Profesor Liddle

Gambar: mershoncenter.osu.edu

Baru-baru ini Penelitian dan Pengembangan Harian Kompas, bekerja sama dengan Academia Sinica Taiwan, meluncurkan hasil penelitian sangat penting tentang sosok kelas menengah kita. Secara umum, dari hasil penelitian selama setahun lebih ini diperoleh gambaran cukup meyakinkan bahwa kelas menengah kita cenderung konservatif, pasif, dan penuh ambivalensi terhadap pilihan pemihakan yang mendasar dalam berbagai konflik sosial. Sikap konservatif dan pasif mereka, misainya, terlihat pada prioritas yang mereka anggap terpenting, yaitu penanggulangan kriminalitas dan pertumbuhan ekonomi, bukannya perubahan politik dan pengembangan ide-ide kritis dalam masyarakat.

Selain itu mereka sangat tak terlibat dalam berbagai organisasi sosial yang bersifat civic, yang oleh Alexis de Tocqueville dianggap sebagai "infrastruktur" masyarakat demokratis. Bagi sebagian kalangan, penelitian menarik seperti ini mungkin akan digunakan untuk memperkuat pandangan yang pesimistis terhadap masa depan demokrasi kita. Oleh pandangan pesimistis ini, kelas menengah kita memang dianggap tak mampu menjadi motor perubahan, sebab posisi anggota kelas ini terlalu bergantung pada negara.

Dalam posisi ketergantungan demikian, mereka tak memiliki banyak pilihan selain bersikap apatis dan mencari kompensasi pada hal-hal yang lebih bersifat konsumtif dan "materiil". Buat mereka, risiko untuk bersikap kritis terlalu besar. Semua ini, dengan kata lain, berujung pada kesimpulan bahwa proses transformasi politik di negeri kita memang harus menunggu lebih lama lagi. Kita belum memiliki kekuatan penggerak demokrasi yang dapat diandalkan.

Tapi betulkah? Buat saya, pesimisme demikian, walau cukup beralasan, tak sepenuhnya benar. Pandangan seperti ini melihat pertumbuhan peran kelas menengah secara statis, bukan dinamis. Kita harus ingat bahwa pada 1980-an, pesimisme yang sama juga sering dilontarkan terhadap peran kelas menengah di Korea Selatan, Taiwan, dan Thailand. Tapi apa yang terjadi pada awal 1990-an sama sekali meruntuhkan pesimisme ini: kekuatan kelas menengah, seperti kaum profesional dan mahasiswa, mendorong terjadinya proses transisi, dari rezim otoritarian ke arah rezim yang lebih demokratis.

Kita masih ingat bagaimana, misalnya, pada April-Maret 1992, kaum profesional di Bangkok, dengan telepon seluler di tangan mereka, bahu-membahu bersama aktivis mahasiswa meruntuhkan rezim militer-otoritarian, yang saat itu dipimpin Jenderal Suchinda. Dalam proses perubahan ini, mereka memperlihatkan, walaupun berada dalam "situasi ketergantungan", sikap kritis dan kepedulian terhadap hal-hal besar dalam kehidupan ini dapat mereka tumbuhkan secara serentak, dan dengan cukup radikal.

Ini berarti kelas menengah, yang pada dasarnya konservatif dan pasif itu, dalam waktu dan konteks tertentu bisa saja berubah sikap dan menjadi radikal (radikalisme temporer). Dan, sebagaimana bisa dipelajari dari kasus di tiga negara tadi, perubahan sikap seperti ini bisa terjadi dalam periode yang cukup singkat. Dengan demikian, buat saya, kita harus sangat hati-hati untuk berkata, karena sifat-sifat tertentu yang ada pada kelas menengah maka prospek demokrasi kita sangat suram.

Jika beberapa faktor yang menjadi prakondisi perubahan sikap demikian terpenuhi, bukan tak mungkin negeri kita pun akan mengalami proses transformasi yang mendasar. Kalau kita lihat dari kasus demokratisasi yang banyak terjadi belakangan ini, faktor-faktor yang menjadi prakondisi demikian setidaknya ada dua. Pertama, munculnya tindakan dan perilaku dari penguasa "rezim lama" yang oleh opini publik dianggap telah melampaui batas toleransi moral. Faktor ini bisa disebut sebagai the triggering factor.

Dalam kasus di Thailand, misalnya, hal ini dapat dilihat dalam kudeta yang dilakukan Jenderal Suchinda, dan penembakan beberapa aktivis mahasiswa yang melakukan protes terhadap kudeta tersebut. Faktor seperti ini bisa juga berwujud dalam tindakan korupsi, kolusi, dan refeodalisasi yang meluas (anak dan keluarga penguasa politik menjadi pengusaha mahakuasa), dan banyak lagi. Kedua, munculnya kepemimpinan alternatif. Bisa dari luar, tapi lebih sering dari dalam rezim itu sendiri.

Yang terakhir ini sering disebut seba gai elite reformis. Di Korea Selatan, elite reformis ini bisa dilihat pada so sok Roh Tae Woo, tokoh yang berani mengambil risiko melepaskan sebagian kekuasaannya dengan melakukan kompromi terhadap tuntutan-tun tutan kaum oposisi dan aktivis mahasiswa. Dalam konteks lain, elite seperi ini bisa dilibat pada diri Gorbachev dan Yeltsin: mereka adalah pentolan-pentolan Golkar-nya Uni Soviet, yang bisa menangkap "isyarat sejarah", dan kemudian menjadi reformis. Faktor pertama tadi memberi landasan moral bagi demokratisasi, sedangkan faktor kedua memberinya aktor-aktor pendorong, heroes of change, yang secara cukup tiba-tiba mampu menggerakkan publik untuk bersatu dalam tindakan-tindakan yang melahirkan rezim demokratis.

Terus terang saya tak begitu mengerti kapan kedua prakondisi demikian muncul di negeri kita. Yang jelas, kalau kondisi ini hadir nanti, saya tak akan kaget jika kelompok dalam kelas menengah kitalah yang justru menjadi pihak pertama dalam mendukung dan mendorong perubahan.

*Mahasiswa S3 Jurusan Ilmu Politik, The Ohio State University. --Kini Direktur Freedom Institute, Jakarta.

Kolom, GATRA, 28 September 1996

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.

Related Articles