Tunda Dulu Sistem Distrik

Gambar oleh Mary Pahlke dari Pixabay

DALAM MENYUSUN sistem politik baru yang demokratis, kini kita dihadapkan pada beberapa pilihan politik yang mendasar. Salah satu pilihan itu berhubungan dengan sistem pemilihan (electoral system) yang akan diterapkan untuk menentukan para politisi yang berhak memperoleh kursi di lembaga legislatif. Sejak pemilu pertama pada 1955 hingga pemilu terakhir Orde Baru, sistem yang berlaku adalah sistem proporsional. Kini kita harus menentukan, apakah sistem yang sama dilanjutkan atau kita memilih sistem yang samasekali baru, yaitu sistem distrik?

Kalau kita ikuti pendapat yang populer di kalangan tokoh-tokoh reformis saat ini, jawaban terhadap pilihan itu tampaknya sudah agak jelas: sistem distrik akan diperjuangkan sebagai sistem baru dalam pemilu yang akan datang. Argumen para tokoh reformis itu bervariasi, namun pada intinya mereka beranggapan bahwa dengan sistem distrik para pemilih akan lebih mengenal tokoh yang dipilihnya. Karena itu, menurut mereka, dengan menggunakan sistem ini kualitas demokrasi kita bisa ditingkatkan.

Argumen semacam itu memang cukup masuk akal. Namun, sebelum pada akhirnya pilihan dijatuhkan pada sistem distrik, sebaiknya kita berpikir lebih jauh mengenai kelemahan-kelemahannya yang mendasar dan persyaratan utama yang dibutuhkan agar sistem demokrasi kita bisa berjalan baik.

Personalisasi Politik
Ada dua persoalan utama dalam sistem distrik yang patut kita pikirkan bersama. Pertama, sistem ini cenderung memperlemah basis kepartaian dan, sebaliknya, mendorong meluasnya “personalisasi” politik. Mengapa?

Pemilih dalam sistem ini tidak lagi terutama memilih partai, tapi orang per orang. Seperti yang terjadi dalam proses pemilu di Amerika Serikat, setiap tokoh lokal yang populer di kawasan pemilihnya (distrik), akan memperoleh kursi di lembaga legislatif nasional, dengan atau tanpa dukungan partai. `Untuk terpilih menjadi wakil rakyat, seseorang tidak lagi perlu meniti karir dalam partai apapun. Artinya, partai tidak lagi menjadi lembaga utama dalam proses mobilisasi, kaderisasi, dan pendidikan politik. Dan karena itu ikatan-ikatan kepartaian pun cenderung akan menjadi sangat lemah.

Kecenderungan semacam itu akan berakibat cukup fatal sebab saat ini, untuk memperkukuh fondasi sistem demokrasi kita, partai-partai politik justru harus diperkuat, bukan sebaliknya. Selama 30 tahun di bawah kepemimpinan Soeharto kehidupan kepartaian dibabat habis. Dan karena itu, setelah Soeharto turun dari kursi kekuasaan, dinamika kehidupan kepartaian praktis harus kita mulai dari awal lagi.

Tanpa sistem kepartaian yang kuat, gedung legislatif di Senayan bisa-bisa akan berisi individu-individu yang tidak memiliki basis ikatan dan loyalitas yang jelas. Mereka akan cenderung bergerak seperti himpunan burung yang terbang dengan seribu arah yang berbeda. Tawar-menawar dan negosiasi kepentingan, yang memang normal terjadi dalam lembaga legislatif, tidak lagi bertumpu pada kepentingan partai, tapi pada kepentingan individual para wakil rakyat. Hal ini nantinyaakan mengakibatkan tingginya derajat ketidakpastian dalam interaksi politik di lembaga perwakilan kita.

Lokalisasi Politik
Persoalan kedua sistem distrik adalah kecenderungannya dalam mendorong “lokalisasi” politik. Sebagian besar individu yang terpilih sebagai wakil rakyat dalam sistem distrik dengan sendirinya adalah tokoh-tokoh daerah. Mereka akan berusaha merebut suara dengan bersandar pada platform politik lokal, bukan nasional.

Gedung MPR/DPR di Senayan akan “diserbu” oleh aktor-aktor daerah yang berasal dari berbagai kabupaten di seantero penjuru Tanah Air. Aktor-aktor ini akan bertarung dalam panggung politik nasional untuk memperjuangkan kepentingan politik lokal—kalau tidak begitu, mereka tidak lagi akan terpilih dalam pemilu berikutnya.

Dalam pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto, aspirasi dan kepentingan daerah selalu takluk di bawah kepentingan nasional. “Bias nasional” semacam ini, kalau kita menggunakan sistem distrik, mungkin akan kita balikkan menjadi “bias lokal”. Artinya, dari titik ekstrem yang satu kita bergerak ke titik ekstrem lainnya.

Dalam praktik, setiap wakil rakyat di parlemen hanya akan mendukung sebuah kebijakan pemerintah di Jakarta jika kebijakan tersebut secara langsung dapat memperkuat posisi dia di kalangan pemilihnya. Bisa dibayangkan, mengingat begitu bervariasinya unsur dan komposisi daerah kita, betapa penyusunan kebijakan nasional nantinya akan menjadi sangat rumit dan berlarut-larut.

Tunda Dulu
Karena kedua persoalan semacam itulah maka saya menganjurkan agar penerapan sistem distrik ditunda dulu, setidaknya untuk satu periode pemilu. Kalau kita memang akan mengadakan pemilu enam bulan atau setahun lagi, sebagaimana yang dijanjikan Presiden Habibie, sebaiknya kita menggunakan sistem pemilihan yang selama ini sudah kita gunakan, yaitu sistem proporsional.

Anjuran ini saya berikan bukan karena saya menentang reformasi. Justru sebaliknya. Langkah-langkah reformasi hanya akan berhasil jika kita memikirkannya dengan matang. Selain itu pekerjaan yang menunggu kita masih sangat banyak, dari perubahan undang-undang, reorganisasi kepartaian, penerapan asas-asas trias politica, dan sebagainya. Dengan memaksakan penggunaan sistem distrik secepat-cepatnya, kita hanya akan menambah beban yang tidak perlu bagi “bayi demokrasi” yang baru saja kita lahirkan.

Sistem proporsional memang banyak kelemahannya juga. Tapi berbagai kelemahan ini bukanlah penyebab terjadinya sistem otoriter dan meluasnya NKK (nepotisme, kolusi, korupsi) di bawah pemerintahan Soeharto. Sejak 1971, sistem pemilu apapun yang digunakan pasti tidak akan membuat kita lebih demokratis dan bersih dari NKK, karena pemerintahan Soeharto sangat kuat dan dominan dalam mengatur dan mengkooptasi setiap elemen dalam masyarakat.

Jadi, kalau kita menggunakan sistem pemilu yang selama ini sudah kita pakai, tidak berarti bahwa kita akan terus mempertahankan sistem otoriter dan melanggengkan NKK. Sejauh aturan dan pelaksanaan pemilunya demokratis—misalnya dengan dihilangkannya lembaga litsus dan diterapkannya Pasal 28 UUD 1945 dengan konsekuen—maka hasil akhirnya juga akan demokratis, yang diwujudkan dalam pemerintahan dan lembaga legislatif yang mencerminkan komposisi kepentingan dan aspirasi rakyat.

2 Juni 1998

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.