The Brave New World

Gambar oleh Pete Linforth dari Pixabay

SEJAK 1945 ekonomi global mengalami pertumbuhan sangat pesat yang belum pernah terjadi dalam sejarah dunia sebelum Perang Dunia II. Dari 1950 hingga 1980 saja, GNP dunia berlipat empat kali, dari US$2 triliun menjadi sekitar US$8 triliun (Kennedy 1993: 48). Apa yang lebih mencolok adalah bahwa selama periode ini, watak ekonomi dunia telah berubah: ia menjadi terglobalkan. Dunia yang kita hidupi sekarang, dalam hal ekonomi, adalah sebuah dunia yang saling terkait satu sama lain, sebuah dunia tanpa batas.

Membuat dan menjual satu produk sekarang merupakan kerja bareng banyak negara. Menjadi semakin umum bahwa sebuah produk, misalnya, dibuat oleh para pekerja Malaysia, menggunakan teknologi Korea, ditopang oleh para investor Hong Kong, dan dipasarkan di Meksiko oleh sebuah perusahaan New York. Dengan kata lain, keseluruhan proses produksi dan distribusi tersebut menjadi ter-transnasionalisasi-kan. Dalam keadaan seperti ini, sebagaimana yang dijelaskan oleh Robert Reich, tidak lagi mudah untuk berkata bahwa ada sesuatu yang disebut “produk Amerika” yang dibuat oleh “perusahaan Amerika”, tidak lagi mudah untuk membedakan antara[milik] “kita” dan “mereka” (1992: 3-9).

Uang, serta perusahaan-perusahaan global, tidak mengenal negara. Karena komputer dan peralatan-peralatan berteknologitinggi lainnya, miliaran dollar bergerak melintasi batas-batas negara 24 jam sehari. Terutama setelah deregulasi fnansial dunia yang bermula pada akhir 1970-an, sebuah fenomena baru muncul: uang menjadi komoditas, sebuah tujuan pada dirinya sendiri. Pertukaran uang luar negeri (FX) sekarang ini jauh melampaui jumlah yang digunakan untuk pembelian jasa, barang, atau investasi internasional perusahaan-perusahaan dunia.64 Uang telah menciptakan, meminjam ungkapan Ohmae, sebuah “kekaisaran dirinya sendiri”; dengan aturan-aturannya sendiri, yang seringkali tidak cocok dengan aturan-aturan dan kepentingan-kepentingan sebuah negara tertentu. Kekaisaran baru yang “tak bertanah-air” ini memadukan perdagangan-perdagangan fnansial besar di Singapura, Toronto, Stockholm, New York, dan Jakarta dalam satu pasar yang saling terkait.

Ketika perekonomian dunia menjadi semakin terintegrasikan, otoritas dan kemampuan negara berubah. Sekarang ini tidak lagi mungkin bagi sebuah pemerintahan untuk mengelola secara makro perekonomian domestiknya dan mengatur perdagangan luar negerinya tanpa memperhatikan kecenderungankecenderungan dalam, dan sifat dari, perekonomian global. Kemampuan negara untuk memberlakukan kebijakan menurun.

Jika Bundesbank Jerman, misalnya, mengetatkan pasokan uangnya untuk meredam memanasnya perekonomian, akan ada begitu banyak dana dari luar negeri yang bisa diperoleh oleh suatu perusahaan domestik yang sehat tanpa banyak kesulitan (di Jepang saja, tabungan pribadi dan sektor korporasi menghasilkan surplus modal lebih dari US$1 miliar setiap hari, yang tentu saja harus diinvestasikan di suatu tempat). Jika Washington memutuskan untuk memberlakukan pajak yang lebih tinggi untuk membayar utang-utangnya, yang membuat biaya relatif operasi di negara tersebut kurang menguntungkan, berbagai perusahaan dan modal bisa dengan mudah berpindah ke negara lain. Jika para birokrat Prancis berusaha untuk menghalangi impor mobil Jepang, mereka harus siap untuk menghadapi perselisihan tajam dengan warga Eropa lainnya, Mr. Major, yang negaranya merakit 80 persen perangkat Nissan Bluebirds.

Bersamaan dengan melemahnya kemampuan negara, muncul kekuatan otoritas-otoritas sub-nasional. Karena pemerintah nasional tidak bisa mengontrol perekonomian domestik,65 dan karena berbagai kemungkinan besar yang dibuka oleh modal global, otoritas-otoritas sub-nasional tersebut (misalnya, Kota London atau Negara Bagian Washington) kini memiliki peran yang semakin besar. The Research Triangle di Carolina Utara, serta the Route 128 di luar Boston, dan the Silicon Valley di California muncul sebagai aktor-aktor penting, yang mencari modal di luar negara tersebut dengan menggunakan daya tarik dan akses bisnis mereka sendiri. 50 negara bagian di Amerika Serikat, seperti yang dikemukakan Pollins, telah meningkatkan program-program mereka demi untuk berpartisipasi secara aktif dalam gelanggang perekonomian internasional (1993: 26).

Jadi, dalam perekonomian global kita sekarang, bukan hanya kemampuan negara nasional yang menurun, namun pada saat yang bersamaan juga muncul lebih banyak pemain dari tingkat sub-nasional yang berusaha menjalankan bisnis dengan cara mereka sendiri. Dengan demikian, apakah kita sekarang ini harus berkata bahwa negara telah menjadi usang? Apakah negara, yang diambil kontrolnya atas kemampuannya yang pernah ia miliki, ditakdirkan oleh perekonomian global untuk hanya menjadi pemain kelas-dua?

Tidak ada jawaban yang mudah atas pertanyaan-pertanyaan itu. Paul Kennedy, Robert Gilpin, dan Lester Thurow misalnya, menjelaskan bahwa negara nasional sebagai kekuatan dominan di dunia tidak akan berubah dalam jangka pendek. Negara, sebagaimana yang dikatakan Kennedy, tetap merupakan “lokus utama identitas” dari sebagian besar orang: “terlepas dari siapa majikan mereka dan apa pekerjaan mereka, individu-individu membayar pajak kepada negara, dan bisa melakukan perjalanan hanya jika mendapatkan paspor darinya” (1993: 134). Bagi Gilpin dan Thurow, terdapat beberapa persoalan dunia—misalnya, stabilitas pertukaran fnansial dunia (Gilpin 1987), dan penanganan persoalan-persoalan lingkungan dunia, serta persaingan ekonomi global (Thurow1992)—yang hanya bisa dipecahkan oleh negara nasional. Jadi, meskipun kemampuannya terkurangi oleh perekonomian global, negara samasekali tidak musnah. Ia masih merupakan pemain kelas-satu.

Sulit untuk menyangkal argumen tersebut. Posisi terbaik yang bisa kita ambil mungkin adalah posisi moderat: negara masih merupakan kekuatan yang sangat kuat, namun ia sekarang harus membagi kekuasaannya dengan pemain-pemain lain (misalnya, otoritas-otoritas sub-nasional, kekaisaran FX yang “tak bertanah-air”, perusahaan-perusahaan global) yang muncul selama dua dekade terakhir. Dengan kata lain, dunia yang tak berbatas tersebut adalah sebuah dunia poliarkis di mana kekuasaan tersebar, meskipun tidak rata, di antara banyak pemain penting.66 Posisi moderat ini memungkinkan kita untuk melihat beberapa persoalan dunia—watak serta kemungkinan pemecahan persoalan-persoalan tersebut—secara lebih jelas. Dari sudut pandang moderat kita, stabilitas hubungan- hubungan moneter dunia, misalnya, tidak dapat diteguhkan hanya melalui kerjasama antarnegara. Kepentingan, dan juga reaksi, para aktor non-negara tersebut juga harus diperhatikan.

Hal ini berarti bahwa jika hubungan yen-dollar hendak distabilkan, tindakan apapun dari Washington atau Tokyo akan tidak ada gunanya jika hal itu dilakukan tanpa melihat apa yang terjadi, atau akan terjadi, di Wall Street New York atau di pusat-pusat perusahaan global di San Francisco, Frankfurt, dan Seoul.

Daftar Rujukan

1. Brown, Seyom (1974), New Forces in World Politics, Brookings Institution.

2. Kennedy, Paul (1993), Preparing for the Twenty-First Century, Random House.

3. Gilpin, Robert (1987), The Political Economy of International Relations, Princeton University Press.

4. Ohmae, Kenichi (1990), Borderless World: Power and Strategy in the Interlink Economy, Harper Collins Publisher.

5. Thurow, Lester (1992), Head to Head: The Coming Economic Battle among Japan, Europe, and America, Time Warner Comp.

6. Reich, Robert B. (1992), The Work of Nations: Preparing ourselves for 21st-century capitalism, Vintage Books.

7. Pollins, Brian M. (1993), Governance in the Age of Global Capital, draft of a coming book.

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.