What Went Right? Islamic Mobilization in Indonesia and Malaysia

Pembicara:
Julie Chernov (JC)
Ihsan Ali-Fauzi (IAF)

Moderator:
Hamid Basyaib (HB) HB: Selamat malam teman-teman sekalian. Mas Dawam dan tamu-tamu sekalian. Malam ini kita ada diskusi yang agak istimewa. Kita kedatangan tamu, yakni Julie Chernov. Dia berasal dari University of Colorado dan sekarang mengajar di California State University.

Beberapa bulan yang lalu dia meneliti di Indonesia dan berbasis di freedom Institute. Setelah meneliti dia mendapat banyak temuan. Dan sekarang temuan-temua itu mau dipresentasikan di depan kita. Temanya adalah Mobilisasi Gerakan Islam di Tiga Negara. Dia membandingkan kasus-kasus di Turki, Indonesia dan Malaysia. Kita akan dengarkan paparannya. Akan ada juga komentar dari seorang pakar, yakni teman kita Ihsan Ali-Fauzi. Dia adalah ahli social movement. Dia sudah mendalami masalah ini selama 25 tahu. Nanti kita akan dengarkan paparannya.

Untuk mempersingkat waktu kita persilahkan Julie untuk mulai. JC: Terima kasih banyak, Pak Hamid. Saya juga ingin mengucapkan banyak terima kasih bagi semua orang yang ada di Freedom Institute. Tema desertasi saya mulai dengan bertolak dari berbagai diskusi yang ada di Amerika, khususnya setelah peristiwa 9/11. Banyak profesor di Universitas saya suka mengkaji Islam dengan bertolak atau membandingkan dengan tesis Benturan Peradaban dari Samuel Huntington. Saya mempelajari Islam di Indonesia, Turki dan Malaysia.

Dan banyak hal positif terjadi di ketiga negara itu. Pertanyaan dalam tesis saya adalah mengapa beberapa negara Islam bisa menjalankan gerakan politik yang damai sementara negara-negara lain tidak dapat. Studi ini berbeda dari studi-studi yang bertolak dari What Went Wrong, karena studi ini bertolak dari What Went Right. Studi Saya meneliti peran negara dalam masalah ini.

Negara bisa mendorong gerakan politik yang damai dengan memberikan kesempatan untuk partisipasi politik. Tapi itu saja tidak cukup. Negara juga perlu untuk mencegah kekerasan. dan ini bisa dengan baik dilakukan negara dengan menjaga ketertiban dan hukum, pendidikan, dan memberikan kesejahteraan. Saya tidak mengatakan di sini bahwa negara perlu melakukan semua hal.

Studi ini bertolak dari empat asumsi. Pertama, negara memberikan saluran bagi partisipasi politik. Negara juga harus memberikan pendidikan yang baik serta kesejahteraan bagi rakyatnya. Ketiga negara harus menegakkan hukum dan ketertiban yang kuat. Di Indonesia, banyak sekali kelompok yang bereaksi secara positif menyambut kesempatan bagi terbukanya partisipasi politik. Sekarang kita lihat MAlaysia. Malaysia tidak sedemokratis Indonesia, tapi di sana juga banyak kelompok demokratis yang melakukan kegiatan. Kelompok itu bisa bergabung dengan pemerintahan, atau bergabung dengan kelompok oposisi. Malaysia mungkin tidak sedemokratis Indonesia, tapi mereka punya tradisi demokrasi yang bagus dan partai oposisi yang loyal. Jadi apa yang kita lihat di Indonesia dan Malaysia, saat negara memberikan ruang bagi partisipasi politik yang lebih luas. Kelompok-kelompok ISlam berekasi secara strategis, dan mereka menggunakan kesempatan itu untuk mencapai tujuan-tujuan mereka.

Dan mereka kadang melakukan gerakan-gerakan politik yang damai dan tidak menggunakan kekerasan. Malaysia dan Indonesia sangat berbeda dalam cara mereka mengikis kekerasan. Dari 1998 hingga 2003, kita melihat di Indonesia kemampuan negara untuk menegakkan ketertiban sangat sangat lemah. Kita melihat munculnya Jemaah Islamiyah yang melakukan pengeboman Bali. Dan mulai saat itu polisi dan militer mulai tegas menegakkan ketertiban dan hukum. Indonesia bukan negara Islam. Kita tahu ini.

Apa yang terjadi adalah bahwa negara kehilangan kontrol atas apa yang terjadi di dalam masyarakat. Namun beberapa tahun kemudian, negara memperoleh kembali kontrol itu, dan berhasil memulihkan kapasitasnya. Orde Baru di Indonesia merupakan suatu kasus yang sangat khusus. Di masa ini partisipasi politik sangat dibatasi. Kasus Orde Baru juga menunjukkan bahwa hanya kapasitas yang efektif tidak memadai. Hingga akhirnya Soeharto jatuh pada 1998. Kelompok-kelompok Islam memiliki peran juga dalam gerakan untuk menggulingkan kekuasaan Soeharto. Jadi dalam kesimpulan saya, saya melihat bahwa negara bisa menjadi aktor yang aktif dalam menjaga jalannya demokrasi dan partisipasi politik yang damai. Terima kasih banyak.

HB: Terima kasih banyak, Julie. Presentasi anda baik sekali. Kalau boleh saya ringkaskan, saya akan mencoba melakukannya meskipun tidak mudah. Tampaknya Julie mengasumsikan bahwa aktivitas kelompok-kelompok Islam itu sah adanya sepanjang dia dilakukan dalam saluran yang benar. Setelah Reformasi, penyaluran partisipasi secara institusional itu terjadi. Di malaysia juga terjadi. Di Turki juga terjadi. Namun di masa Orde Baru hal itu tidak terjadi. Tapi di sisi lain kemampuan negara yang efektif di masa Reformasi tidak terjadi. Di malaysia ini terjadi, dan di Turki yang terjadi adalah mix. Sementara di masa Orde Baru sudah pasti bahwa negara sangat efektif. Ketika negara itu kuat, seperti di Malaysia, tidak ada peluang bagi kelompok Islam, dan juga kelompok mana pun untuk menyediakannya. Jadi kaitannya cukup jelas di situ. Sebelum kita tanya jawab, kita persilahkan Ihsan untuk memberi komentar. Sekitar 15 sampai 20 menit.

IAF: Terima kasih. Selamat malam. Assalamualaikum. Saya khawatir tidak bisa memberikan komentar yang benar-benar kritis, karena hapir dalam semua poin saya setuju dengan titik tolak dan kesimpulan dia. Saya sangat menyukai riset dia. Mungkin akan lebih berguna jika Hamid yang memberi komentar. Atau Saiful.

Dia akan lebih bagus dari saya. Saya harus memberi selamat Julie untuk beberapa alasan. Pertama, topik yang dia bahas sangat menarik. Kedua, tepat waktunya dia membahas topik itu. Dan itu adalah tentang mobilisasi Islam. Partisipasi politik kelompok-kelompok Islam secara damai. Ini penting dan menarik karena tema ini mendekatkan negara Muslim dengan negara Barat.

Tesis anda berusaha membantah Huntington. Tesis itu juga berusaha untuk menunjukkan bahwa Islam itu kompatibel dengan demokrasi. Ini juga membantah Bernard Lewis. Ada tiga kasus yang diteliti Julie. Dengan tiga kasus itu dia menjadikan kembali ISlam di Asia sebagai bahan penelitian para ahli Islam politik. Dan dengan demikian yang diteliti tidak hanya Islam di Timur Tengah. Dan lebih banyak populasi Muslim di Asia ketimbang di Timur tengah, menurut saya. Dari segi demokrasi, penting untuk meneliti Islam di Asia.

Izinkan saya memberikan beberapa pertanyaan dan komentar. Yang pertama adalah tentang kasus-kasus itu. Selain Turki, Indonesia, dan Malaysia, apakah kita memiliki kasus-kasus yang juga menunjukkan gerakan Islam yang damai. Dengan demikian ini bukan kasus-kasus yang representasional. Dengan kata lain, saya ingin bertanya apakah karena kasus-kasus itu adalah kasus-kasus Asia, maka yang muncul adalah gerakan-gerakan yang damai. Namun bagi saya Malaysia agak perlu dipertanyakan di sini. Malaysia kurang demokratis dibanding Indonesia setelah Suharto, maupun dibanding Turki.

Dengan kata lain, saya ingin mempertanyakan tesis Julie bahwa apakah hanya kapasitas negara yang memungkinkan gerakan-gerakan Islam politik bisa berjalan dengan damai. Itu pertanyaan menyangkut kasus-kasus itu. Saya akan melompat ke masalah-masalah yang mungkin muncul dari tesis itu. Tesis Julie adalah ada sejumlah negara yang bisa menjamin gerakan Islam bisa berjalan dengan damai, sementara di negara lain tidak bisa melakukan hal ini. Ini dependen variabelnya. Pertanyaannya kenapa negara-negara tertentu bisa sementara yang lain tidak. Hipotesis yang dikembangkan Julie ada 2. Harus ada saluran yang terinstitusionalisasikan sehingga umat Islam bisa melakukan partisipasi politik secara damai. Kedua, saluran politik itu penting, tapi tidak memadai.

Julie mengatakan bahwa negara harus bisa menjamin bahwa kekerasan yang muncul dari gerakan-gerakan Islam itu tidak terjadi. Ini yang dimaksud dengan kapasitas negara. Hal ini diterjemahkan ke dalam tiga hal: kemampuan negara memberikan dan menjamin kesejahteraan dan juga pendidikan. Dan kemampuan negara untuk mencegah faktor-faktor eksternal, misalnya gerakan kaum teroris, baik dalam bentuk dana maupun senjata. Ketiga, kemampuan negara untuk menjamin hukum dan ketertiban.

Itu teorinya. Nah, kalau di departemen universitas saya, anda harus memilih salah satu variabel independen itu. Dua variabel independen akan terlalu sulit. Jadi anda harus memilih apakah gerakan Islam yang damai itu adalah karena kemampuan negara, atau karena kesempatan dan keterbukaan politik. Dengan kata lain anda harus memastikan apa sebab dari kasus-kasus di atas. Itu artinya teori yang parsimoni. Yakni semakin sederhana teori itu, semakin baik teori itu.

Anda harus mengurangi kompleksitas masalah. Saya juga katakan pada Julie bahwa saya tidak menyukai hal seperti ini. Tapi dalam penelitian kuantitatif, hal ini yang ditekankan. JAdi apa sebenarnya independen variabel yang riil di sini. Demokratisasi, keterbukaan, atau kapasitas negara. Ini satu hal. Kedua, kedua independen variabel ini berjalan beriringan bersama. itu masalahnya. Anda harus memilih. Ini kan yang dibahas oleh Fareed Zakaria, dan banyak pemikir politik yang lain. Dapatkah semua hal yang baik berjalan beriringan bersama. Terjadi bersama. Sayangnya, dalam literatur mana pun, dua independen variabel yang disebutkan sama Julie ini sangat jarang berlangsung secara bersamaan.

Biasanya saling menegasikan. Karena memperkuat kapasitas negara itu membutuhkan reformasi ekonomi. Dan reformasi ekonomi membutuhkan ketenangan bahkan represi politik. Sama seperti Lee Kuan Yeuw, Pak Harto, dsb. Poin ini yang akan diserang oleh siapa pun dari tesis Julie ini. Komentar berikutnya menyangkut negara. Yang mau dikatakan oleh Julie adalah bahwa negara itu sangat penting. Saya setuju. Tapi masalahnya adalah bahwa apakah yang anda maksud itu adalah agen-agen negara. Anda jangan mengasumsikan bahwa negara itu koheren. Dan tidak ada konflik di dalam negara itu sendiri. Anda mengasumsikan homogenitas di dalam negara. Ini juga yang dikritik dari Skocpol. Yang terjadi adalah tidak begitu.

Negara itu entitas yang sangat heterogen di dalamnya. Banyak terjadi konflik di dalamnya. Dan konflik dalam negara ini bisa memengaruhi bagaimana mobilisasi sosial terjadi. Nah, karena itu, ada sejumlah tesis dalam literatur social movement yang menjelaskan hubungan negara dan masyarakat, atau state in society. Negara itu bisa memengaruhi mobilisasi sosial. Apalagi negara itu tidak kompak. Dan negara itu tidak satu. Tidak tunggal. Ada juga konsep yang disebut sebagai dinamika movement. Ada suatu kelompok gerakan. Katakanlah pro-syariah movement. Gerakan ini bisa mencakup orang-orang seperti HTI, dan juga orang seperti Hidayat Nur Wahid. Itu kan family of movements. Jangan jangan mobilisasi dengan kekerasan dalam rangka pro-syariah movement itu bukan saja didiamkan oleh Hidayat Nur Wahid tapi juga didukung secara diam-diam olehnya. Ada juga yang disebut sebagai non-violent violent. Misalnya, jika kita memberikan uang pada kotak masjid atau kotak-kotak amal di jalanan. Kita tidak tahu apakah organisasi yang melakukan itu memiliki koneksi dengan FPI atau tidak. Atau dengan Laskar Jihad, dan uang anda diberikan kepada orang-orang di Poso.

Jadi apakah anda melakukan violent thing or non-violent thing. Terakhir, saya ingin berbicara tentang penggunaan beberapa istilah. Yang paling penting adalah anda memakai kata Salafi dan Wahabi secara bergantian. yang saya tahu salafi adalah reformers. Ini mengacu pada ahlusalaf, generasi kedua atau ketiga Nabi Muhammad. JAdi Salafi tidak pasti identik dengan Wahabi. Kedua, apakah tepat menggunakan istilah Islamic mobilization. Saya biasa menggunakan Islamist mobilization. Hamid juga mempertanyakan hal ini kepada saya. Demikian komentar dan kritikan saya. Terima kasih. HB: Terima kasih Ihsan. Banyak hal yang dikomentari Ihsan.

Saya kira pertanyaan-pertanyaan dia sangat menantang. Terakhir dia menyarankan untuk menggunakan kata islamist mobilization ketimbang islamic mobilization. Saya juga mau mengatakan bahwa mungkin studi ini bisa kita kaitkan dengan latar yang lebih besar. Tentang ketidakkompatibelan ISlam dan Demokrasi. Kata Freedom House, seluruh negara Islam, tidak ada satu pun yang demokratis. Ada 12 yang semi demokratis. Ini dari 35 negara, sisanya negara-negara otoriter. Bahkan 8 dari 12 atau 13 negara yang paling represif di seluruh dunia adalah negara yang mayoritas penduduknya ISlam. Julie tadi juga memulai percakapannya dengan mengutip Samuel Hntington, juga Bernard Lewis. Dan tesisnya ini adalah plesetan dari judul buku Bernard Lewis, What Went Wrong. Dan Julie di sini ingin membuktikan bahwa dengan syarat bahwa negara efektif, dan sebagainya tadi, itu gerakan ISlam bisa terjadi dengan damai. Pertanyaan Ihsan tadi saya kira menarik. Mengapa anda memilih 3 negara ini.

Apakah ketiga negara ini representatif terhadap apa yang mau dibuktikan oleh saudari Julie. Apakah Malaysia, Indonesia, dan Turki itu representatif untuk membantah teori besar Huntington cs., itu. Sebelum acara ini, saya berbincang secara mendalam dengan Saiful Mujani tentang disertasinya Muslim Demokrat. Dia mengatakan bahwa memang di Indonesia tidak terjadi apa yang disinyalemenkan oleh Lewis dan Huntington. Di Indonesia, kurang lebih Islam kompatibel dengan demokrasi. Temuan saiful itu didasarkan pada survei nasional dua kali. Temuan Saiful itu memperlihatkan bahwa Islam itu sejalan dengan demokrasi dan bahkan dalam beberapa hal memperkuat demokrasi. Tetapi Saiful sendiri menyadari bahwa kasus Indonesia ini merupakan pengecualian. Dengan kata lain secara garis besar Saiful diam-diam mengatakan bahwa teori Huntington cs. itu mungkin masih valid.

Jadi Saiful juga mengakui, meskipun di sisi lain Saiful mengatakan bahwa pendapat yang mengatakan bahwa Islam merupakan faktor negatif dalam demokrasi di negara-negara Arab itu pun tidak bisa dibuktikan. Karena apa, karena bahkan untuk mengujinya pun tidak dimungkinkan. Ini karena sistem yang tertutup dan otoritarian itu. Jadi semuanya sifatnya masih asumsi-asumsi. Meskipun kecenderungannya kita tergoda untuk membenarkannya. Karena ada pola umum yang sangat jelas sekali. Yakni tidak ada satu pun negara Islam di Timur Tengah yang demokratis. Bahkan yang di Maghribi pun. Bahkan di India dan Pakistan pun demikian. India jauh lebih demokratis dibanding Pakistan yang Islam. Jadi ini memang kasus besar yang meskipun ada kesulitan untuk membuktikannya, ini memang tesis yang sangat menggoda. Dan Studi Julie ingin membuktikan bahwa ada negara-negara yang mayoritas Islam yang di masyarakatnya ada islamist mobilization yang bisa berjalan dengan damai, lewat saluran yang damai. Ini kalau negaranya kuat dan sebagainya.

Silahkan anda mulai pertanyaan. Atau komentar.

Penanya I: Poin saya adalah apa yang dikatakan oleh Ihsan itu sangat penting. Saya ingin mendengar tanggapan Julie.

HB: Ok. Saya kira Julie bisa langsung menanggapi.

JC: Ok. Saya mungkin bisa lebih menggunakan Islamist. Saya tidak akan menggunakan lagi Islamic. Di judul disertasi memang demikian, tapi di dalam disertasi itu sendiri tidak demikian. Tentang Wahabi dan Salafi.

Dalam disertasi itu juga ada sebuah catatan yang sangat panjang tentang perbedaan antara keduanya. Sayangnya, profesor saya menghilangkan catatan kaki itu. Dalam disertasi saya membedakan antara violent islamist mobilization dan peaceful Islamist mobilization. Ini adalah kelompok-kelompok lokal dengan tujuan-tujuan yang juga lokal.

Laskar Jihad, FPI, Jemaah Islamiyah, Al Qaeda, semua itu adalah kelompok-kelompok yang memiliki tujuan-tujuan yang berbeda satu sama lain. Jika kapasitas negara lemah, mereka akan menjadikan segala sesuatu menjadi lebih buruk. Jika saya berbicara tentang organisasi teroris, saya mengatakan bahwa dalam kasus itu hal yang saya kemukakan tadi itu buruk. Saya tidak menyamakan atau mengkonflikkan kelompok-kelompok teroris dengan kelompok-kelompok lokal.

HB: Ok. Andi Budiman, silahkan.

Penanya II: Pertanyaan saya kepada Julie. Apakah kasus Partai Keadilan di Turki itu bisa kita sebut sebagai salah satu kesuksesan gerakan Islam yang damai. Karena kita tahu Turki di bawah Erdogan itu mengalami kemajuan ekonomi yang cukup meyakinkan sehingga orang menginginkan agar mereka berkuasa kembali. Berbagai jajak pendapat mengindikasikan bahwa orang Turki, kelihatannya mereka sangat ingin dipimpin kembali oleh Partai Keadilan. Nah, paralelismenya dalam kasus Indonesia adalah jangan-jangan kekhawatiran kita terhadap Partai Keadilan Sejahtera terlalu berlebihan. Jangan-jangan ketika mereka berkuasa, apa yang terjadi di Turki juga akan terjadi di Indonesia. Itu pertanyaan saya. Terima kasih.

HB: Ada yang mau tanya lagi. Silahkan Novri.

Penanya III: Terima kasih. Julie, yang mau saya tanyakan adalah soal faktor eksternal. Anda menyebut gerakan teroris sebagai faktor eksternal, tapi anda tidak memasukkan faktor eksternal itu kebijakan luar negeri Amerika. Itu mungkin kita bisa percaya bisa tidak, hal itu bisa menjadi alasan adanya mobilisasi sosial yang tidak damai dalam gerakan-gerakan Islam di mana-mana. Tapi kita melihat eksternal faktor seperti itu selalu menjadi alasan yang terlontar di media, dan juga alasan semua teroris yang melakukan tindakan teror. Ok. Itu saja pertanyaan saya. Terima kasih. HB: Pertanyaan yang sangat bagus. Silahkan yang lain.

Penanya IV: Terima kasih. Saya Roni. Mirip dengan pertanyaan tadi. Saya tidak sependapat kalau dikatakan bahwa gerakan ISlam itu menjadi violent. Kalau kita lihat statistik, itu rasanya kurang representatif. Kita punya organisasi Islam yang besar, NU dan Muhamadiyyah. Tapi itu hanya sebagian kecil. Kalau kita diskusi, berapa sih representasi dari organisasi Islam yang dibilang radikal yang menyebabkan apa yang dianggap sebagai violence. Jadi saya minta data yang agak terukur.

Berapa kira-kira presentasenya, sehingga kita bisa menunjukkan apakah itu violent atau tidak violent. Bisa jadi yang kita bicarakan adalah institusi, atau oknum. Kita kan bicara Islam sebagai suatu keyakinan. Artinya, perilaku orang bisa jadi menyimpang dari ajaran. Artinya, tidak bisa ajaran itu sendiri dikaitkan dengan kekerasan.

Tapi manusia itu, apa pun keyakinan dan institusinya, dia bisa jadi melakukan kekerasan. Dan ini terjadi di semua agama yang ada di dunia. Kemudian, violence itu timbul karena apa. Karena ada penindasan. Ini kan sederhana. Saya buruh. Buruh ditindas, maka dia akan melawan. Orang Islam ditindas, maka dia akan melawan. Asumsi saya sederhana.

Kita berpikir bahwa ok Indonesia dianggap sebagai sarang teroris. Terutama umat Muslimnya. Tapi kalau kita balik, masyarakat Indonesia, di Indonesia itu negara tidak berdaya. Korelasinya dengan pertanyaan yang sebelumnya tadi, negara Amerika itu adalah institusi yang paling violent, meskipun masyarakatnya tidak menghendaki hal itu. Jadi yang ingin saya tanyakan, bagaimana Julie melihat komparasi antara Indonesia yang pemerintahnya tidak berdaya, dengan Amerika yang negaranya sangat berdaya dan memporak-porandakan negara lain.

Bagaimana peran masyarakat di sana untuk mengontrol negara. Jadi apakah memang negara itu harus superkuat. Saya berasumsi bahwa masyarakat sipil yang harus mengontrol negara.

Terima kasih. HB: Ya, penanya terakhir, saudara Isra.

Penanya V: Terima kasih. Nama saya Isra. Pertanyaan saya sederhana. Saya tertarik dengan masalah hubungan antara negara dengan faksi-faksi kekerasan dan yang tidak melakukan kekerasan. Kalau faksi-faksi yang melakukan kekerasan itu dihubungkan dengan aspirasi politik, saya melihat bahwa contoh-contoh yang banyak muncul belakangan, yakni kelompok-kelompok yang dituduh sebagai gerakan teroris itu justru tanpa aspirasi politik.

Bahkan tidak ada kelompok yang mengambil keuntungan dari aksi-aksi teroris tadi. Jadi apa agenda kelompok Islamist tadi dengan bom bali I dan bom Bali II. Tidak ada. Jadi ini sebenarnya urusannya, tidak ada hubungannya antara aksi kekerasan itu dengan aksi politik tertentu dari kelompok tertentu.

Ini sebenarnya tidak ada. Demikian juga pada tingkat global. Misalnya penghancuran WTC. Malah justru semakin memojokkan kelompok tadi. Tidak ada aspirasi ideologis yang diperjuangkan oleh suatu kelompok politik untuk menaikkan nilai tawar mereka. Saya justru melihat bahwa kekerasan partisipasi politik ISlam itu lebih banyak sebagai reaksi dari penindasan yang mereka alami. Kita lihat saja dari dulu partisipasi itu awalnya tidak dari kekerasan. Ini kalau kita lihat sejarah Islam. Dari Darul Islam, sampai kemudian muncul pemberontakan itu karena tidak diakuinya aspirasi-aspirasi tadi dalam ruang-ruang yang terinstitusionalkan. Terima kasih.

HB: Ok. Terima kasih. Saya kira Julie bisa mulai menanggapi pertama.

JC: Thanks. Tentang Pertanyaan pertama. Yakni membandingkan PKS dengan Partai Keadilan yang ada di Turki. Saya kira kita tidak bisa melakukan hal itu. Partai Keadilan Turki merupakan kasus ideal saat mereka memerintah. Tapi mereka melakukan banyak sekali sacrifice. Meskipun mereka semakin mendapatkan suara mayoritas. Mereka tidak bisa menjadi suatu Partai Islam. Kita tidak bisa mengatakan ada syariahisasi di Turki. Juga Islamisasi. Ihsan mengatakan bahwa Malaysia tidak begitu demokratis. Turki juga memiliki situasi yang tidak sempurna seperti itu.

Di Indonesia PKS sangat berbeda agendanya dengan Partai Keadilan yang ada di Turki. PKS di Indonesia menawarkan RUU Anti-Pornografi dan Porno-aksi. Di Turki hal-hal seperti itu harus dilakukan secara hati-hati. Anda tidak bisa begitu saja mengemukakan hal-hal itu. Dalam jangka panjang, menurut saya, situasi yang lebih baik akan jauh bisa terjadi di sini ketimbang di Turki. Ok. Thank You.

HB: Pertanyaan kedua? Tentang Eksternal faktor, yakni kebijakan Amerika.

JC: Tentang kebijakan luar negeri Amerika sebagai salah satu faktor eksternal. Itu juga merupakan suatu pertanyaan yang sangat bagus. Dalam salah satu tulisan saya juga mengatakan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh perang Irak. Perang itu memiliki dampak yang sangat menghancurkan dan hal ini memengaruhi citra Amerika di mata dunia. Tapi saya ingin mengatakan bahwa situasinya bisa berubah. Tapi di Indonesia dan Malaysia saya tidak bicara tentang efek atau pengaruh dari kebijakan luar negeri Amerika, sebagaimana yang terjadi dengan Irak, dan dampak dari perang Irak.

Saya kira Partai Republik memiliki banyak kesamaan dengan Partai Keadilan Sejahtera. Mereka memunculkan hal-hal semacam RUU Anti-Pornografi dan Porno Aksi. Saya tidak mengenal seseorang yang melakukan atau bisa melakukan perbandingan itu. Saya kira ini juga akan sangat sulit karena anda memiliki sistem yang sangat berbeda dari sistem yang ada di Amerika. Demikian juga dengan sistem kepartaian yang ada di Indonesia dan di Amerika. Saya akan sangat bergembira menolong dan membantu jika ada orang yang akan melakukan hal itu. Ok. Itu jawaban saya. Terima kasih.

HB: Ada satu pertanyaan lagi. Tentang agenda politik yang absen dalam gerakan-gerakan Islamist.

JC: Saya setuju bahwa kaum teroris mungkin tidak mendesakkan agenda politik. Itulah mengapa saya tidak mengelompokkan mereka bersama dengan kelompok-kelompok gerakan Islam yang violent. Saya memiliki satu bab tentang misalnya kelompok seperti Laskar Jihad. Menurut saya mereka memiliki agenda yang sangat berbeda.

Mereka memiliki basis yang sangat berbeda. Menurut saya akan tidak tepat untuk mengelompokkan mereka dalam satu kelompok tersendiri. Demikian jawaban saya.

HB: Ok. Terima kasih Julie. Intinya Julie setuju dengan sebagian besar pernyataan anda. Misalnya tentang kelompok-kelompok teroris yang tidak memiliki agenda politik yang jelas. Dia menganggap bahwa mereka keras karena tidak memiliki saluran yang jelas. Contohnya Masyumi di zaman Darul Islam. Kalau Masyumi efektif, pasti orang-orang Darul Islam tidak akan lari ke gunung. Kemudian soal peran masyarakat dia juga anggap penting.

Dan dia juga setuju bahwa Islam bukan sumber kekerasan. NU dan Muhammadiyah misalnya, mereka sama sekali tidak menempuh jalur kekerasan. Jadi kelompok-kelompok keras itu memang minoritas yang harus dicari sebab-sebabnya bukan dalam agama Islam itu sendiri. Kemudian soal faktor eksternal. Sebetulnya dia bukan mengabaikan sama sekali kebijakan Amerika.

Dia mengambil contoh beberapa negara, misalnya Jordania, jelas ada pengaruh dari kebijakan Amerika itu, khususnya dalam invasi mereka ke Irak. Itu memengaruhi perilaku beberapa kelompok Islam di masyarakat-masyarakat tertentu. Jadi Julie tidak mengabaikan sama sekali faktor kebijakan luar negeri Amerika sebagai faktor eksternal.

Terakhir soal Erdogan. Menurut Julie, itu sama sekali bukan kelompok ideal sebagai contoh dari penyaluran aspirasi politik atau partisipasi politik secara damai. Sebabnya lebih eksternal bukan di partainya Erdogan sendiri, tapi sistem di Turkinya yang tidak memungkinkan partai ini mengaspirasikan dirinya seperti halnya yang terjadi di sini. Kondisi demokrasi kita jauh lebih baik.

Kelompok mana pun bebas berteriak-teriak mengemukakan aspirasinya. Bahwa rakyat mau percaya atau tidak itu soal lain. Namun kata Julie, di Turki itu tidak mungkin. Kalau partainya Erdogan ingin syariah Islam, ini tidak akan ditoleransi. Pasti akan buru-buru ditertibkan oleh tentara. Jadi Partai Keadilan Erdogan bukan contoh yang ideal. Bahwa selama ini mereka sukses, itu soal lain. Namun dalam konteks gerakan Islam yang damai, itu bukan contoh yang ideal. Nah, Ihsan juga pasti punya banyak komentar. Meskipun tidak ada satu pertanyaan yang ditujukan langsung kepada dia. Silahkan Ihsan Ali Fauzi.

IAF: Saya ingin menambahi sedikit tentang Turki. Yang menjadi template di Turki itu sekularisme. Itu sebabnya dia tidak bisa dijadikan contoh untuk membaca gerakan-gerakan Islam di Indonesia. Di Indonesia, templatenya itu bukan sekularisme. Orang seperti Hamid ingin lebih banyak sekularisme. Tapi yang normal itu templatenya bukan sekularisme. Ok. Terima kasih.

HB: Ok. Apakah ada yang lain yang masih ingin menambah, memberi komentar atau yang lain. Atau sudah cukup. Kalau tidak ada, saya tutup diskusi kita. Terima kasih kepada Julie dan Ihsan Ali Fauzi. Terima kasih kepada partisipasi anda semua. Selamat malam.

Enjoyed this article? Stay informed by joining our newsletter!

Comments

You must be logged in to post a comment.