PROFESOR WIDJOJO NITISASTRO turun gunung sekali lagi. Baru-baru ini tak kurang dari Presiden Soeharto yang memberikan mandat khusus buatnya untuk “mengambil langkah-langkah yang diperlukan” agar krisis matauang kita dapat diakhiri. Sambil bergurau, Bill Liddle, guru besar ilmu politik dari Ohio, berkata bahwa pemberian mandat dari Pak Harto kepada arsitek ekonomi Orde Baru itu bisa diandaikan sebagai sebuah “supersemar ekonomi”.
Sebenarnya turun gunungnya Profesor Widjojo saat ini bukan hal yang terlalu mengejutkan. Sejak awal, dinamika kebijakan ekonomi Orde Baru memang mengikuti sebuah dalil yang ingin saya sebut sebagai Sadli’s Law: setiap kali krisis besar tejadi, peran kaum teknokrat diperkuat. Pemerintah membutuhkan keahlian dan pengaruh mereka untuk menyelesaikan krisis. Dan hingga saat ini di kalangan kaum teknokrat, Profesor Widjojolah yang dipandang sebagai “kepala suku”. Jadi, logis saja jika dia kemudian mendapat mandat kepemimpinan untuk menanggulangi krisis rupiah yang terjadi tiga bulan belakangan ini.
Pertanyaan kita sekarang tentu saja adalah: bisakah sejarah terus berulang? Kalau dulu Profesor Widjojo berhasil mengatasi krisis setiap kali diminta, apakah saat ini akan demikian pula?
Setelah menghentikan laju hiperinflasi pada akhir 1960-an, menyelesaikan kemelut Pertamina pada pertengahan 1970-an, serta mengatasi dampak buruk krisis minyak dan resesi ekonomi pada pertengahan 1980-an, mampukah dia sukses lagi pada pengujung 1990-an ini?
Lebih jauh lagi, bisa ditebak bahwa IMF dan Bank Dunia, selain memberikan bantuan langsung untuk mengangkat nilai rupiah, kemungkinan besar juga akan mengusulkan agar kebijakan deregulasi sungguh-sungguh diterapkan, seperti yang sudah terjadi berkah-kali. Apakah Profesor Widjojo memang sanggup memenuhi permintaan seperti ini?
Saat ini tentu terlalu cepat untuk bisa menjawab dengan pasti pertanyaan demikian. Dalam satu hal kita harus ingat bahwa kelompok inti Profesor Widjojo—seperti Ali Wardhana, Sumarlin, Emil Salim, Sadli, dan Radius Prawiro—sudah cukup lama tergeser dari panggung kekuasaan. Dulu kelompok ini bisa membentuk tim kerja yang sangat solid dan kompak. Tanpa tim semacam ini, apakah Profesor Widjojo masih bisa berbuat banyak seperti dulu? Lagi pula, dalam situasi kabinet yang sangat tak terkoordinasi seperti sekarang, apakah dia akan mendapat dukungan internal yang memadai untuk melahirkan kebijakan yang konsisten?
Selain semua itu, persoalan lain yang dihadapi Profesor Widjojo adalah masalah politik. Pada 1990-an ini, tingkat militansi masyarakat dan tingkat pergesekan di kalangan elite cenderung meninggi. Segala hal sekarang dapat ditafsirkan sebagai langkah-langkah politicking, baik di kalangan masyarakat luas maupun di kalangan para elite.
Dengan kata lain, berbeda dari saat yang lalu, kebijakan ekonomi yang drastis agak lebih sulit dilahirkan dalam kondisi politik kita saat ini. Setiap kebijakan pasti mengandung ongkos politik dan melahirkan biaya sosial. Artinya, setiap kebijakan dalam jangka panjang yang akan mendorong efisiensi dan meningkatkan ekspor, misalnya, akan ditentang secara luas jika dalam jangka pendek dianggap dapat menyusahkan sebagian kelompok masyarakat. Dalam hal terakhir ini bukan tak mungkin Profesor Widjojo dituding sebagai kaki tangan IMF dan Bank Dunia, yang hanya membebek, mengikuti perintah Amerika dan merugikan kepentingan nasional.
Karena itu, buat saya, untuk bisa sepenuhnya berhasil, Profesor Widjojo harus menangani dimensi politik ini dengan ekstra hati-hati. Saya berharap, pendekatan kaum teknokrat saat menelurkan kebijakan deregulasi pada 1980-an dapat ditinggalkan. Seperti kita ketahui, rangkaian kebijakan deregulasi saat itu memang merupakan inovasi yang sangat baik dan berdampak sangat positif bagi dunia perekonomian kita secara umum. Tapi sayang, pendekatan yang digunakan untuk menghasilkan kebijakan-kebijakan deregulasi sangat bersifat tertutup. Kaum teknokrat sepertinya lebih senang bekerja di belakang layar dan tak begitu peduli mencari dukungan publik.
Akibatnya, kebijakan mereka bukan saja tak terlalu menyentuh hati masyarakat, melainkan juga peran mereka banyak disalahpahami. Karena akibat seperti inilah, antara lain, dorongan terhadap deregulasi cenderung melemah pada awal hingga pertengahan 1990-an. Bahkan bukan itu saja: sebagian dari mereka pun, termasuk Profesor Widjojo, tergeser dari panggung kebijakan publik.
Dengan demikian, bagi saya, jika langkah-langkah Profesor Widjojo saat ini memang ingin ditujukan untuk menciptakan dampak yang jauh dan mendalam, pendekatan kebijakan yang digunakan haruslah pendekatan terbuka. Dengan pendekatan seperti ini masyarakat akan merasa dihargai, sebab kebijakan-kebijakan penting yang melibatkan hidup mereka terlebih dulu dibicarakan dan didiskusikan secara luas. Jika sudah begini, dukungan bagi kaum teknokrat pun tak lagi semata-mata dari “atas”, juga dari masyarakat umum.
Sebagai ekonom, Profesor Widjojo memang memiliki kemampuan dan intuisi yang tak perlu diragukan. Namun karena perjalanan waktu dan perubahan masyarakat, tantangan dia sekarang bukan lagi terutama bersifat ekonomi, melainkan politik. Artinya, untuk mengulangi sejarah keberhasilannya, Profesor Widjojo harus berperan lebih sebagai teknopol (teknokrat-politikus).
Memang peran ini agak lebih rumit ketimbang peranan teknokrat sebagaimana biasanya. Dan karena itu pula kita bisa berkata bahwa justru sekarang inilah Profesor Widjojo mungkin bertemu dengan salah satu tantangan terbesar dalam kariernya.
18 Oktober 1997
You must be logged in to post a comment.