menang bukan melalui proses rasionalitas politik, tapi atas dasar ikatan irasionalitas peronitas yang mengidolakan pemimpin yang kuat, yang kharismatis (Rahardjo, 1994). Populisme kemudian melahirkan kultus sehingga seorang Peron yang populis bisa memerintah melalui cara-cara yang tidak demokratis. Ketika sebagai presiden, Peron menunjuk istrinya sebagai wakil presiden, ia seolah berkata: l’etat ce est moi, akulah negara. Populisme pada tingkat ekstrem bisa melahirkan kelompok fasis seperti Hitler atau de Gaule.

Ketiga, populisme revolusioner yang merupakan idealisasi kolektif atas penolakan terhadap elitisme dan ide-ide tentang kemajuan. Pranata politik dan desain institusi politik dinilai tak lebih dari pengejawantahan dari dominasi elit atas rakyat, dan karenanya harus dibongkar dan ditundukkan melalui perebutan kekuasaan oleh rakyat dan sokongan penuh kepada pemimpin revolusioner yang mewakili kepentingan rakyat, bukan kepentingan segelintir elit.

Kategorisasi Canovan di atas memang relatif sedikit membantu, meski tidak bisa meringkus kompleksitas pemahaman tentang populisme dalam satu pengertian tunggal dan baku. Canovan tak mampu menyakinkan apakah populisme masuk kategori Kiri ataukah Kanan? Canovan juga dianggap sangat ambisius sehingga karyanya terlalu lebar dalam memotret apa yang sebenarnya dimaksud dengan populisme. Alih-alih ingin mendefinisikan secara ketat konsep populisme, Canovan justru malah mengaburkannya dengan kategorisasi yang luas.

Demikian juga Wiles (1969) yang mendaftar 24 karakteristik dari populisme dinilai kurang membantu karena keterbatasan empirical apllicability. Adapun Berlin dkk (1968), seperti dikutip Deiwiks (2009), menyebut populisme dengan menyodorkan enam ciri-ciri populisme, termasuk pentingnya “rakyat” dan penolakan terhadap politik (baca: ide kembali kepada kondisi natural masyarakat sebelum datangnya sistem politik apapun). 

Meny dan Surel (2002) lebih maju selangkah dengan mengetengahkan aspek-aspek esensial tentang populisme, yaitu (1) Rakyat adalah segalanya, perasaan sebagai komunitas kolektif lebih ditekankan, segregasi sosial-horisontal dan pembelahan ideologi Kanan-Kiri kurang ditonjolkan, tapi justru menekankan pada “konflik” vertikal untuk membedakan rakyat versus elit; (2) Kaum populis lebih menitikberatkan aspek pengkhianatan elit terhadap rakyat melalui modus korupsi, penyalahgunaan kekuasaan dan lain-lain; dan (3) Tuntutan kaum populis agar primacy of the people direstorasi melalui penempatan pemimpin kharismatik yang menyuarakan hati nurani rakyat.

Krisis dan Paradoks Demokrasi

Populisme bisa mendapatkan persemaian yang subur di tengah masyarakat yang menghadapi krisis. Situasi krisis ini secara akurat didefinisikan oleh Christa Deiwiks (2009) dalam tiga bentuk. Pertama, kondisi krisis ekonomi, kemiskinan, pengangguran, ketimpangan pertumbuhan, dampak globalisasi, eksploitasi sumber daya alam dan lain-lain menjadi humus yang subur bagi lahirnya klaim-klaim populisme. Kedua, sebagaimana ditegaskan Canovan (1999: 2), populisme merupakan kritik tajam atas kegagalan representative democracy. Ketiga, kesenjangan ekonomi yang terjadi di tengah masyarakat plus ketimpangan janji-janji demokrasi tersebut kemudian dimanfaatkan oleh pemimpin-pemimpin populis untuk retorika politik yang melenakan.

Saya ingin memberi perhatian terutama pada aspek kelemahan representative democracy dan munculnya klaim-klaim populis. Demokrasi pada dasarnya memiliki keterbatasan. Retorika demokrasi bahwa ia merupakan pengejawantahan prinsip dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat sejatinya menciptakan lubang menganga sejauhmana demokrasi oleh rakyat itu benar-benar mampu direalisasikan. Secara realitas sui-generis, rakyat memang dilibatkan pada waktu pemilu, namun rakyat tidak seluruhnya terlibat dalam proses governing dan decision-making. 

Pada titik ini, kaum populis akan menekankan pada kesenjangan proses pelibatan publik dalam sistem demokrasi yang dilihat sebagai sebuah paradoks dari demokrasi itu sendiri. Kebijakan dalam beberapa atau banyak hal bukanlah manifestasi dari kepentingan banyak orang, tapi lebih merupakan hasil dari interaksi dan kompromi antar aktor atau elit. Kaum populis melihat proses ini sebagai “cacat bawaan” demokrasi yang sekadar menjadikan rakyat sebagai obyek pengumpul suara untuk memuluskan jalan eksploitasi legal kaum elit atas nama rakyat banyak.

Oleh karena itu, Deiwiks (2009) menyebut populisme sebagai akibat tak terhindarkan dari persaingan antara dua wajah demokrasi, yakni wajah pragmatis dan redemptive untuk meminjam istilah Canovan (1999), atau istilah Oakeshott, “politics of scepticism” versus “politics of faith.” Wajah pragmatik demokrasi bertumpu pada desain institusi demokrasi, entah dalam bentuk sistem multipartai, pemilu, kelompok penekan, lobi dan lain-lain. Sementara redemptive democracy bergelayut di atas janji-janji ideal mewujudkan dunia yang adil melalui partisipasi aktif warga yang berdaulat dan merdeka. Jika redemptive democracy gagal merealisasikan mimpi-mimpinya, maka kelompok populis siap mengambil alih melalui klaim —apa yang disebut Mair (2002) sebagai— “putting the power back into the people’s hand.” 

Dengan demikian, alienasi politik menjadi benih-benih yang menumbuhkan populisme, yakni perasaan bahwa pemilu tidak ada gunanya, sistem politik hanyalah milik kaum elit dan dirinya, sebagai warga, tak bisa mengubah apa-apa. Kesenjangan penilaian terhadap demokrasi sebagai sistem terbaik dengan kepuasan publik terhadap kinerja produk dan institusi demokrasi juga makin menambah dosis populisme. Menurut survei global yang dirilis “Voice People 2006,” masyarakat di berbagai negara rata-rata menerima demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang terbaik (79%), namun hanya sepertiganya saja yang merasa suara rakyat didengarkan dan ditindaklanjuti oleh otoritas terkait (Bryder, 2009). 

Di Indonesia, data trend Lembaga Survei Indonesia juga menemukan gap sekitar 15% hingga 20% antara yang setuju demokrasi sebagai sistem terbaik dengan kepuasan terhadap demokrasi. Kesenjangan antara norma dan praktik demokrasi ini dimungkinkan karena evaluasi publik terhadap kinerja demokrasi bukan dilandaskan pada penilaian normatif, tapi lebih didasarkan pada realitas empiris dan praktik dari institusi-institusi politik demokrasi, terutama partai politik dan DPR. Kedua institusi ini konsisten berada di peringkat bawah lembaga-lembaga yang dipercaya oleh publik. Selain rapor kinerja partai dan DPR yang masih merah menyala, kedua lembaga pilar demokrasi ini juga dinilai paling korup dibanding lembaga lain. Tingkat identifikasi terhadap partai (party-ID) di kalangan pemilih Indonesia juga hanya berada di kisaran 20%, sebagian besar tidak merasa dekat dengan partai. Publik juga disodori parade korupsi yang melibatkan elit-elit partai, sehingga disilusi massal terhadap kelembagaan politik dan kalangan politisi makin menjadi-jadi. 

Dalam leksikon ilmu politik, rasa percaya pada lembaga publik merupakan aspek kultural penting untuk mendukung stabilnya demokrasi sebagai sistem pemerintahan dari suatu masyarakat (Almond dan Verba, 1963). Dalam hal ini, secara umum masyarakat Indonesia juga kurang percaya pada lembaga-lembaga publik. Lembaga publik di mana proporsi warga merasa percaya padanya paling baik ditemukan pada kepercayaan mereka pada pemimpin keagamaan dan kemudian organisasi kemasyarakatan keagamaan atau ormas keagamaan. Tingkat kepercayaan terhadap elit agama maupun ormas agama bahkan jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan partai politik, DPR, pengadilan, polisi dan jaksa.

Tingkat kepercayaan publik terhadap tokoh agama dan lembaga keagamaan yang tinggi menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia pada umumnya masih terikat dengan keyakinan terhadap lembaga-lembaga tradisional (agama) dan terhadap lembaga yang selama ini mencerminkan sikap konservatif dibanding percaya terhadap institusi penegakan hukum seperti polisi, jaksa dan pengadilan. Masyarakat juga cenderung kurang percaya pada lembaga-lembaga modern seperti partai dan DPR. Padahal trust terhadap lembaga-lembaga publik ini merupakan indikator tersendiri dari konsolidasi demokrasi (Norris, 1999). Semua ini dipercaya semakin melempangkan jalan bagi populisme dan mendorong munculnya klaim-klaim populis dari tokoh-tokoh politik yang ingin mengail di air keruh.

Populisme: Madu atau Racun Demokrasi?

Sebagian sarjana melihat populisme dalam kacamata positif. Ia diibaratkan seperti “gejala sakit kepala” untuk mengingatkan elit politik atas kelemahan demokrasi keterwakilan (Deiwiks, 2009). Dalam konteks ini, Taggart (2000) menilai populisme sebagai “indikator kesehatan” sistem demokrasi representatif atas kemungkinan tidak berfungsinya salah satu atau beberapa organ sistem politik. Populisme adalah “cermin demokrasi,” untuk meminjam istilah Panizza (2005) agar elit tidak lupa menyerap sebesar-besar kepentingan rakyat dalam proses pembuatan kebijakan.  

Meski demikian, banyak ilmuwan politik yang melihat sebaliknya. Meny dan Surel (2002) secara sinis menyebut populisme sebagai “patologi atau korupsi demokrasi” karena kaum populis cenderung memanfaatkan disilusi publik atas praktik demokrasi demi kepentingan politik elektoral sesaat, propaganda dan kharisma personal dalam rangka menarik konstituen, ketimbang tampil sebagai edukator. Sistem demokrasi, kata Pasquino, tidak memiliki penghalang otomatis melawan populisme. Kaum populis terlalu menggantungkan pada itikad baik para pemimpin. Mereka lupa bahwa itikad baik saja tidak cukup jika tidak dibentengi sistem yang mampu mencegah lahirnya diktator-diktator baru dengan mengatasnamakan populisme.

Farid Zakaria bahkan melabeli populisme sebagai sebentuk illiberal democracy. Mudde, sebagaimana dikutip Bryder (2009), malah menyebut bentuk ekstrem populisme yang menolak limitasi atas nama ekspresi dan kehendak mayoritas, baik dalam bentuk penolakan hak-hak minoritas maupun prinsip independensi lembaga-lembaga kunci. Faktor lain yang menyebabkan populisme dianggap sebagai patologi demokrasi adalah bahwa populisme pada dasarnya bersifat ekslusif. Retorika kaum populis seringkali bersifat intoleran, rasis dan xenopobia untuk melegitimasi tudingan mereka terhadap kelompok-kelompok yang dianggap tidak sesuai dengan agenda politik mereka. Di Eropa, misalnya, partai-partai populis rajin menebarkan kebencian kepada para imigran muslim, single mother dan the other. Mereka juga menolak multikulturalisme karena dianggap merugikan kepentingan mayoritas. Kaum populis pada dasarnya anti-pluralisme dan mengusung panji-panji tirani mayoritas (Bryder, 2009).

Dalam konteks Indonesia, populisme mendorong ke arah perdebatan yang tidak produktif dan tendensius. Dalam isu pro-kontra kenaikan BBM misalnya, kaum politisi terseret dalam politik nirgagasan sehingga membuat isu yang jauh lebih substansial dan mencerdaskan mengenai perlu tidaknya mengurangi subsidi BBM menjadi hilang ditelan manuver politik yang penuh intrik, sarat stigmatisasi, hipokrisi, dan insinuasi. Politisi di DPR sibuk melakukan akrobat politik tanpa didukung argumen rasional dan berisi. Setiap pihak terlihat selektif dalam memilah data yang hanya mendukung predisposisi yang sudah tertanam di kepala mereka. Argumen ekonom yang mendukung pengurangan subsidi BBM karena tak tepat sasaran, tidak produktif, dan tidak ramah lingkungan langsung dituding pro-asing, anti-kerakyatan, dan sarat agenda neolib. Sebaliknya, kubu kontra pengurangan subsidi langsung dianggap sedang menjalankan agenda politik pencitraan untuk merebut simpati pemilih. 

Populisme juga terbukti menjadi benalu kebebasan. Seperti dilansir dalam Indeks Demokrasi Global yang dirilis Economist Intelligence Unit tahun 2010, indeks demokrasi Indonesia hanya berada pada posisi ke-60 dari 167 negara yang disurvei. Indonesia kalah dari Thailand (57) dan Papua Nuigini (59), bahkan jauh tertinggal oleh Timor Leste (42).  Salah satu sebabnya adalah iklim pelanggaran kebebasan beragama akibat makin menipisnya toleransi antarumat ataupun intraumat beragama. Bahkan Human Right Watch sampai menulis surat kepada Presiden Yudhoyono terkait kasus kekerasan terhadap Ahmadiyah, yang dinilai melabrak UUD 1945 dan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik yang sudah diratifikasi Pemerintah Indonesia sejak 2006. 

Karena ketakutan melawan arus opini publik, pemerintah gagal mengirimkan sinyal yang jelas untuk menjamin kebinekaan dan kemajemukan. Politisi kita malah terkesan bersikap sesuai arah mata angin. Mereka enggan bersikap tegas karena takut kehilangan popularitas. Jika demikian, populisme bukan lagi menjadi madunya demokrasi. Di tangan para pemimpin dan politisi yang tidak berani melawan arus, populisme berubah menjadi “racun” yang akan membunuh demokrasi secara perlahan, tapi pasti. []

[1]Burhanuddin Muhtadi adalah Pengajar FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Peneliti Lembaga Survei Indonesia (LSI) 

presentasi unduh

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.