“The Look of Silent”; Membincang Sejarah Kelam HAM Indonesia Kita

Oleh: Hendra Sunandar

Jakarta - Dalam rangka memperingati hari HAM internasional, Freedom Institute pada tanggal 11 Desember 2014 menyelengarakan kegiatan nonton bareng film “The Look of Silent atau Senyap yang kemudian dilanjutkan dengan diskusi publik dengan topik “Membincang Sejarah Kelam HAM Indonesia Kita”. Diskusi yang berlangsung di Ballroom Wisma Proklamasi tersebut dihadiri oleh Bonnie Triyana (Majalah Historia) dan Haris Azhar (Koordinator Kontras) sebagai narasumber, serta dimoderatori oleh Nirwan A. Arsuka.

Film sejarah ini secara mendasar menggambarkan tentang beratnya beban kemanusiaan keluarga algojo membaca pembantaian 1965. Terlebih beban dosa sejarah yang terus dilekatkan kepada penyintas dan keluarga mereka. Film ini disutradarai oleh Joshua Oppenheimer yang sebelumnya juga sebagai kreator dalam film “The Act of Killing, namun film kali ini memiliki narasi cerita yang lebih halus dari film yang sebelumnya.

Film “The Look of Silence” mengkisahkan cerita tentang Adi, yang juga sebagai adik dari Ramli, salah satu korban pembantaian 1965-1966 di Sumatera Utara. Adi adalah seseorang yang tumbuh dalam keluarga yang dinyatakan ‘tidak bersih’ karena kakaknya Ramli, dianggap simpatisan PKI. Joshua Oppenheimer mencari data dengan mengumpulkan para korban dan penyintas pembantaian 1965-1966, lalu mendokumentasikan kesaksian mereka tentang sejarah pahit itu.

Setelah menyaksikan film dengan durasi 98 menit tersebut, acara dilanjutkan dengan diskusi publik. Diskusi dimaksudkan untuk memperkuat kembali pemahaman kita tentang film yang sudah ditonton sebelumnya. Kedua narasumber tampak cukup baik memaparkan berbagai aspek yang terkait dengan peristiwa 1965. Narasumber pertama, Bonnie Triyana memaparkan bahwa film senyap sebetulnya satu fragmen kecil dari apa yang terjadi dari tahun 1965 - 1969 serta masih banyak pembunuhan lainnya yang disponsori negara dalam bentuk operasi militer, seperti Operasi Tsilula dan Operasi Kikis.

Bonnie tak memungkiri salah satu problematika yang menghinggap masyarakat Indonesia tentang PKI yang diantaranya soal stigmatisasi. Orang yang meneliti ttg komunisme bisa dengan mudah dituduh PKI, contoh lainnya misalnya setiap ada riset dan pembicaraan tentang pembantaian massal 1969, di beberapa tempat justru dianggap mewajarkan. Sebagian orang kala itu menuduh bahwa pembunuhan orang-orang PKI adalah wajar karena mereka dianggap tak bertuhan. Stigmatisasi-stigmatisasi tersebutlah yang membuat kekerasan budaya anti-komunisme hidup di era orde baru.

Selain membangun stigmatisasi, pemerintah kala itu juga melakukan peredaman berita terhadap tindak kekerasan. Kasus di Purwodadi misalnya, sejak terungkapnya kasus pembantaian di Purwodadi oleh Poncke Princen, yang menurutnya terjadi pembantaian mencapai dua ribu orang yang tersebar di wilayah Grobogan, membuat pemerintah Soeharto melakukan berbagai cara untuk meredam eskalasi berita pembunuhan massal di Purwodadi tersebut. Pada saat itu, penguasa militer di Jawa Tengah secara tiba-tiba bersikap reaktif dengan mengawasi setiap orang yang mendatangi ibukota Kabupaten Grobogan tersebut, setiap orang yang mau memasuki kota harus mendapatkan izin dari tentara terlebih dahulu.

Pembacaan lain soal peristiwa 1965 diantaranya yakni dilihat dalam kacamata konstelasi dunia, saat itu adalah benar bahwa Blok Timur dan Blok Barat sedang berebut pengaruh untuk mendapatkan kekuatan. Sehingga yang di lawan bukan hanya sekadar perang sejarah tapi juga bagaimana melepaskan pengaruh ingatan hegemoni yang ditancapkan pemerintah orde baru untuk di masa sekarang. Dalam pelajaran sejarah era orba, masyarakat tak disungguhkan mengenai keberadaan orang-orang kiri, sehingga orang-orang PKI dianggap sebagai setan yang tak layak muncul dipermukaan. Bagi Bonnie, tujuan belajar sejarah bukanlah persoalan finalitas pemaksaan benar atau salah, tetapi untuk memahami sebuah proses terjadinya sejarah, karena benar dan salah suatu peristiwa bisa saja dimanipulatif oleh penguasa.  

Film “The Look of Silent” juga membukakan gambaran tentang fenomena di Sumatera, karena selama ini pembicaraan tentang PKI selalu berfokus di Jawa, sehingga film ini tidak semata-mata Jawa sentris. Diakhir diskusi, Bonnie memaparkan analoginya bahwa peristiwa 1965 hampir mirip seperti Pilpres 2014, yang mana pilihannya ada dua. Apabila ditahun 1965 terjadi persinggungan antara komunis dan non-komunis. Kalau dipilpres 2014 kalau tidak Prabowo ya Jokowi. Dengan dua persinggungan keras tersebut, konflik sebetulnya bisa saja dengan mudah terjadi. Namun perbedaannya sekarang adalah tentang keberadaan media sosial, yang bisa dengan cepat masyarakat memberikan ruang klarifikasi apabila ada beberapa kasus atau kesalahpahaman. Sayangnya ditahun 1965 belum ada media sosial sehingga penguasa bisa melanggengkan stigmatisasi-stigmatisasi yang merugikan banyak pihak, terlebih pada saat itu angka buta huruf masih banyak.

Narasumber kedua, Haris Azhar berbicara melalui dimensi lain, apabila Bonnie banyak berbicara mengenai rentetan sejarah, maka Haris banyak bicara dari sisi advokasi. Sebelum melihat kasus pelanggaran HAM, Haris menyepakati bahwa terjadi bahwa ada tindak kekerasan disana. Karena kejahatan HAM tak bisa dilepaskan dari kekerasan. Mengenai kasus pelanggaran HAM kala itu, frameworknya adalah bagaimana kekuasaan bisa dilakukan untuk diselewengkan dan mengeksekusi orang-orang yang dianggap bersebrangan dengan penguasa. Baginya kekerasan politik adalah pertarungan rivalitas, Negara sebagai alat untuk memobilisir atau turut serta dalam upaya kekejaman terhadap kelompok tertentu, yang sebetulnya bukan cuma orang-orang yang tertuduh PKI yang diberhanguskan. Gambaran tersebut tak bisa dilepaskan dalam pembersihan orang-orang PKI di Indonesia pasca 1965.

Bagi Haris, peristiwa pasca 1965 membuat konstruksi kekerasan hidup dalam ruang publik. Hal itu bisa berefek pada kondisi Indonesia saat ini yang juga belum lepas dari belenggu kekerasan, kasus Ahmadiyah di Cikeusik, Pengusiran Syiah di Sampang serta kasus GKI Yasmin adalah sekelumit cerita mengenai belenggu kekerasan bisa saja dibaca melalui efek pembangunan konstruksi kekerasan di tahun 1965. Sehingga masyarakat bisa dengan mudah membangun mobilisasi permusuhan terhadap suatu kelompok. Instrument yang digunakan untuk mengadvokasi dan menghapus konstruksi kekerasan tersebut nampaknya tak mudah membalikan telapak tangan.

Peringatan hari HAM Internasional semoga saja mengingatkan tantangan bagi pemerintahan Jokowi-JK untuk menyelesaikan kasus-kasus sejarah di masa lalu, meskipun tidak mudah, namun masyarakat selalu mengharapkan adanya rekonstruksi sejarah dan menghapus konstruksi kekerasan untuk kehidupan masyarakat yang lebih baik. Sebagaimana yang dikutip oleh seorang Antropolog, Paul E. Farmer, “Structural violence is one way of describing social arrangements that put individuals and populations in harm’s way”. Sekian.

***

 

Tonton Video Diskusi "Senyap" 

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.