Tentang Kebebasan: Berlin vs Charles Taylor

Gambar oleh Denise Husted dari Pixabay

Kapan saya bisa berkata bahwa saya orang bebas? Jawaban atas pertanyaan sederhana ini bisa mengubah arah sejarah.

Kebebasan pada dasarnya dipahami dalam dua bentuk: negatif dan positif. Konsepsi kebebasan negatif mengacu pada suatu keadaan di mana kita bebas dari paksaan orang lain. Paksaan, misalnya dalam bentuk hukum, di sini hanya diperlukan untuk mencegah tindakan seseorang yang merugikan orang lain.

Konsepsi kebebasan positif merujuk pada suatu keadaan di mana kita bebas untuk menata kehidupan kita, bebas untuk berpartisipasi dalam suatu proses yang akan mengontrol hidup kita. Di sini seorang manusia bebas dianggap sebagai seorang manusia yang dapat melakukan hal-hal yang dianggap bernilai untuk dilakukan.

Sekilas, dua konsepsi kebebasan ini tampaknya tidak jauh berbeda dalam hal konsekuensi-konsekuensi praktisnya. Menurut saya, sampai tingkat tertentu keduanya memang tidak bisa dipisahkan. Namun pada dasarnya keduanya berbeda. Dan perbedaan ini bisa menghasilkan dua manusia berbeda yang melakukan dua jenis tindakan yang sepenuhnya bertentangan, keduanya atas nama kebebasan.

Dari sejarah pemikiran politik kita tahu bahwa dua konsepsi kebebasan ini bukan merupakan hal baru. Locke, Hobbes, Constant, Mill, Bentham, Tocqueville adalah nama-nama besar yang seringkali dikaitkan dengan konsepsi kebebasan negatif; sementara Hegel, Marx, dan Rousseau dengan kebebasan positif.

Dalam esai pendek ini saya tidak akan mengulas argumen-argumen para pemikir besar dan klasik ini. Di sini saya akan mengkaji dua filsuf kontemporer yang populer (Isaiah Berlin dan Charles Taylor), yang mewakili masing-masing konsepsi tersebut. Saya akan menjelaskan posisi keduanya. Pertama-tama harus saya katakan bahwa konsepsi kebebasan negatif lebih unggul, baik secara moral maupun intelektual. Saya lebih setuju dengan Sir Berlin. Karena itu, esai ini juga bertujuan mempertahankan konsepsi kebebasan negatif dari serangan- serangan yang dilancarkan oleh para pemikir seperti Taylor.

***

Saya lazimnya dianggap bebas sampai tingkat di mana tidak ada manusia atau kumpulan manusia yang ikut campur dengan aktivitas saya. Kebebasan politik dalam pengertian ini adalah suatu wilayah yang di dalamnya seseorang bisa bertindak tanpa dirintangi orang lain. Jika saya dihalangi orang lain untuk melakukan apa yang ingin saya lakukan, maka sampai tingkat tertentu saya tidak bebas; dan jika wilayah ini dipersempit oleh orang lain melebihi suatu batas minimum, maka saya dapat dianggap telah dikekang, atau mungkin diperbudak....

Kata-kata Isaiah Berlin ini adalah inti dari konsepsi kebebasannya. Kekangan, dalam konteks paragraf ini, bukan merupakan suatu istilah yang melingkupi setiap bentuk ketidak mampuan. Kekangan dan ketidakmampuan untuk melakukan hal-hal tertentu hendaknya tidak dicampuradukkan: “Jika saya mengatakan bahwa saya tidak mampu melompat di udara lebih dari 10 kaki, ...atau tidak mampu memahami halaman-halaman sulit buku Hegel, akan aneh untuk mengatakan bahwa saya sampai tingkat tersebut dikekang atau diperbudak.”

Saya mungkin tidak mampu membeli roti, atau tamasya keliling dunia mengunjungi kota-kota yang indah, karena saya miskin, namun hal ini tidak niscaya berarti bahwa saya bukan manusia bebas. Hanya ketika saya yakin kemiskinan saya disebabkan oleh kenyataan bahwa “orang lain telah merancang suatu keadaan di mana saya, dan bukan orang lain, terhalangi untuk memiliki uang yang cukup...”, maka saya dapat mengatakan bahwa saya adalah korban pengekangan, dan dengan demikian bukan manusia bebas. Di sini, menurut Berlin, teori-teori ekonomi memainkan suatu peran penting dalam menjelaskan tentang sebab-sebab kemiskinan tersebut.

Bebas berarti memiliki suatu wilayah kehidupan pribadi yang tidak dapat dicampurtangani oleh orang lain. “Semakin luas wilayah di mana saya tidak dicampurtangani, semakin luas kebebasan saya”. Dengan kata lain, kebebasan mensyaratkan suatu wilayah minimum kebebasan pribadi yang samasekali tidak bisa dilanggar, “...karena jika hal itu dilanggar, seorang individu akan merasa ruang geraknya terlalu sempit bahkan untuk perkembangan minimum kemampuan-kemampuan alamiahnya yang memungkinkannya untuk mengejar, dan mencapai, berbagai macam tujuan yang dianggap manusia baik, benar atau sakral.”

Hal ini berarti bahwa suatu pemisahan yang jelas harus diteguhkan antara wilayah kehidupan pribadi dan wilayah otoritas publik. Jika otoritas publik tersebut melanggar wilayah kehidupan pribadi, meski sedikit, maka hal itu akan dianggap sebagai suatu despotisme, suatu tirani. Agar kebebasan terjaga, pemisahan tersebut harus menjamin paling tidak suatu wilayah minimum kebebasan pribadi. Wilayah pribadi yang dilindungi ini merupakan suatu ruang di mana hakikat manusia dibiarkan berkembang.

Dalam memberikan pembenaran bagi konsepsi kebebasan negatif, Berlin sampai tingkat tertentu tampak mengulangi argumen-argumen Mill, meskipun bukan tanpa perbaikan-perbaikan. Seperti kita tahu, bagi Mill kebebasan merupakan suatu keharusan jika kita tidak ingin menjerumuskan seluruh masyarakat ke dalam lembah mediokritas kolektif. Kebebasan adalah syarat bagi kreativitas. Jika kita tidak membiarkan manusia hidup seperti yang mereka inginkan, kebenaran tidak akan terkuak karena tidak ada pasar bebas gagasan. Tanpa kebebasan pribadi, hal-hal baik dari kehidupan seperti kreativitas, spontanitas, energi moral, dan orisinalitas mandek: tanpa semua ini peradaban tidak bisa maju.

Bagi Berlin, alasan utilitarian ini hanya tak terbantahkan dalam pengertian bahwa jika “dogma menghancurkan semua pemikiran”, tak seorang pun “akan mengatakan bahwa kebenaran atau kebebasan berekspresi bisa berkembang”. Namun, persoalannya, sejarah memperlihatkan bahwa kualitas-kualitas manusia yang sangat dihargai oleh Mill—yakni kreativitas, cinta kebenaran, integritas—tumbuh dengan sama suburnya dalam komunitas-komunitas yang sangat terdisiplinkan (misalnya kaum Puritan Kalvinis di Skotlandia atau New England, atau dalam disiplin militer), sebagaimana dalam masyarakat-masyarakat yang lebih toleran atau lebih bebas. Dengan kata lain, meskipun argumen utilitarian Mill secara prinsip terdengar mulia, argumen tersebut secara empiris kurang meyakinkan.

Karena itu, diperlukan suatu pembenaran lain yang lebih kuat. Dan di sini Berlin kembali pada argumen Mill yang lain (dan, sampai tingkat tertentu, juga Tocqueville). Bagi Berlin, alasan terkuat untuk menerima gagasan tentang kebebasan negatif adalah bahwa gagasan ini, jika dipraktikkan, dapat menghindari kejahatan politik terbesar: tirani. Sekalipun rezim politik tersebut tidak demokratis (misalnya monarki), asalkan batas-batas wilayah pribadi tidak dilanggar sehingga wargane gara masih bisa berbicara dan bertindak tanpa campur-tangan dari otoritas masyarakat tak terancam oleh tirani.

Sebaliknya, bagi Berlin, konsepsi kebebasan positif sangat rentan terhadap godaan-godaan tiranik atau totalitarian. Ke bebasan ini mendasarkan konsepsinya pada suatu bentuk kehidupan atau nilai-nilai hidup yang lebih tinggi sebagaimana yang didefinisikan oleh aktor-aktor politik atau intelektual. Begitu bentuk-bentuk kehidupan yang lebih tinggi ini didefinisikan, siapapun dapat dihancurkan, dan rezim totalitarian di teguhkan, atas nama kebebasan.

Nanti, setelah saya menjelaskan kritik Charles Taylor terhadap konsepsi kebebasan negatif tersebut, saya akan menjabarkan lebih jauh pembelaan kebebasan Berlinian ini.

***

Manusia bisa dipaksa untuk menjadi bebas. Diktum Rousseauian ini adalah inti pembelaan Charles Taylor terhadap kebebasan positif. Terdapat tujuan-tujuan manusia yang lebih tinggi: jika kita tidak mewujudkan tujuan-tujuan (atau nilai-nilai) ini, kita tidak bebas, betapapun besar wilayah kebebasan pribadi yang kita punyai. Kebebasan untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kepentingan-kepentingan akhir kita samasekali bukan kebebasan. Kebebasan tanpa konsepsi tertentu tentang tujuan-tujuan (yang lebih tinggi) adalah mustahil.

Rintangan terhadap kebebasan bisa bersifat eksternal dan internal. ”Kita bisa gagal untuk mencapai realisasi diri kita karena berbagai ketakutan, atau kesadaran palsu, serta karena kekangan eksternal.” Bagi Taylor, apa yang salah dengan kebebasan negatif adalah penolakannya untuk mengakui peran rintangan-rintangan internal. Para filsuf kebebasan negatif, seperti Hobbes dan Bentham, samasekali keliru ketika mereka mengatakan bahwa kita bebas sejauh kita tidak mempunyai rintangan-rintangan eksternal yang menghalangi kehidupan pribadi kita.

Bagi Taylor, keuntungan serta kegagalan terbesar kebebasan negatif dapat ditemukan dalam kesederhanannya. ”Kebebasan negatif memungkinkan kita untuk mengatakan bahwa kebebasan adalah mampu mengatakan apa yang Anda inginkan, di mana apa yang Anda inginkan dengan mudah dipahami sebagai apa yang bisa diidentifikasi orang tersebut sebagai hasrat-hasratnya.” Keuntungannya: ia bisa memperkuat perjuangan kita menentang ancaman Totalitarian. Bahayanya: ia tidak bisa dipertahankan sebagai suatu pandangan tentang kebebasan, yang bisa menjadikan kita semata-mata mempertahankan Maginot Line. Terhadap dimensi terakhir kebebasan negatif inilah Taylor memusatkan serangannya.

Bagi Taylor, kebebasan negatif bersandar pada konsep kesempatan; sementara kebebasan positif bersandar pada konsep pelaksanaan. Yang pertama adalah suatu pandangan tentang tindakan manusia tanpa inti (apapun yang Anda lakukan, sejauh Anda tidak merugikan orang lain, dianggap sebagai cerminan dari kebebasan anda. Di sini nilai-nilai atau tujuan-tujuan tidak dibedakan). Yang kedua sangat terkait dengan pandangan realisasi-diri, yang membedakan nilai-nilai menurut kepentingan si agen. Mari kita lihat bagaimana Taylor menjelaskan pandangannya tentang poin ini:

Kita tidak bisa mengatakan bahwa seseorang bebas, berdasarkan pandangan realisasi diri, jika ia sepenuhnya tak terejawantahkan, jika, misalnya, ia sepenuhnya tidak sadar akan potensinya, jika mewujudkan hal ini tidak pernah muncul sebagai suatu pertanyaan baginya, atau jika ia dilumpuhkan oleh ketakutan akan melanggar norma-norma yang telah iainternalisasi namun tidak benar-benar mencerminkan dirinya.

Jika kita menerima gagasan kebebasan Taylorian ini, maka kita secara logis akan menerima pandangan bahwa mampu melakukan apa yang kita inginkan bukan merupakan suatu syarat yang memadai untuk menjadi bebas. Untuk menjadi bebas kita harus tahu tujuan yang kita kejar, tanpa dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan palsu.

Bagaimana jika kita gagal mengetahui keinginan kita yang “sejati”? Apakah dibenarkan jika seseorang (misalnya saja seorang pemimpin partai), dengan menggunakan otoritas publik, memaksa kita untuk menerima suatu bentuk keinginan tertentu sebagai keinginan sejati kita? Dalam hal ini Taylor kurang jelas. Ia setuju bahwa pada akhirnya si individu sendiri yang akan memutuskan. Namun ia semakin kurang jelas saat mengatakan, “Sang subyek itu sendiri tidak bisa menjadi otoritas terakhir menyangkut pertanyaan apakah ia bebas; karena ia tidak bisa menjadi otoritas terakhir menyangkut persoalan apakah keinginan-keinginannya adalah otentik, apakah keinginan-ke inginannya tersebut merintangi atau tidak merintangi tujuannya.”

Jadi, jika sang subyek itu sendiri bukan merupakan seseorang yang memutuskan apa keinginannya yang sejati, lalu siapa? Kaum intelektual? Kaum birokrat? Para pemimpin partai? Dan bagaimana mereka akan tahu? Melalui pengetahuan abstrak dan teoretis? Melalui formulasi empiris? Bukankah di sini kita sudah hampir melanggar garis batas totalitarian atau despotik, karena begitu kita menerima gagasan bahwa seorang individu pada dasarnya tidak mampu mengetahui apa yang mereka inginkan, maka kesempatan bagi seseorang yang kuat dan memiliki kekuasaan besar—serta pengetahuan tentang “tujuan-tujuan sejati” akan terbuka lebar?

Sekali lagi, di sini Taylor kurang jelas dalam menjelaskan poin-poinnya. Ia tampak menghindari persoalan-persoalan sulit ini. Para filsuf yang mendukung kebebasan negatif tidak harus menjelaskan konsepsi tentang nilai-nilai yang lebih tinggi, atau bagaimana nilai-nilai ini harus diputuskan atau di wujudkan. Nilai-nilai yang lebih tinggi kurang menjadi sorotan dalam skema mereka tentang hal-ihwal. Persoalan tentang nilai harus diserahkan sepenuhnya pada si individu itu sendiri. Sebaliknya, para filsuf yang membela kebebasan positif, karena mereka mendasarkan gagasan mereka pada tujuan-tujuan yang lebih tinggi, atau pada realisasi-diri “sejati”, harus menjelaskan apa nilai-nilai yang lebih tinggi tersebut, secara teoretis maupun dalam perwujudan praktisnya. Jika mereka gagal melakukan hal itu, mereka sangat mungkin dituduh hanya memberi pernyataan, bukan argumen.

***

Sebelum kita mengkaji argumen-argumen Berlin terhadap serangan-serangan Taylorian seperti di atas, penting untuk melihat bahwa para filsuf yang mendukung kebebasan negatif tidak menyangkal bahwa terdapat hal-hal baik yang mungkin diwujudkan dalam masyarakat modern dengan berdasarkan pada gagasan positif tentang kebebasan. Gagasan ini merupakan inti dari berbagai tuntutan akan kedaulatan nasional dan pembentukan negara kesejahteraan. “[Tidak] mengakui hal ini,” demikian Berlin mengingatkan kita, “berarti tidak memahami kenyataan-kenyataan dan gagasan-gagasan yang paling vital di zaman kita.”

Namun, apa yang ditentang oleh para filsuf kebebasan tersebut adalah ekstremisme, reduksionisme berlebihan dalam memahami tindakan dan kebebasan manusia, atas nama realisasi-diri, nilai-nilai yang lebih tinggi, atau apapun. Bagi mereka, ekstremisme ini bisa menjadi dasar filosofis kekuasaan yang despotik.

Nah, untuk memahami bagaimana para pemikir kebebasan negatif mengkritik gagasan positif tentang kebebasan, poin yang akan ditekankan dengan kuat adalah tentang kompleksitas tindakan manusia dalam kaitannya dengan kebebasan. Dalam kehidupan kita, kita melakukan begitu banyak tindakan, baik yang besar maupun kecil—mulai dari memberikan suara dalam pemilu dan memilih sekolahan, hingga membaca puisi dan majalah Playboy. Tak banyak orang yang dapat membuat tindakan mereka “utuh-padu”. Sebagian besar dari kita, manusia biasa, adalah orang-orang yang tidak konsisten: kita suka membaca otobiografi Mahatma Gandhi dan War and Peace Tolstoy, dan pada saat yang bersamaan kita juga suka membeli mobil yang lebih bagus dan membeli sikat gigi elektronik. Dalam kehidupan kita, terdapat begitu banyak kombinasi “tindakan yang tidak koheren”.

Lebih jauh, seperti yang dikemukakan Berlin, selain kompleksitas tindakan ini, manusia juga memiliki kompleksitas tujuan dan keinginan. "Tujuan-tujuan kita banyak," ungkap Berlin, “dan tidak semua tujuan tersebut pada dasarnya sesuai satu sama lain”. Sebagian dari tujuan tersebut bahkan berbenturan satu sama lain. Dalam hal ini Kant benar ketika ia mengatakan bahwa “dari pohon kemanusiaan yang bengkok, tidak ada hal lurus yang muncul”. Hal ini berarti bahwa dalam pengalaman sehari-hari, kita seringkali menghadapi berbagai pilihan di antara berbagai tujuan yang sama-sama penting, atau pandangan-pandangan yang sama-sama benar, dan pewujudan tujuan-tujuan tersebut, meminjam ungkapan Berlin, “niscaya harus mengorbankan tujuan-tujuan yang lain”.

Karena berbagai kompleksitas inilah para filsuf kebebasan negatif menekankan makna terpenting kebebasan untuk memilih atau kebebasan pribadi dalam membuat keputusan menyangkut hasrat dan tindakan kita. Menurut Berlin, jika kita tidak menegaskan pentingnya kebebasan untuk memilih, kita akan cenderung percaya bahwa “sebuah formula tunggal tertentu pada dasarnya dapat ditemukan, dan dengannya berbagai macam tujuan manusia dapat diwujudkan secara harmonis”. Keyakinan ini jelas salah—dan karena itu gagasan tentang kebebasan negatif sulit ditolak sebagai filsafat kebebasan.

“Bukankah kebebasan untuk melakukan kejahatan suatu kebebasan? Jika tidak, lalu apa?” Kata-kata Bentham ini memperlihatkan kepada kita kenyataan bahwa para filsuf kebebasan negatif tidak menyangkal bahwa seseorang mungkin membuat suatu pilihan yang salah: bukannya memasukkan anak-anaknya ke universitas-universitas terbaik, ia malah menghabiskan uangnya untuk membeli barang-barang “remeh” (mobil yang lebih bagus, jas-jas yang mahal). Bagi para filsuf ini, persoalan tersebut bukan persoalan kebebasan. Kebebasan hanya mungkin jika kita juga bebas untuk berbuat salah. Kita hendaknya tidak memberikan orang-orang biasa tersebut kebebasan jika kita tidak ingin mereka membuat beberapa keputusan yang salah. Mereka memang membuat keputusan-keputusan yang salah, atau mencampuradukkan keinginan-keinginan; meskipun demikian, mereka adalah orang bebas sejauh mereka tidak dipaksa orang lain untuk melakukan hal itu.

Bagaimana Taylor dan “para filsuf positif” yang lain mendamaikan fakta kompleksitas tujuan dan tindakan tersebut dengan gagasan tentang nilai-nilai yang lebih tinggi dan realisasi diri? Pertanyaan sederhana ini sangat susah mereka jawab dan dengan demikian memperlihatkan kelemahan mereka. Seperti telah kita lihat, bagi Berlin dan para filsuf kebebasan negatif yang lain, kenyataan tentang berbagai kompleksitas dan kebebasan tersebut pada dasarnya terdamaikan dalam gagasan tentang kebebasan untuk memilih: apapun kombinasi tujuan dan tindakan yang kita lakukan, kita dianggap sebagai orang bebas sejauh kita melakukan hal itu tanpa paksaan orang lain. Bagi Taylor, persoalan tersebut jauh lebih problematis, sampai tingkat di mana hampir tidak ada posisi yang cerdas yang bisa diambil.

Ambil contoh tentang seseorang yang memiliki dua keinginan. Kita anggap saja bahwa satu dari keinginan-keinginan ini baik bagi realisasi dirinya, sementara yang lain tidak. Taylor, secara logis, jelas akan mengatakan bahwa orang ini hanya setengah bebas. Sekali lagi, mari kita anggap bahwa gagasan tentang setengah bebas ini masih masuk akal. Namun bagaimana jika seseorang memiliki enam keinginan (harus kita ingat, dalam dunia nyata, siapapun bisa memiliki jumlah keinginan yang tak terbatas). Jika hanya satu dari keenam keinginan itu dianggap sebagai keinginan sejatinya (sekali lagi, mari kita anggap gagasan tentang keinginan sejati tidak bermasalah), apakah masih masuk akal mengatakan bahwa ia 1/6 bebas? Apa itu 1/6 bebas—2/5, 235/457, 34/89 bebas? Dan apa yang akan kita katakan tentang kebebasan dalam sebuah masyarakat dengan jutaan orang dan jumlah keinginan yang tak terbatas?

Berhadapan dengan persoalan ini, satu-satunya cara bagi Taylor untuk menyelamatkan gagasannya adalah dengan membagi manusia menjadi dua diri. Diri yang pertama lebih tinggi, atau rasional, atau diri sejati. Diri yang lain adalah diri empiris, “lebih rendah”, irasional, atau diri yang tak-terkendalikan. Yang pertama adalah diri yang menjadi sumber realisasi diri sejati. Hanya diri pertama inilah yang merupakan wilayah kebebasan sesungguhnya. Diri yang kedua adalah sebuah entitas (dalam kata-kata Berlin) “yang dilingkupi hasrat dan nafsu”, diperbudak oleh keinginan akan kenikmatan sesaat, sumber kekeliruan. Hanya dengan membuat pembedaan seperti ini gagasan tentang realisasi diri “sejati” à la Taylor menjadi masuk akal: pembedaan ini memungkinkan kita menyederhanakan kompleksitas tindakan dan keinginan manusia tersebut menjadi dua sifat yang bertentangan—baik dan buruk, lebih tinggi dan lebih rendah, sejati dan palsu.

Bagi para filsuf kebebasan negatif seperti Berlin, di sinilah letak bahaya terbesarnya. Diri yang sejati dan lebih tinggi tersebut dengan mudah dapat digelembungkan atau diubah menjadi sesuatu yang lebih luas dibanding seorang individu suatu suku, ras, negara, suatu masyarakat besar, suatu kelas sosial, atau jalannya sejarah. Diri sejati yang lebih luas ini kemudian bisa digunakan untuk memaksakan keinginan kolektif dan organiknya pada para anggotanya yang membangkang. Dengan membebankan dan memaksakan kehendaknya pada diri yang empiris, diri sejati yang lebih luas tersebut memunculkan kebebasan yang lebih tinggi.

Pembedaan diri seperti itu, menurut Berlin, bisa menjadikan kita:

...mengabaikan keinginan-keinginan nyata manusia atau masyarakat; menggertak, menindas, serta menyiksa mereka atas nama, atau demi diri “sejati” mereka, dengan pengetahuan pasti bahwa apapun tujuan sejati manusia (kebahagiaan, pemenuhan kewajiban, kebijakan, suatu masyarakat yang adil, pemenuhan diri) pasti identik dengan kebebasannya—pilihan bebas dirinya yang “sejati”, meski seringkali terpendam dan tak terungkapkan.

Bagi Berlin, posisi seperti ini merupakan inti semua teori politik tentang realisasi diri (teori Taylor adalah salah satunya). Posisi ini memungkinkan seseorang membuat suatu “impersonasi besar”, yang cenderung menyamakan “apa yang akan dipilih X jika ia adalah sesuatu yang bukan dirinya, atau paling tidak belum dirinya, dengan apa yang sebenarnya dikejar dan dipilih X”.

Dengan kata lain, posisi ini adalah resep bagi tirani. Dan menurut Berlin, sejarah abad kita telah memperlihatkan bahwa tirani paling kejam dan teror terbesar terhadap kemanusiaan dilakukan ketika diri yang dianggap lebih tinggi dan sejati tersebut memaksakan kehendaknya pada diri empiris yang dianggap penuh dengan hasrat dan nafsu yang lebih rendah. Tepat inilah yang terjadi di Rusia di bawah Stalin dan Jerman di bawah Hitler.

Tentu saja, hal ini tidak berarti bahwa Taylor dan para pemikir kebebasan positif yang lain adalah para pemikir yang tak liberal atau para pendukung despotisme. Apa yang ingin diperlihatkan oleh argumen-argumen Berlin adalah bahwa konsepsi positif tentang kebebasan tersebut tidak dapat dipertahankan sebagai filsafat kebebasan: ia sangat mudah dimanfaatkan oleh seorang despot untuk membangun suatu kerajaan paksaan; ia juga memunculkan suatu kesalahpahaman besar tentang sifat dan problem kebebasan.

 

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.