Presiden Bush dan Pertaruhan Amerika

Gambar oleh gfk DSGN dari Pixabay

DRAMA AKBAR itu berakhir sudah. Rabu (13/12) malam pekan lalu, lewat pidato yang memukau, Wakil Presiden Al Gore dengan besar hati menerima kekalahannya dan menyampaikan selamat buat George W. Bush. Apa yang bermula sebagai konfik partisan antara dua kandidat dan dua partai politik mengenai jumlah suara yang mereka dapatkan dalam Pemilu 2000, berakhir dengan peneguhan kembali kebesaran Amerika. Dalam persaingan, mereka bertarung sepenuh hati seperti beruang yang terluka, tetapi setelah hakim bicara, semua pihak patuh dan menerima keputusan pengadilan, betapapun menyakitkan keputusan itu.

 
Tanggungjawab kepemimpinan di negeri pelopor demokrasi ini akan segera beralih ke pundak . Pada 20 Januari nanti dia akan disumpah sebagai Presiden ke-43 Amerika Serikat, menggantikan Bill Clinton. Di depannya sudah terbentang setumpuk masalah besar dan sejak sekarang dia harus meyakinkan rakyatnya, dia pantas mendapat kehormatan untuk memimpin mereka semua.
 
I’m a uniter, not a divider, saya seorang pemersatu, bukan pemecah-belah. Inilah mantra Bush selama masa kampanye pemilu. Setelah dilantik nanti, tantangan pertama yang dihadapi adalah bagaimana ia mewujudkan mantra itu setelah perseteruan pasca-pemilu yang luarbiasa seru selama 36 hari. Ia harus mampu merangkul kembali pendukung Partai Demokrat yang merasakan kepahitan mendalam akibat kekalahan mereka di Florida. Sebagai presiden, Bush dituntut menunjukkan bahwa pemerintah yang dipimpinnya akan membela dan mengangkat nasib mereka.
 
Dalam dunia kebijakan, tantangan terbesar Bush bersumber pada masalah klasik dalam kapitalisme modern, yaitu bagaimana ia merumuskan kembali perimbangan peran negara dan pasar, bagaimana ia mengatasi tarik-menarik antara langkah-langkah birokratis dan aksi-aksi sukarela di masyarakat. Sebagai wakil kaum Republikan, agenda kebijakan Bush selama masa kampanye dengan jelas memperlihatkan, ia ingin mengikuti jejak Ronald Reagan dan mendorong perluasan peran pasar dengan inovasi-inovasi yang berani.
 
Hal ini, misalnya, terlihat dalam programnya melakukan pemotongan pajak yang besar (1,3 triliun dollar AS selama 10 tahun ke depan) dan pada saat yang sama mendorong langkahlangkah privatisasi program kesejahteraan sosial, social security. Program terakhir ini, yang dimulai Presiden Franklin D. Roosevelt pada 1935, adalah ikon paling penting negara kesejahteraan ala Amerika, dan karena itu sering dianggap sakral, bahkan juga oleh kaum Republikan.
 
Bagi Bush dan para penasihat terdekatnya, kedua pilihan kebijakan besar itu penting dilakukan mengingat dalam 10 tahun ke depan, karena pertimbuhan ekonomi yang pesat, pemerintah AS akan menikmati surplus besar, yaitu sekitar 2,2 triliun dollar AS. Surplus yang fantastis ini tidak boleh digunakan pemerintah untuk makin memperluas perannya. Rakyatlah yang harus langsung menikmati rezeki itu, dalam bentuk pemotongan pajak yang tidak pandang bulu, across the board.
 
Ketimbang kaum birokrat dan politisi, rakyatlah yang lebih tahu bagaimana membelanjakan uang sebesar itu.
 
Memang tidak begitu jelas bagaimana Bush bisa memotong pajak yang demikian besar sekaligus membiayai privatisasi program kesejahteraan sosial yang lebih sering dikenal sebagai program jaminan pensiun, sebagaimana diinginkannya. Namun, dalam pikiran dia dan para penasihatnya, Amerika tidak punya pilihan selain melakukan langkah berani ini, sebab tanpa privatisasi, program sosial terpenting itu akan bangkrut dalam satu generasi ke depan.
 
Kini tiga pekerja di AS menanggung seorang pensiunan (setiap pekerja harus membayar pajak jaminan kesejahteraan yang langsung digunakan negara federal untuk membiayai kaum pensiunan). Dalam 20 tahun, karena perkembangan de­mo­grafs yang tidak terhindarkan, perimbangan ini akan menjadi 2,1:1. Artinya hanya sekitar dua orang yang bekerja untuk menanggung seorang pensiunan. Akibatnya, pada 2020, tanpa program privatisasi kesejahteraan sosial, negara tidak lagi mungkin membiayai puluhan juta kaum berumur yang kebanyakan menggantungkan hidupnya pada program itu. Bisa dibayangkan malapetaka seperti apa yang akan menunggu jika ini terjadi.
 
Singkatnya, Bush ingin agar pasar—bukan pemerintah serta kaum birokrat—yang berdiri di posisi terdepan menyongsong peluang menghadapi tantangan Amerika di masa depan. Inilah perbedaan hakiki antara Bush dan Gore, antara kaum Republikan dan kaum Demokrat, dan ini pula yang menjadi pertaruhan politik terbesar dalam pemilu yang baru saja berakhir.
 
Pertanyaannya kemudian, mampukah Bush menghadapi tantangan-tantangan besar itu dan mewujudkan agenda politiknya? Dengan mandat memerintah yang amat terbatas karena dia hanya mengalahkan Al Gore dengan selisih suara amat tipis, bisakah Bush mengambil langkah-langkah besar dan berani?
 
Hanya sejarah yang akan menjawab semua itu. Hambatan yang ada di depan Bush kini luarbiasa besar, seperti Gunung Himalaya politik yang sulit didaki. Dari hasil Pemilu 2000, komposisi kursi di Kongres terbagai hampir sama rata antara kaum Republikan dan kaum Demokrat. Di Senat (lembaga perwakilan negara bagian) perimbangannya persis 50-50 dan di House of Representatives (DPR) kaum Republikan hanya unggul 11 kursi, sebuah jumlah yang jauh dari memadai untuk mendukung agenda politik Bush.
 
Dalam sistem politik AS, jika perimbangan seperti itu terjadi, biasanya yang akan tercipta adalah apa yang sering disebut political gridlock, kebuntuan politik. Dalam situasi semacam ini, tidak satu pun inisiatif kebijakan mendasar dapat dilahirkan.
 
Satu-satunya cara agar Bush bisa menghindari situasi demikian adalah dengan berusaha merangkul kaum Demokrat yang moderat, yaitu mereka yang selama ini dikenal sebagai the new Democrats. Ia harus bisa melakukan hal ini tanpa meninggalkan basis pendukungnya di Partai Republik, dan tanpa berkompromi terlalu jauh dalam pelaksanaan agenda yang sudah ia janjikan selama pemilu.
 
Semua hal itu amat tidak mudah. Satu-satunya harapan, Bush mungkin bisa berhasil mengatasinya terletak pada kualitas kepemimpinan Bush sebagaimana tercatat selama dia memainkan peran sebagai Gubernur Texas, salah satu negara bagian terbesar di AS.
 
Bush bukan seorang ideolog, dan dia tidak memiliki minat untuk menjadi flsuf­negarawan. Namun, selama memimpin Texas, dia membuktikan dirinya sebagai seorang deal-maker ulung, dengan kepribadian menarik yang dengan alamiah gampang menarik simpati banyak orang. Di negara bagian yang kaya minyak ini, Bush amat berhasil dalam bekerjasama dan menarik dukungan kaum Demokrat.
 
Apakah langkah-langkahnya yang berhasil di Texas juga bisa diterapkan di Washington DC? Sebagian pengamat cukup skeptis terhadap hal ini. Tetapi, sebagian lagi tetap menaruh harapan besar. Kalau kaum skeptis yang benar, pada Pemilu 2004 kita akan melihat Al Gore (atau Senator Hillary Clinton) merontokkan pemerintahan Bush. Namun, jika kaum optimistis yang benar, George W. Bush akan mencatatkan namanya dengan tinta emas dalam sejarah Amerika, sebagaimana yang dilakukan Ronald Reagan lebih sepuluh tahun lalu.
 
19 Desember 2000

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.