Tipe Kepemimpinan Baru

Gambar oleh Free-Photos dari Pixabay

AKHIR-AKHIR INI, dalam mendiskusikan kemungkinan peralihan generasi kepemimpinan, rasanya kita terlalu sering berbicara tentang tokoh-tokoh yang akan menjadi pemimpin di masa depan. Dalam kadar tertentu, itu sebenarnya wajar saja. Namun, pembicaraan seperti itu tidak boleh membuat kita lupa bahwa yang terpenting sebetulnya bukan lagi pada soal siapa melainkan pada apa dan bagaimana bentuk kepemimpinan baru itu. Dengan kata lain, yang harus kita perhatikan bersama bukan lagi sekadar tokoh atau pemimpin (leader) tapi kepemimpinan (leadership).

Karena itu, pertanyaan-pertanyaan mendesak untuk kita jawab adalah, secara ideal, bentuk kepemimpinan seperti apa yang sebaiknya diterapkan oleh generasi baru nanti. Dengan berbagai tantangan di masa depan, faktor-faktor apa yang akan menentukan keberhasilan seorang pemimpin? Cukupkah jika ia mewarisi begitu saja bentuk kepemimpinan yang selama ini dominan? Dalam era Orde Baru selama ini, kalau kita menggunakan tipologi yang pernah dikemukakan oleh Prof. Herbert Feith, tipe kepemimpinan yang dominan adalah tipe administrator. Dalam tipe itu, kepemimpinan didefnisikan lebih sebagai kemampuan untuk menciptakan negara modern dengan segala perangkat teknis-administratifnya.

Sang pemimpin, dalam tipe itu, bukanlah seseorang yang menguasasi retorika dan teknik-teknik persuasi. Walaupun memiliki kekuasaan politik yang amat besar, ia sesungguhnya adalah seorang non-politisi par excellence, teknokrat, birokrat, jenderal. Keahliannya bukanlah dalam membujuk dan merayu masyarakat, tetapi dalam memecahkan masalah teknis dengan duduk di belakang meja serta merealisasi wewenang birokratisnya. Kalau toh ia ingin memobilisasi dukungan masyarakat luas, biasanya ia melakukannya tidak dengan bujukan dan rayuan tetapi lebih bersandar pada kekuasaan politis-birokratis yang dimilikinya.

Namun, buat generasi kepemimpinan baru kita, tipe kepemimpinan seperti itu jelas sudah harus direvisi. Memang, selama ini kepemimpinan tipe administratif yang non-politis itu telah membantu tercapainya pembangunan ekonomi yang pesat dan pertumbuhan institusi pemerintahan yang cukup kuat. Prof. Widjojo Nitisastro, misalnya, telah melakukan dasar-dasar pembangunan ekonomi yang cukup kukuh, melalui praktik yang nyaris sempurna dari kepemimpinan semacam itu.

Tetapi, di masa depan, persoalan kita sudah sangat berbeda, dan untuk menghadapinya dibutuhkan tipe kepemimpinan yang juga berbeda. Cepat atau lambat, masyarakat kita akan semakin kritis dan mulai mengerti hak-haknya. Mereka tidak ingin hanya menjadi obyek yang terus-menerus diatur oleh pemimpin mereka. Masyarakat ingin dibujuk, dirayu, dan dikeloni. Kalau tidak, potensi destruktif akan mereka kembangkan sebagaimana yang barangkali menjadi salah satu pemicu berbagai kerusuhan belakangan ini. Akibat yang paling gawat, jika hal semacam itu terus berlangsung, adalah perpecahan nasional, rontoknya pilar-pilar kesatuan republik kita.

Selain gejala seperti itu, gejala lain yang patut kita perhatikan adalah kebijakan ekonomi kita sekarang mengalami fatigue, kelesuan. Pada akhir 1960-an dan pertengahan 1980- an, dalam menghadapi krisis ekonomi, kaum teknokrat mampu membuat inovasi kebijakan yang berani dan berdampak jauh. Sekarang, dalam menghadapi persoalan ekonomi yang baru, seperti tuntutan pemerataan, kita malah kembali ke cara lama, yaitu lebih mengandalkan intervensi birokrasi dan metode etatisme.

Untuk menghadapi kecenderungan dan persoalan baru yang demikian, jelas tipe kepemimpinan yang dibutuhkan adalah tipe kepemimpinan yang lebih “sadar politik”. Sebagaimana umumnya pemimpin kenegaraan di negeri-negeri yang telah demokratis, ia adalah seseorang yang mengerti bahwa untuk menggerakkan masyarakat dalam mencapai tujuan tertentu (stabilitas politik, persatuan bangsa, pertumbuhan ekonomi), yang pertama harus dilakukan adalah merebut hati dan membangkitkan simpati masyarakat terhadap tujuan tersebut. Buat pemimpin seperti itu, praktik pemerintahan adalah seni menciptakan berbagai kemungkinan dengan mengandalkan visi dan argumen yang masuk akal.

Kalau toh ia seorang teknokrat, misalnya, ia adalah seorang teknokrat-plus atau dalam terminologi yang akhir-akhir ini mulai populer, seorang technopol (teknokrat yang politisi). Jika ia seorang jenderal, ia adalah seseorang yang sadar bahwa logika kepemimpinan dalam masyarakat berbeda 180 derajat dengan logika dalam memimpin pertempuran. Yang pertama membutuhkan dialog dan persuasi, yang kedua sepenuhnya dapat bersandar pada komando dan hierarki. Jika ia seorang birokrat, ia mengerti perbedaan besar antara “pemerintah” dan pelayan masyarakat.

Mungkinkah tipe seperti itu akan menjadi ciri khas generasi pemimpin-pemimpin baru kita nanti? Wallahualam. Yang jelas, dari segi tuntutan sejarah, rasanya kita tidak punya pilihan lain.

Juni 1997

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.