Wajah Lain Machiavelli

Gambar: gaekon.com

SEBAGAIMANA layaknya seorang penulis besar, karya-karya Niccolo Machiavelli telah menghasilkan banyak penafsiran, yang tidak jarang saling bertentangan. Buat sebagian kalangan, pemikir dan penulis drama dari Florence ini adalah seorang amoralis, penganjur motode ber politik tanpa pertimbangan etika. Buat kalangan yang lain lagi, ia adalah seorang nasionalis yang meletakkan dasar konsepsi negara beserta alasan kehadirannya, raison d’etat. Tulisan menarik dari Frans Magnis-Suseno di Kompas beberapa saat lalu (15/9/1997), dalam beberapa hal, mengikuti penafsiran dari kalangan seperti ini.

Buat sebagian kalangan yang lainnya lagi, Machiavelli bukanlah seorang pemikir yang dapat dipandang secara sederhana. Dalam satu hal, menurut kalangan ini, Machiavelli memang dapat dianggap sebagai pemikir besar serta seorang genius yang mendahului zamannya. Tapi dalam hal lain lagi, ia bisa pula dikritik sebagai intelektual tukangnya fasisme dan korporatisme, gurunya para tiran, atau setidaknya pemikir tanggung yang membingungkan.

Sekularisasi Politik

Walau beragam, penafsiran tentang Machiavelli memang sah-sah saja, namun buat saya satu hal tidak boleh kita lupakan: ia adalah peletak dasar ilmu politik dan pemikir awal yang mendorong terjadinya proses sekularisasi (desakralisasi) politik.Dalam Il Principe, buku tipisnya yang termasyhur itu, Machiavelli berkata bahwa tujuan dia menulis bukanlah untukmengatakan apa yang seharusnya. Ia ingin melihat dunia politik sebagaimana adanya, yang is, dan bukan yang ought (laverita effentuale della cosa). Proses kekuasaan, buatnya, adalah bagian dari kenyataan alamiah yang harus kita mengerti sebagaimana jika kita ingin mengerti dan menyingkap berbagai hal lainnya di alam nyata. Dalam hal ini bisa dikatakan bahwa Machiavelli, secara sangat sederhana, telah mendahului Francis Bacon, filsuf dan negarawan Inggris peletak dasar empirisisme itu, hampir seabad lamanya.

Motivasi keilmuan seperti inilah yang dapat digunakan sebagai dasar penafsiran Il Principe. Memang betul bahwa buku ini secara eksplisit dimaksudkan sebagai sebuah kumpulan nasihat kepada Lorenzo, penguasa Florence (1448-1492) dari keluarga Medici. Tetapi melalui dasar penafsiran Machiavelli sebagai ilmuwan, maka Il Principe sesungguhnya bisa di mengerti lebih jauh daripada hal itu, yaitu sebagai sebuah analisis yang dingin terhadap berkerjanya mesin politik dan proses kekuasaan yang riil.

Dengan kata lain, ajaran Machiavelli, misalnya Sang Penguasa dalam mempertahankan kekuasaannya, harus berbohong, menipu, menindas, haruslah dimengerti bukan sebagai “nasihat politik” dalam pengertian yang umum. Ia adalah sebuah pernyataan faktual bahwa dunia kekuasaan memang tidak semurni dunia mitologi surgawi zaman pra-Renaisans. Dunia kekuasaan, sebagaimana adanya, adalah sebuah dunia yang penuh intrik, kekejian, ambisi, dan ketololan.

Pemikiran Machiavelli seperti ini, dalam konteks zamannya, sangatlah bersifat subversif. Secara implisit ia menolak simbiosis antara pemikiran politik dan ide-ide teologis yang pada zamannya itu menjadi dasar pembenaran bagi kekuasaan tradisional. Para raja dan pangeran bukanlah wakil Tuhan di bumi, bukan pula philosopher-king, seperti kata Plato. Mereka, bagiMachiavelli, adalah pelaku-pelaku politik biasa yang karena tuntutan logika kekuasaan seringkali bertindak jauh dari prinsip-prinsip keadilan dan kejujuran.

Dengan melihat raja dan pangeran pada dasarnya adalah pelaku politik, maka Machiavelli, mungkin tanpa sepenuhnya sadar, sebenarnya telah memulai sebuah proses besar yang terus berlanjut hingga akhir abad ke-20 ini, yaitu proses seku larisasi politik. Tentu saja, sebagaimana layaknya setiap pelopor, apa yang ia rintis ini dilakukannya dengan cukup canggung dan samar-samar (karena itu pula ia dapat ditafsirkan dalam berbagai versi). Tapi jelas bahwa dalam konteks sejarah pemikiran, analisis politik Machiavelli yang dingin itu merupakan sebuah pertanda dari terjadinya pergeseran paradigmatik dalam memandang politik dan organisasi kekuasaan.

Demokrasi

Lebih jauh lagi, desakralisasi politik Machiavelli seperti itu turut membuka jalan bagi munculnya berbagai pemikiran tentang demokrasi modern pada abad ke-17 dan abad ke-18. Tokoh-tokoh peletak dasar konsepsi demokrasi modern, seperti Locke di Inggris, Montesquieu di Prancis, dan Jefferson di Amerika, berangkat dari sebuah asumsi yang pada dasarnya Machiavellian, yaitu bahwa para penguasa adalah juga manusia yang memiliki berbagai kelemahan manusiawi, yang memiliki sejumlah ambisi serta nafsu untuk berkuasa terus-menerus. Karena itu, kepentingan Sang Penguasa, menurut mereka, sering bertolak-belakang dengan kepentingan rakyat banyak.

Buat para pemikir ini, dengan kata lain, panggung politik adalah arena pertarungan kekuatan. Mengikuti Machiavelli, mereka tidak ingin memandang dunia politik secara teologis-romantik. Mereka ingin menyingkap realitas kekuasaan sejelas-jelasnya, sebagaimana adanya, seperti yang dilakukan oleh para ahli fisika di zaman pasca-Renaisans yang ingin mengungkapkan rahasia gravitasi bumi.

Tapi berbeda dengan Machiavelli, para pemikir abad ke-17 dan abad ke-18 itu tidak hanya berhenti pada deskripsi tentang kenyataan politik. Mereka melangkah dan bertanya lebih jauh: Bagaimana agar dampak buruk dari kenyataan alamiah politik seperti itu dapat diminimalisir? Bisakah pembatasan kekuasaan dilakukan demi keuntungan masyarakat luas? Adakah cara untuk melakukannya? Justifikasi konsepsional seperti apa yang harus disusun bagi pembatasan kekuasaan Sang Penguasa?

Berbagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti ini lah yang menjadi fondasi intelektual bagi pembentukan sistem demokrasi modern, yang dimulai di Inggris, Prancis, dan Amerika pada akhir abad ke-18. Kelanjutan proses ini, kita tahu, masih terus berlangsung hingga sekarang.

Jadi, walau tidak selengkap dan sejauh sumbangan Locke, Montesquieu dan Jefferson, sumbangan intelektual Machiavelli tidak dapat disangkal. Hanya melalui cara pandang Machiavellian terhadap dunia politik, sakralisasi dan mitologisasi politik yang mengungkung umat manusia selama berabad-abad dapat di runtuhkan. Dan dari keruntuhan inilah titik tolak pembatasan kekuasaan dapat dapat dirumuskan secara lebih sistematis. Karena pentingnya sumbangan Machiavelli, bisa dimengerti jika Rousseau memuji Il Principe sebagai le livre des republicains, bukunya kaum republikan.

6 Oktober 1997

 

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.