Teori Konspirasi: dan Krisis Moneter (Bersama M. Chatib Basri)

Gambar oleh Markus Winkler dari Pixabay

SAAT KERUSUHAN SOSIAL merebak tahun lalu, kita mendengar munculnya banyak spekulasi yang mencoba menggambarkan adanya tangan-tangan tersembunyi yang ingin memojokkan kelompok tertentu atau ingin menjatuhkan pemerintah. Spekulasi ini bersumber pada sebuah teori yang sederhananya dapat disebut sebagai teori konspirasi.

Kini, dalam menjelaskan gejala terpuruknya rupiah secara fantastis, teori semacam itu muncul lagi, mungkin dengan popularitas yang makin meningkat. Peristiwa yang ingin dijelaskan berlainan, tetapi karakteristik penjelasannya sama saja. Dalam hal ini gejala yang obvious, yaitu kerusuhan sosial dan krisis moneter, dianggap bersumber dari sesuatu yang samasekali berbeda, remang-remang, dan bersifat politik. Adanya unsur politik ini diyakini sebagai indikasi yang menunjukkan keter­kaitan antara gejala yang ingin dijelaskan, explanandum, dan pergesekan kekuasaan di tingkat elite.

Salah satu contoh teori konspirasi demikian bisa dilihat pada tulisan Kwik Kian Gie di harian Kompas edisi 26 Januari yang berjudul “Utang Swasta atau Politik?” Di sini Kwik menyang­gah penjelasan konvensional yang menyatakan bahwa mero­sotnya nilai rupiah disebabkan oleh pemburuan dollar untuk mem­bayar utang swasta yang sudah atau akan jatuh tempo dalam waktu dekat ini. Buat dia, dengan nilai dollar yang melonjak drastis, kaum swasta kita sudah tidak mampu dan tidak mau membayar utang mereka. Jadi, tidak benar kalau me­reka se­karang memburu dollar. Dan karena itu tidak benar pula jika dika­takan bahwa besarnya jumlah utang swasta yang ber­ma­salah berkorelasi langsung dengan proporsi jatuhnya rupiah.

Lalu, faktor apa yang menjatuhkan rupiah? Bagi Kwik, faktor ini harus dicari pada political invisible hands. “...Saya mulai curiga," tulisnya, “bahwa ada tangan jahil yang memang mau merusak ekonomi Indonesia dengan tujuan politik... Hanya apa sasarannya, dan siapa pelakunya, itulah yang samasekali gelap buat saya.”

Selain pada Kwik, contoh lain dari teori konspirasi dapat pula dilihat pada penjelasan Anggito Abimanyu. Doktor ilmu ekonomi dari Universitas Gadjah Mada ini, dalam sebuah wa­wancara di harian Republika edisi 24 Januari (“Soal Permainan Po­litik di Balik Krisis Rupiah, Mereka Penghianat”), berbicara se­dikit lebih teperinci ketimbang Kwik. Ia berpendapat bahwa aktor-aktor di balik krisis rupiah adalah “sekelompok kong­lo­merat yang “sengaja mempermainkan rupiah untuk tujuan politik”. Siapa mereka itu? “Mereka... berasal dari para pengusaha domestik yang selama ini mendapat kemudahan dan perlin dungan pemerintah.” Mereka, menurut Abimanyu, tidak bekerja sendiri, tetapi sudah menjalin semacam jaringan kerjasama dengan para fund managers di luar negeri.

Tujuan para konspirator itu, bagi Abimanyu, sudah terang-benderang. Mereka “sedang memaksakan kehendaknya untuk mencalonkan seseorang untuk menjadi wakil presiden, bahkan kalau bisa calonnya bisa masuk menjadi presiden”. Buktinya?

Kalau teori konspirasi seperti itu benar, dalam banyak hal krisis moneter yang kini kita alami tidak lagi membingungkan, seti­daknya secara konseptual. Masalahnya sudah jelas, dan untuk menyelesaikannya kita tinggal mencari para konspirator tersebut, cekal mereka, adili mereka. Selesai. Dan untuk itu pemerintah tentu tidak perlu minta bantuan Dana Moneter Internasional (IMF) dan tidak perlu pula repot-repot melakukan reformasi ekonomi.

Tapi tentu saja akal sehat mengharuskan kita untuk bertanya: betulkah teori konspirasi itu? Sampai seberapa jauh “proposisi” yang dikandungnya memang bisa dianggap sebagai kebenaran?

Dalam soal pembuktian, kalau kita telusuri lebih jauh tulisan Kwik dan pendapat Abimanyu dalam wawancara itu, akan terlihat celah yang menganga lebar. Penjelasan mereka memang nihil dan sangat bersifat sporadis.

Abimanyu, misalnya, begitu saja mengatakan bahwa ada “sekelompok konglomerat” yang bermain di belakang kemelut rupiah. Tapi, siapa mereka sebenarnya, kapan mereka mela­kukan semua itu, dengan apa, bagaimana, di mana? Darimana ia tahu bahwa saat ini ada megaproyek politik dari sejumlah pengusaha domestik yang berkerjasama dengan para fund managers global? Terhadap pertanyaan-pertanyaan ini, Abimanyu tidak memberi jawaban sedikit pun.

Pada Kwik kita tahu bahwa di salah satu bagian tulisannya ia telah terlebih dahulu mengakui bahwa ia sebenarnya masih tidak mengerti siapa dan apa tujuan para konspirator itu. Dia, dalam kata-katanya sendiri, masih berada dalam “gelap”. Dan, dengan cara ini Kwik sesungguhnya sudah menutup ke­mungkinan bagi kita untuk bertanya lebih jauh tentang bukti-bukti yang dia miliki.

Jadi, ibarat seorang penulis novel detektif, Kwik meminta para pembacanya mereka-reka sendiri berbagai fakta yang bisa dimasukkan ke dalam konstruksi teori konspirasi dia.

Ditinjau dari segi asumsi dasar, kualitas serta status penjelasan Kwik dan Abimanyu juga tidak jauh berbeda. Dalam hal ini yang paling menarik untuk kita perhatikan adalah teori Kwik.

Seperti yang terbaca dalam tulisannya, Kwik menjelaskan bahwa dalam melakukan aksinya, cara yang digunakan oleh sang Konspirator adalah dengan menjadi price leader bagi dollar di pasar valas di Jakarta dan Singapura. Dengan dana hi­potetis sekitar 100 juta dollar, si “penggoyang politik” ini merontokkan nilai rupiah dengan mengontak agennya di sebuah bank Singapura untuk membeli dollar dengan nilai lebih tinggi daripada harga pasar.

Katakanlah harga di pasar Rp13.000 per satu dollar. Dengan berani sang Konspirator memberi sinyal bahwa ia akan membeli dollar seharga Rp14.000. “Harga ini,” tulis Kwik, “kemudian diteruskan ke Reuters. Reuters meneruskannya ke selu­ruh dunia, sehingga semua pedagang valas di dunia melihat di monitornya bahwa kurs dollar sudah melonjak dari Rp13.000 menjadi Rp14.000.” Jika sudah begini, sang Konspirator telah berhasil men­cip­ta­kan kondisi keseimbangan pasar yang baru, dan orang pun ramai-ramai akan mengikutinya. Hal semacam itu, me­nurut Kwik, bisa dilakukan berkali-kali dalam jangka wak­tu yang cu­kup lama sebelum jumlah dollar yang hipotetis tadi terkuras habis.

Dengan model penjelasan begini, memang terlihat kejelian Kwik dalam memahami bagaimana mekanisme pasar uang dan aktor-aktor di dalamnya bekerja. Namun, kita harus ingat bahwa model demikian hanya bisa masuk akal jika dua asumsi ter­penuhi.

Yang pertama: volume pasar uang relatif kecil. Jika volume pasar uang relatif kecil, sang Konspirator memang bisa memengaruhi pasar dengan basis modal yang tak terlalu besar. Kalau volume pasar relatif besar, modal yang dibutuhkan berjumlah terlalu fantastis sehingga akan sulit dibayangkan bahwa ada pengusaha domestik kita yang mampu melakukannya dalam kondisi seperti sekarang.

Yang kedua: ketidaknormalan kondisi pasar. Dalam hal ini para pelaku pasar bersedia membeli dollar—bukan hanya menjual—pada harga lebih tinggi sebagaimana yang “diminta” oleh sang Konspirator karena adanya kondisi ketidakpastian yangrelatif besar. Dalam kondisi ketidakpastian, bila para pelaku pasar mengambil sikap risk averse, mereka memang akan cenderung mengikuti begitu saja tindakan para pelaku lainnya. Dan ini tidak mungkin terjadi terus-menerus, terbukti dengan swap rate yang menjadi negatif ketika kurs dollar mencapai Rp16.000.

Katakanlah kedua asumsi demikian memang terpenuhi, pertanyaan yang harus segera dijawab adalah apakah kita se­rta-merta bisa mengambil kesimpulan bahwa motif di balik semua itu adalah motif politik?

Dalam kondisi pasar uang yang volumenya relatif kecil, seperti yang juga ditekankan oleh Kwik, sang Konspirator tidak perlu meletakkan seluruh asetnya untuk memengaruhi pasar. Jika harga telah mencapai titik keseimbangan baru yang dia inginkan, misalnya Rp14.000, nilai aset dia akan meningkat karena menguatnya dollar. Jadi, bukan tidak mungkin bahwa kerugian yang diderita oleh sang Konspirator justru akan berjumlah lebih kecil ketimbang keuntungan yang diperolehnya. Artinya, ia, dengan berbuat sedemikian rupa untuk menurunkan rupiah, akan memperoleh keuntungan ekonomi yang riil.

Jika memang demikian, motif para pelaku yang ingin merusak nilai rupiah menjadi sangat jelas, yaitu sekadar mencari keuntungan ekonomi. Dengan kata lain, dalam model penjelasan Kwik, sang Konspirator—kalau ia betul-betul ada—sesungguhnya tidak harus bermotif politik. Jika ia bermotif politik, penjelasan yang diberikan haruslah spesifik Indonesia, lalu pertanyaan yang harus dijawab adalah mengapa pola yang sama—walaupun relatif sedikit lebih ringan—terjadi juga di Korea, Thailand, Malaysia bahkan sempat menyentuh Hong Kong dan AmerikaSerikat sendiri.

Karena itu pula kita harus kembali lagi pada persoalan pembuktian. Model penjelasan Kwik tidak dengan sendirinya menggambarkan bahwa sang Konspirator memang bertujuan politik dan ingin menjatuhkan pemerintah. Tanpa bukti-bukti yang meyakinkan, dibutuhkan semacam leap of faith yang cukup dahsyat untuk mengambil kesimpulan seperti itu.

Di samping berbagai kelemahannya, teori konspirasi seperti yang terdapat pada tulisan Kwik dan wawancara Abimanyu memang memiliki daya tarik tersendiri. Dalam situasi krisis yang membingungkan, teori ini menawarkan sebuah kepastian dan kesederhanaan berpikir.

Apalagi, sejak tahun-tahun terakhir ini, kita agaknya tidak lagi mampu dan mau melihat bahwa masih banyak persoalan yang tidak harus bersangkut-paut dengan politik dan motif kekuasaan. Kita, dengan kata lain, sedang terjebak dalam sebuah situasi yang digambarkan dengan baik oleh sebuah film yang pernah populer beberapa tahun lalu.

Dalam Forrest Gump, film itu, Forrest si Lugu memutuskan untuk berlari selama tiga tahun. Para wartawan pun bertanya kepada Forrest, “Apakah Anda berlari untuk perdamaian? Apakah Anda sedang mengejar suatu rekor?” Segala macam pertanyaan dilontarkan kepada Forrest: tak seorang pun percaya bahwa ia berlari sekadar karena ia ingin berlari.

Seperti para wartawan itu, kita saat ini terlalu mudah untuk berwasangka terhadap berbagai macam hal. Akibatnya: segala macam gejala yang muncul dalam masyarakat dengan cepat kita masukkan dalam format skenario teori konspirasi, termasuk gejala krisis moneter yang saat ini kita hadapi.

14 Februari 1998

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.