Setelah Perang

Perang usai sudah, dan kini kita bertanya bagaimana nasib Irak selanjutnya. Sejarah akan menilai Perang Teluk II bukan pada prosedur terjadinya, melainkan pada hasil akhirnya, yaitu Irak yang demokratis dan meninggalkan segala kepahitan yang dialaminya di bawah kepemimpinan Saddam Hussein. Kalau hal ini tercapai, Perang Teluk II akan dicatat sebagai perang yang membebaskan, bukan sebaliknya.

Sejauh ini cukup banyak kalangan yang meragukan bahwa Irak akan mengikuti keberhasilan Jepang dan Jerman. Di akhir Perang Dunia II, kedua negeri ini porak-poranda (jauh lebih buruk ketimbang Irak) dan diduduki oleh pasukan sekutu yang dipimpin oleh Amerika Serikat. Tapi setelah itu yang terjadi adalah keajaiban. Dalam satu dekade, keduanya menjadi negeri demokrasi yang stabil. Dan setelah itu, dari puing-puing kehancuran, mereka tumbuh menjadi dinamo ekonomi yang bahkan dapat menyaingi negeri-negeri penakluk mereka.

Irak tidak mungkin mengulang pengalaman kedua negeri itu. Masyarakat Jepang dan Jerman adalah masyarakat yang relatif homogen, sementara masyarakat Irak terpecah tajam dalam garis-garis etnis dan agama. Jauh sebelum PD II, Jepang dan Jerman telah mengadopsi modernitas dan telah tumbuh menjadi dinamo industri.

Jepang pada 1905 telah mengalahkan Rusia pada saat Irak masih di bawah penaklukan Imperium Ottoman. Singkatnya, bagi kaum yang pesimistis, Irak dalam tahun-tahun mendatang adalah negeri yang akan semakin terperosok dalam kelam, dengan siklus kekerasan yang tanpa henti. Nasib Somalia dan Haiti, bukannya Jepang dan Jerman, adalah masa depan Irak. Tapi betulkah? Tentu saja jalan Irak akan lebih panjang dan sulit ketimbang apa yang telah dialami Jepang dan Jerman.

Masyarakat Irak memang terbelah dalam garis etnis (Arab dan Kurdi) dan agama (Sunni dan Syiah). Tapi kemajemukan bukanlah musuh demokrasi. Dengan konstruksi sistem politik yang tepat, ia malah dapat menjadi sumber kekuatan. Saya setuju dengan Thomas Friedman, kolumnis The New York Times yang tajam. itu, bahwa keunikan Irak adalah karena ia merupakan satu-satunya negeri di dunia Arab yang memiliki empat hal sekaligus, yaitu minyak, air, otak, dan tradisi sekularisme. Arab Saudi dan Kuwait hanya memiliki minyak, Israel cuma punya otak, sementara di Suriah dan Mesir hanya ada air dan tradisi sekularisme.

Dengan modal semacam itu, tidak ada alasan bangsa Irak tidak bisa mulai membangun negerinya. Dengan jatuhnya rezim Saddam Hussein, peluang itu sekarang terbuka. Kalau ada yang bisa Irak pelajari sekarang dari Jepang dan Jerman, hal itu terletak pada kemampuan kedua negara ini untuk segera melupakan kepahitan masa lalu dan lebih memikirkan masa depan segera setelah perang usai.

Menolak sikap defeatism, bangsa Jepang dan Jerman tidak mengorek luka mereka terus-menerus. Bahkan terhadap AS, sang penakluk mereka, kedua negeri ini bersikap konstruktif. Bukannya meminta AS segera hengkang setelah situasi normal kembali, Jepang dan Jerman justru menggunakan negeri adikuasa ini untuk terus membela dan membantu mereka dalam masa-masa sulit selama Perang Dingin, bahkan hingga saat ini. Memang, keberhasilan Irak juga tidak ditentukan hanya oleh diri mereka sendiri, setidaknya untuk saat ini.

Sekarang peranan AS adalah sebuah force majeure. Tidak ada yang dapat memulihkan kembali hukum dan ketertiban di Irak dalam dua atau tiga bulan ke depan kecuali kekuatan AS (kekuatan PBB hanya macan kertas, sebagaimana terbukti di Bosnia dan Rwanda beberapa tahun silam). Negeri penakluk ini harus menjamin bahwa infrastruktur dan berbagai kebutuhan dasar kembali tersedia, serta birokrasi pemerintahan yang minimal dapat berfungsi kembali. Namun, setelah itu apa? Yang saya khawatirkan adalah, karena desakan politik dalam negeri atau karena hal lainnya, AS cepat angkat kaki dari Irak, seperti yang terjadi di Somalia setelah puluhan tentaranya tewas oleh amukan massa.

Fareed Zakaria menulis di majalah Newsweek pekan silam bahwa Negeri Abang Sam bisa segera hengkang atau membantu membangun demokrasi di Irak, tetapi tidak keduanya sekaligus. Sejak awal, selain alasan keamanan nasional, Presiden Bush dan para pembantunya, seperti Dick Cheney, Donald Rumsfeld, Condoleeza Rice, dan Paul Wolfowitz, menyiratkan bahwa perang terhadap rezim Saddam Hussein dilakukan berdasarkan prinsip democratic imperialism.

Dalam menjalankan peran sebagai imperator demokrasi, AS tentu bisa bertindak bijaksana dengan mengajak semakin banyak negara untuk terlibat di dalam proses pemerintahan transisi dan pembangunan kembali infrastruktur Irak. Dalam hal ini peran PBB sangat penting, setidaknya untuk memperkuat aspek legitimasi dan meyakinkan rakyat Irak bahwa dunia bersama mereka. Setelah Perang Dunia II, Sir Winston Churchill pernah berkata, in war resolution, in peace magnamity. Kearifan ini harus disuarakan kembali oleh Presiden Bush dan para pembantunya.

Setelah lima tahun menjadi semacam prokonsul Romawi di Jepang, Jenderal MacArthur kembali ke negerinya dengan diiringi tangis oleh sebagian warga di Tokyo. Dua tahun setelah kepergian MacArthur, AS memulihkan sepenuhnya kedaulatan pemerintahan Jepang, yang sama sekali sudah meninggalkan cirinya yang militeristik dan otoriter. Dengan kebijakan yang tepat, dan juga sedikit keberuntungan, hal itu. bukan tidak mungkin terulang di Irak. Yang jelas, jika Irak memang bisa memanfaatkan peluang yang sekarang terbuka, di kawasan Timur Tengah akan muncul sebuah model negara yang baru sama sekali.

Di kawasan ini demokrasi dan pembangunan ekonomi adalah kata-kata yang asing. Sebagaimana Jepang memberi contoh keberhasilan pada negeri-negeri di Asia Timur, Irak bisa menjadi mercusuar dan memulai sebuah proses yang menguak harapan negeri-negeri tetangganya.

*)Penulis adalah Direktur Freedom Institute, Jakarta.

Kolom, TEMPO, 27 April 2003

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.

Related Articles