PRD dan Megawati

SETELAH “PERISTIWA SABTU KELABU” yang lalu, topik yang hangat diberitakan adalah PRD, “partai” sejumlah aktivis yang kini dituding biang keladi kerusuhan. Siapa gerangan aktivisaktivis muda militan itu? Bagaimana kita menempatkan posisi mereka dalam sejarah dunia pergerakan politik kita? Bagaimana hubungan mereka dengan Megawati? Pertanyaan semacam inilah, implisit atau eksplisit, yang banyak disodorkan berbagai media kepada masyarakat. Sayang, banyak ulasan dan laporan yang agak bias, dengan sumber sepihak dan cenderung menghakimi.

Kalau mau lebih arif memahami mereka, menurut saya, kita harus melihat mereka sebagai bagian dari pergerakan politik pemuda yang lebih luas dalam 10 tahun belakangan. PRD (Partai Rakyat Demokratik)—yang sebagian tokoh pendirinya di Yogyakarta sekitar enam tahun silam disebut “anak-anak Gang Rhode”—pada dasarnya adalah perkembangan dan radikalisasi dari pergerakan pemuda tersebut.

Ada baiknya kita mengingat bahwa setelah pembersihan kampus pada 1978—menyusul meluasnya gerakan mahasiswa pada tahun itu yang mengkritik Pemerintah Orde Baru—pergerakan mahasiswa praktis melempem, hancur hingga ke akar-akarnya. Yang tersisa dan aktif setelah itu umumnya organisasi kepemudaan dukungan pemerintah, seperti KNPI dan Menwa. Situasi ini berlangsung hingga sekitar delapan tahun. Pada sekitar 1986, mulai terlihat tanda-tanda perubahan. Beberapa mahasiswa di Jakarta, Yogyakarta, dan Bandung membentuk kelompok studi, dan memandang secara kritis organisasi pemuda yang ada. Dalam satu-dua tahun—dengan dukungan publikasi simpatik dari media utama, seperti Kompas dan Tempo—format aktivis kepemudaan baru ini menjadi populer dan relatif cukup meluas dalam kehidupan kampus. Kelompok-kelompok diskusi yang baru ini menghidupkan

kembali tradisi panjang pergerakan pemuda yang dirintis, antara lain, oleh Hatta dan Soekarno pada 1920-an. Lalu Rahman Tolleng, Soe Hok Gie, dan Sjahrir pada 1960-an. Dalam berbagai kelompok diskusi inilah pada akhir 1980-an, terjadi semacam perlawanan intelektual terhadap strategi depolitisasi Orde Baru, yang dianggap terlalu menyempitkan cakrawala berpikir kaum muda.

Format aktivitas baru ini sangat cair dan lentur. Pengelompokan di kalangan mereka tak mengikuti garis ideologi dan politik kepartaian. Pada suatu saat, jika berdiskusi bersama Nurcholish Madjid, mereka bisa sangat terpukau oleh semangat modernisasi Islam dan merindukan kembalinya Masyumi. Di saat lain, waktu membahas ide-ide Arief Budiman, mereka larut dan terbuai oleh cita-cita besar kaum sosialis. Singkatnya, satu-satunya pengikat mereka adalah romantisme pada perubahan dan kerinduan akan ide alternatif yang dapat mendorong pembaruan masyarakat.

Hanya sekitar empat tahun kemudian bentuk aktivisme semacam itu mulai dianggap tak lagi memadai sebagai wahana penyaluran aspirasi kritis pemuda. Dalam banyak hal, ketidakpuasan ini didorong berbagai perkembangan politik penting, baik dalam konteks domestik maupun dunia. Pada Februari 1989, misalnya, terjadi “pemberontakan” mahasiswa di Beijing, yang menuntut dimulainya langkah demokratisasi secara radikal (peristiwa Tiananmen). Pada saat yang hampir sama, muncul gerakan massa dalam sistem komunisme, yang menuntut kebebasan politik yang lebih besar, yang akhirnya berujung pada keruntuhan sistem itu di pengujung 1991.

Didorong berbagai peristiwa penting ini, sebagian aktivis merasa bahwa tibalah saatnya memulai format kegiatan pemuda yang baru, yaitu aksi demonstrasi dan mimbar bebas. Di kalangan mereka sendiri, aksi semacam ini disebut “kegiatan baris-berbaris” dan “aksi parlemen jalanan”. Buat mereka, kegiatan dalam kelompok diskusi terlalu abstrak, jauh dari realitas konkret yang dihadapi masyarakat. Mereka menolak “intelektualisme”, dan ingin terjun langsung membela rakyat serta mendorong perubahan.

Maka, sejak awal 1990-an, kegiatan kelompok diskusi mulai surut, walau tak berhenti samasekali. Kelompok diskusi kehilangan elan, digantikan bentuk romantisme yang lebih radikal. Dan sejak saat itulah kita menyaksikan rangkaian demonstrasi dan mimbar bebas di dalam dan di luar kampus, yang dimotori aktivis muda itu.

Seperti dalam kelompok diskusi sebelumnya, aktivis baru ini tak bersifat homogen. Di satu pihak, terdapat kelompok yang hanya ingin melakukan aksi di dalam kampus dengan isu yang umum dan moderat. Di pihak lain, muncul kelompok aktivis yang meluaskan jaringan di luar kampus dan berupaya melakukan aliansi dengan kelompok yang mereka anggap strategis, seperti kaum buruh, petani kecil, dan kaum urban yang miskin dan tergusur.

Kelompok ini, selain lebih militan, disiplin dan sadar akan pentingnya organisasi, juga lebih mengalami pengkristalan ideologi. Dalam hal yang terakhir, para aktivis di kelompok kedua ini dapat disebut sebagai aktivis sosialis-progresif yang bekerja pada dataran praktis. Dunia perdebatan ide dan pertarungan imajinasi hampir samasekali mereka tinggalkan, bahkan mereka olok-olok. Dengan sadar mereka memandang diri sebagai penerus tradisi “kiri-radikal” dalam pergerakan politik kebangsaan kita, yang cikal-bakalnya telah dirintis, sejak pertengahan 1920-an.

Ke dalam kelompok inilah para aktivis muda pendiri PRD dapat digolongkan. Dalam bentuknya yang embrional di Yogyakarta dulu, jumlah mereka sebenarnya sangat kecil. Tapi, karena kesungguhan, penguasaan teknik demonstrasi, dan kejelasan ideologi yang mereka miliki, posisi mereka menjadi cukup penting di dunia aktivisme di Yogyakarta.

Sejak awal, persoalan utama kelompok ini—seperti juga persoalan gerakan pemuda secara umum—adalah kecilnya basis dukungan publik. Para aktivis itu harus menghidupkan kembali kepekaan politik publik, yang lebih dari 20 tahun terakhir diredam. Walaupun dalam dua tahun terakhir terlihat beberapa ”kemajuan” dalam mendekatkan diri mereka ke dalam jaringan buruh dan kaum tergusur di kota, besarnya kelompok mereka tak meningkat secara berarti. Mereka tetap saja menjadi pelaku politik pinggiran.

Munculnya Megawati sebagai tokoh yang dapat menghidupkan kembali kepekaan politik publik itu, buat mereka menjanjikan jalan ke luar dari sebuah impasse. Di pihak lain, Megawati pun—dengan kian derasnya tekanan terhadap dirinya—membutuhkan dukungan dari unsur pergerakan pemuda yang cukup militan dan berani mengambil risiko, untuk mendorong perubahan. Maka yang terjadi: perjumpaan kepentingan dari unsur dalam tradisi pergerakan pemuda dengan elemen sah dari sistem politik Orde Baru (PDI) yang terdesak, dan karena itu mencari kaki ke “bawah”.

10 Agustus 1996

 

Kolom, GATRA, 10 Agustus 1996

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.

Related Articles