Romo Mangun: Telaah Pemikiran Dan Karyanya

YB Mangunwjaya atau yang dikenal luas sebagai Romo Mangun adalah sosok multi-dimensi.  Ia dikenal sebagai rohaniwan, arsitek, budayawan, sastrawan, dan aktivis dan pembela wong wong cilik (bahasa Jawa untuk ""rakyat kecil""). Untuk mengenang, menghormati, dan mengkaji buah pemikiran dan karya-karya peraih penghargaan sastra se-Asia Tenggara Ramon Magsaysay pada 1996 ini, Freedom Institute pada Kamis, 12 Mei 2011, menggelar diskusi “Romo Mangun: Telaah Pemikiran dan Karyanya”, yang menghadirkan para pembicara dari berbagai kalangan: Ayu Utami (Sastrawan), Bonnie Triyana (Ahli Sejarah), Erwinthon Napitupulu (Peneliti Arsitektur).

Ayu Utami, pembicara pertama dalam diskusi ini menyoroti Romo Mangun dari sisi sastra pada khususnya, dan budaya pada umumnya. Secara khusus Ayu menggali sisi humanisme dan berbagai paradoks kecilnya dalam pemikiran dan karya Romo Mangun. Menurut Ayu, Romo Mangun lahir empat tahun saja setelah Pramoedya, tetapi ia baru mulai menyumbang dalam kesusastraan Indonesia di usia cukup larut. Novel pertamanya terbit tahun 1981, di puncak kejayaan presiden Suharto. Ketika itu Y.B. Mangunwijaya telah berumur 51 tahun. Karena itulah, barangkali, rentangan karya sastra Romo Mangun--selama hampir dua dekade kemudian--tidak berbagi kegelisahan yang sebangun dengan mereka yang telah menulis di era Sukarno. Yang sangat jelas, misalnya, ia tidak mengambil peran dalam konflik Manifesto Kebudayaan di paruh awal tahun 60-an. Ia masih pastor muda di masa itu. Sebagai imam junior, ia memang tidak memiliki kebebasan untuk terlibat dengan urusan-urusan duniawi tanpa izin hirarki Gereja Katolik. Setelah sebagai imam, ia adalah arsitek, baru kemudian sastrawan--demikian secara urut-waktu. Sebagai pengarang ia adalah ""generasi"" 80-an. Dan saya kira ia membawa serta terbawa ""ruh zaman"" era itu.

Pembicara kedua, Bonnie Triyana, membahas sisi kesejarahan dari Romo Mangun dan visi beliau tentang kebangsaan dan keindonesiaan. Seperti Ayu, Bonnie pun menganggap Romo Mangun sebagai sosok yang humanis. Bedanya Bonnie menambahkan embel-embel kritis di belakang kata humanisme itu. Bonnie beranggapan bahwa menurut Romo YB Mangunwijaya sejarah bukanlah soal menang atau kalah. “Kalah menang itu nisbi, dilihat oleh siapa dan dari segi mana,” kata dia dalam buku Mengenang Sjahrir (1980). Kemampuan melihat sejarah sebagai suatu pergumulan yang tak berujung menang atau kalah itu datang dari pemahaman bahwa sejarah merupakan perpaduan gugusan peristiwa dan interaksi kompleks dalam suatu proses “ekologis” pergulatan bangsa manusia, mempertinggi diri dari tingkat kebudayaan relatif rendah, berdimensi sedikit, ke tingkat relatif lebih tinggi, berdimensi lengkap secara lebih integral.

Bonnie menambahkan, sudut pandang Romo Mangun melihat sejarah menunjukkan siapa dirinya: seorang humanis yang tak gegabah meringkus kesimpulan sebuah pergumulan sejarah. Sebuah cara memahami sejarah lebih berimbang: tidak hitam tidak putih tapi selalu tegas ketika menjadi “hakim” di “pengadilan sejarah” untuk mendakwa mereka yang telah menginjak-injak nilai-nilai luhur kemanusiaan.

Pembicara terakhir, Erwinthon Napitupulu, menyoroti pergulatan Romo Mangun dalam bidang yang selama ini kurang banyak dibahas orang: arsitektur. Pada umumnya, tilikan Erwinthon lebih berfokus pada buku Romo Mangun di bidang arsitektur, Wastu Citra. Erwinthon beranggapan bahwa materi yang dibahas buku ini sangat menarik dan sedikit lebih mudah dipahami ketimbang tulisan-tulisannya di bidang lain. Hal ini, menurut Erwinthon, mungkin karena dalam buku ini terdapat banyak ilustrasi, gambar, dan foto, yang masing-masing dilengkapi dengan keterangan yang cukup rinci. Bagi arsitek yang umumnya lebih dekat dengan gambar ketimbang kata, hal ini bisa dimaklumi.

Lebih jauh, Erwinthon mengatakan bahwa  untuk mencoba lebih jauh memahami sebuah karya arsitektur Romo Mangun, bisa dilakukan dengan beberapa cara, di antaranya: Pertama, membandingkannya dengan karya-karya arsitekturnya yang lain. Cara ini cukup jitu dilakukan pada bangunan-bangunan gereja karyanya yang umumnya punya gagasan desain yang tidak jauh berbeda. Kedua, mengaitkan dengan tulisan dan aktivitasnya di bidang yang lain, karena tidak jarang Romo Mangun berarsitektur sebagai perluasan dari kiprah sebelumnya di bidang lain. Ini dilakukan misalnya untuk karyanya di Kedungombo, Boyolali, berupa perahu yang selain sebagai alat penyeberangan antardesa yang dipisahkan oleh “danau”, juga digunakan sebagai perpustakaan terapung. Dan untuk bangunan SD Mangunan Kalasan, ketika ia memutuskan untuk berkiprah total pada pendidikan dasar untuk anak miskin. Ketiga, mengaitkan dengan tulisan dan pandangannya di bidang arsitektur, termasuk Wastu Citra. Cara ini ternyata membuat buku ini semakin menarik. Dan pengaitan itu dapat membuat hadirnya jawaban dari berbagai pertanyaan yang muncul ketika mencoba memahami karya-karya arsitektur Romo Mangun.

Diskusi ini sendiri dihadiri oleh 150 peserta dari berbagai kalangan, dan dipandu oleh Nirwan Dewanto.

09/06/11

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.